MAHAWIRA

el
Chapter #19

18. Di Bawah Naungan Surakarta

Duarr!

Wira terlonjak setengah mati. Mobil yang terparkir tepat di samping kirinya tiba-tiba terbakar setelah sebelumnya meledak cukup keras. Membuatnya reflek membanting stang ke kanan.

Badan Wira menubruk aspal.

Ia meringis kesakitan. Bau minyak tanah masuk ke dalam hidungnya, memaksanya agar terus tersadar untuk segera berlari. Di antara manusia yang berseliweran, berlari kesana-kemari, tidak ada satupun yang membantunya. Wira melepas helm yang kacanya retak, berusaha bangun dan menuntun langkah. Tujuannya satu, Aylin.

Wira berlari sekuat tenaga menuju halaman rumah bercat putih tulang, menghindari lemparan botol kaca, bahkan ia lebih memilih menyusup ke pinggiran trotoar.

Sampai.

Suasana sepi. Atau barangkali penghuninya tengah sibuk dengan situasi di luar? Wira berlari menerobos pintu yang tidak dikunci sama sekali. Baru kali ini ia memasuki rumah orang tanpa permisi, mengecek setiap ruangan yang benar-benar tidak ada eksistensi orang di dalamnya.

"Aylin!"

Nyaris seluruh pintu telah Wira buka. Tetapi nihil, ia menuju belakang. Mata Wira langsung tertuju pada sebuah pintu yang nyaris tidak terlihat. Posisinya menyiku, pintunya hanya terlihat setengah dengan posisi Wira yang lurus ke depan. Wira segera membuka. Dikunci.

Wira nyaris berteriak frustasi.

"AYLIN!"

"Tolong..."

Brak! Wira yakin seratus persen gadis itu di sini. Wira dengar, benar-benar mendengarnya!

Mendobrak sekali lagi. Seperti itu. Seterusnya. Lengan Wira hampir mati rasa, hingga akhirnya pintu terbuka, nyaris saja laki-laki dengan jaket denimnya itu terjungkal sebab di balik pintu ini adalah tangga ke bawah. Bukan sebuah ruangan.

Ruang bawah tanah.

Wira menuruni tangga satu-persatu.

Anak tangga ke sepuluh...

Anak tangga ke lima...

Hingga anak tangga terakhir terdapat sebuah pintu. Lagi.

Ya Tuhan. Ruangan macam apa ini. Temaram. Tidak ada udara. Nyaris saja Wira akan mendobrak kembali. Tetapi ternyata pintu itu tak terkunci. Detik pertama ia menemukan Aylin ada di sana, ia merasakan perasaan luar biasa yang belum pernah ia rasa. Sebuah bahagia sekaligus ketakutan menyerbunya tanpa ampun.

"WIRA!"

Di sana. Gadis itu. Pakaian dress bunga-bunga seperti terakhir kali mereka bertemu masih Aylin pakai. Warnanya tak lagi bersih, terlihat lusuh. Dengan sebuah tali yang membelenggu tubuh mungilnya. Dan seseorang tak jauh di depannya, Arkandi Bagaskara.

"Aylin!" Secepat kilat ia berlari, melepas tali-tali yang mengikat. Baru setelah ia mendekat pada gadis itu, ia sadari sebuah luka bersemayam pada bibir gadis itu. Apa yang kamu alami sejauh ini, Ay?

Wira ingin menangis, melihat gadisnya dengan keadaan seperti ini. Bibir mungilnya bergetar. Pucat. Rambutnya kusut. Ia selesai melepas tali sementara tangisan Aylin mengiringi dekapannya. Wira mendekap erat. Erat sekali, seperti ia tidak mau kehilangan lagi. "Wira, takut.."

"Ada aku. Di sini, Ay..."

Selalu seperti itu. Aylin kira, ia akan mati di ruangan neraka ini. Ia kira, tidak ada yang akan menemukannya. Tetapi Mahawira, pahlawannya telah menemukannya.

"Sakit, Wira... tangan aku kaku," ucap Aylin tidak jelas. Suaranya terdengar pilu. Teredam dalam dekapan lelaki itu. Wira meraih kedua lengan gadis itu yang penuh bekas kemerahan, bahkan terdapat goresan tali. Wira memijatnya pelan, seraya menenangkan Aylin yang masih tersedu.

"Udah?" tanya Wira. Ia meraih pipi Aylin, memastikan mata sayunya masih terbuka. Aylin mengangguk, setidaknya tidak sekaku tadi. Mengingat ia diikat selama itu.

"Arkandi, Wir. Di belakang kamu," kata Aylin rendah. Wira berbalik, melepas tali-tali yang melilit laki-laki dengan keadaan yang jauh menghawatirkan. Bibir pucat dengan lebam yang tidak terobati di mukanya terlihat mengerikan.

"Arkandi, jangan tutup mata dulu, kita berhasil selamat, Ar!" Aylin berusaha membuat Arkandi yang matanya semi tertutup. Wira menepuk-nepuk pipinya, "Ar! Arkandi!"

Arkandi meringis, berusaha menegakkan tubuhnya. Sama seperti Aylin, seluruh tubuhnya nyaris kaku. Ia tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata.

"Ayo pergi dari sini!"

"Ay, masih kuat jalan?" tanya Wira.

Aylin mengangguk, walaupun sempoyongan, ia masih bisa menahan tubuhnya. Sementara Wira menuntun Arkandi yang nyaris ambruk jika saja tidak ia rangkul.

Lihat selengkapnya