MAHAWIRA

el
Chapter #17

16. Sebuah Seni Mengacau Situasi

"Siap mengacau situasi?" 

"Masih besok, Taaa." Nai gemas sendiri sebab Dipta yang sedari tadi membahas mengenai rencana pembongkaran besok. Empat belas Mei. Tepat pada rapat pimpinan Yayasan diadakan.

"Kenapa kamu sebut sebagai mengacau situasi?" tanya Wira pada Dipta.

"Ya, kita emang mau ngacauin rapat besar-besaran sama pimpinan Yayasan, kan?" balas Dipta nyaris berbisik. Tidak mau ada yang dengar. 

"Ngomong-ngomong, Aylin tumben belum berangkat?" tanya Wira melihat bangku di samping Nai masih kosong. Padahal, jam menunjukkan hampir pada angka tujuh tepat.

"Atau emang gak berangkat?" tanya Dipta.

"Gak berangkat juga pasti titip suratnya ke aku, Ta," sahut Wira.

Tok Tok

Kompak, seluruh penghuni IPS 2 menoleh ke pintu. Pada seorang laki-laki dengan sebuah amplop surat di tangannya. "Surat izin Daniella Aylin," ucap Ren Rajaksa sukses membuat Wira mengerutkan dahi bingung.

"Kenapa suratnya ada di kamu?" tanya Wira.

"Tadi dititipin ke satpam, dan satpam kasih ke aku yang kebetulan lewat," jelas Ren.

Ketiga sekawan itu kompak saling berpandangan.

***

"Nai, kamu masih ngurusin organisasi itu?" 

Nai menghentikan langkahnya untuk menuju kamar sewaktu Bang Ian bertanya. "Iya, tapi tau gak, Bang, besok kita mau bongkar semuanya," ujar Nai tidak terlalu jelas sebab sebuah permen pentol bertengger di bibirnya.

"Kalau menurut Abang, mending kamu mundur aja, Nai. Itu mengancam diri kamu."

Nai tertawa singkat. "Mundur gimana, sih, orang besok udah mau selesai, Bang," katanya.

"Terus kalau udah gimana? Yakin Kepala Sekolah bakal diam? Yakin kamu gak didrop out atau semacamnya?"

"Kepala Sekolah bakal dipecat sama Yayasan(?)" balas Nai retoris.

"Tapi—"

"Gimana sama Bang Ian sendiri? Bang Ian ikut demo, kan? Emangnya itu gak mengancam kamu sendiri, Bang?" sela Nai buru-buru. Ia melihat seseorang yang familiar sewaktu aksi demo mahasiswa itu berlangsung. Dan ia tahu itu Abangnya sendiri.

"Ini beda, Nai—"

"Bahkan aksi Abang lebih mengancam, Bang. Tau gak kemarin di Jakarta empat orang mahasiswa tertembak?" suara Nai menaik. Dia hanya takut.

"Ibu pulaaangg!"

Nai dan Ian kompak menoleh pada pintu depan. Ibunya telah pulang dari berkerja sebagai ART di salah satu rumah orang Tionghoa.

"Udah, Bang. Jangan sampai Ibu lihat anak-anaknya gak akur kayak gini."

***

Pulang sekolah, ia berniat pulang dahulu ke rumahnya sebelum ia berangkat bekerja untuk mengantar bunga. Dan rencananya, malam ini ia akan ke rumah Aylin, ia penasaran ada apa dengan gadis itu yang tiba-tiba tidak masuk sekolah. Biasanya, Aylin selalu mengabarinya terlebih dahulu. Apalagi malam tadi Aylin baik-baik saja. Aylin hanya lelah, tetapi Wira tahu gadis itu kuat.

Wira memarkirkan motornya di halaman, berjalan ke dalam untuk menaruh tas dan berganti baju. Tetapi yang ia dapati setelah menginjak ruang tamu adalah sunyi. Padahal tidak biasanya, bapak bilang hari ini libur dari pekerjaannya karena kondisi di daerah sebelah tengah tidak kondusif akibat dampak demo. Keadaan pintu pun terbuka. Tetapi, nyaris ia memanggil tidak ada yang menyahut.

"Bapak?"

"Wira?" Wira menoleh ke halaman rumahnya yang terdapat orang memanggil namanya.

"Bapak kamu baru aja tadi ke rumah sakit—"

"Bapak kenapa, Bu?" Dada Wira mencelos, bahkan ia memotong ucapan tetangganya itu. Tasnya ia lempar begitu saja pada kursi, dengan segera keluar mendekati wanita paruh baya itu.

"Nyusulin si Juno itu katanya luka gara-gara demo," jelas ibu dengan beberapa helai rambutnya yang putih itu. Ia berkata dengan menggebu-gebu, ikut terlihat khawatir.

Lihat selengkapnya