MAHAWIRA

el
Chapter #20

19. Akan Tetap Mahawira

Nai memberontak keras sewaktu tangannya ditarik paksa oleh abangnya sendiri. Memaksanya masuk ke dalam mobil.

"Bang Ian, aku lihat motor Wira tergeletak di jalanan! Aku yakin Wira di sana, Bang!" Di antara riuhnya jalanan yang porak-poranda, suara Nai nyaris teredam. Mereka sudah ada di dalam mobil, Ian melaju dengan kecepatan tinggi. Menjauhi lokasi yang sekiranya terjadi kerusuhan. 

Nai masih berontak, bahkan di saat mereka sampai di rumah. Lelaki berkepala dua itu menarik paksa Nai dan membawanya ke kamar. Menguncinya dari luar. 

"BANG, BUKA!"

Menerima fakta bahwa belum ada kabar apapun dari ibu, ia nyaris tidak bisa berpikir. Ia tidak mau adiknya terluka di luar sana. 

"BUKAIN, BRENGSEK!"

Nai menggedor sekali lagi. Gadis itu menendang pintu berkali-kali.

Menangis. 

Motor Wira tergeletak. Ia takut laki-laki itu kenapa-kenapa. Ia juga ingin menyusul ibu yang entah berlari ke mana. Rumah majikannya sudah berantakan. 

Pukulan Nai pada pintu kayu melemah. Ia tersedu.

"Buka..."

"ABANG GAK MAU KAMU TERLUKA, NAI!" suara Ian menyahut dari balik pintu.

"SAKIT JIWA KAMU, BANG?! AARGH!" Nai menjerit. Di kamarnya hanya ada jendela teralis, ia tidak bisa kabur.

Sementara Ian termenung di depan kamar Nai. Sakit jiwa.

***

Dipta mendorong brankar dengan perasaan takut setengah mati. Menemukan Wira yang tergeletak tak berdaya di sekitar ruko yang terbakar, dengan napas yang nyaris hilang. Darah di belakang kepalanya semi mengering, jika Wira terluka siang tadi... maka Dipta menemukan lelaki itu tepat adzan maghrib berkumandang. Sewaktu ia berusaha mencari pertolongan, wanita paruh baya mendekatinya. Lalu sewaktu melihat siapa yang ada di pangkuan Dipta, wanita itu nyaris meraung. Menangis sekuat tenaga. 

Ibu kandung Mahawira.

Melihat anak bungsunya memejamkan mata dengan badan yang nyaris dingin.

Tanggal empat belas Mei, tepat kepulangan ibu dua anak itu yang merantau di negara tetangga. Dadanya mencelos setengah mati setelah tahu keadaan negara kelahirannya tengah terjadi huru-hara yang mengerikan.

Apalagi, anaknya sendiri menjadi korban.

Sementara itu, mata Dipta berair tanpa diperintah. 

"Dipta, Aldinata belum pulang dari jam sepuluh pagi tadi, Ibu takut..."

Suara ibu terus terngiang bagai kaset rusak. Niat hati ingin mencari adik bungsunya itu yang tak pulang hingga petang, ia malah menemukan Wira dengan nadi yang melemah. Di saat yang bersamaan, Dipta terlintas satu orang. Di mana Aylin?

Berkali-kali ia menyeka rambutnya yang panjang itu. Sementara wanita dengan rambut terikat ke belakang itu terus tersedu. Menenteng tas besarnya yang baru ia bawa dari negara tetangga. Dipta sudah berusaha menenangkan bahwa Wira akan baik-baik saja. Tetapi Wanda—ibu Wira—belum juga mereda.

Dipta pamit untuk lanjut mencari adiknya yang sedari tadi membuatnya gusar setengah mampus. Tetapi di koridor, ia bertemu dengan lelaki paruh baya yang tak lain adalah Bapak dari Wira. 

"Nak Dipta, kamu di sini ngapain?" tanyanya.

Lihat selengkapnya