Ada beberapa hal yang membuat Dipta nyaris gila.
Pencarian terhadap Adinata—adik bungsunya—tidak menghasilkan apapun. Dari hasil penyelidikan, terakhir kali bocah itu pergi ada di dalam pertokoan depan sekolah. Di sana ada banyak toko. Toko besar tiga lantai hingga toko sembako. Jika dalam tiga hari pencarian tidak ada hasil, maka Aldinata dianggap sebagai salah satu korban yang telah hangus di toko mainan depan sekolah.
Sebab sebelah sepatu nyaris mirip dengan punya adiknya ditemukan di sana. Tetapi Dipta menyangkalnya. Itu hanya sepatu. Yang bukan cuma adiknya yang mempunyai sepatu semacam itu.
Ditambah berita duka yang nyaris membuatnya tidak sadarkan diri. Dia tidak bisa menahan tangisnya sewaktu menerima telepon berita kematian kawan terbaiknya itu. Ia menangis hebat. Dalam seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa sesesak ini. Berita duka bertubi-tubi.
Sewaktu kehilangan adiknya, ia tidak bisa berpikir waras.
Dan sewaktu merima fakta bahwa Wira telah tiada, nyaris membuatnya menganggap bahwa semua ini adalah mimpi buruk. Dia ingin bangun.
Tetapi setelah ia bangun pun, keadaan masih sama. Suasana rumah di depannya sungguh berkabung. Tangisan di mana-mana. Duka membumbung di udara. Sesak. Dipta mengepalkan jemarinya, menahan sesuatu yang ingin tumpah. Ia tidak mau menambah Nai semakin tersedu di sampingnya. Mata perempuan itu sudah tak karuan, ia belum berani masuk. Tidak mau menyadari realitanya.
"Kalau kamu gak kuat, kita pulang, Nai." Dipta terus mengelus punggung Nai yang bergerak naik turun. Suasana rumah Wira ramai. Ramai sekali. Banyak teman-temannya berdatangan, partner kerjanya, juga bunga-bunga cantik dikirimkan.
"Wira bakal sedih teman dekatnya gak dateng," ujar Nai tidak jelas. Ia sesenggukan.
"Wira bakal lebih sedih kalau kita tangisin kepergiannya, Nai," balas Dipta. Ia menghadap Nai sepenuhnya. Menunduk, menghapus air mata gadis itu.
"Kalau mau masuk, hapus air mata dulu. Wira gak boleh liat kamu nangis," ujar Dipta bergetar.
"Ta... aku sayang sama Wira."
Berhasil membuat Dipta bertambah sakit.
***
Langit tidak sehitam tempo hari. Dunia masih berjalan seperti semestinya. Sekolah telah diberangkatkan seperti semula.
Namun, separuh jiwa dua orang yang kini berdiam diri di perpustakaan telah hilang.
"Aylin gimana kabarnya, Ta?" tanya Nai setelah hampir lima belas menit saling diam.
"Gak tau. Dia menghilang gitu aja, Nai. Gak bisa dihubungin. Tapi dengar-dengar, keluarganya pergi pakai mobil sewaktu kerusuhan itu," jelas Dipta. Nadanya terdengar lambat. Tidak seperti biasanya yang penuh energi.
Sudah hampir satu minggu insiden berdarah itu lewat. Menyisakan trauma mendalam bagi mereka-mereka yang menjadi korban.
"Ibu kamu gimana, Nai?"
Nai menarik napas dalam. Ia mengangguk. "Udah mendingan bisa jalan dikit-dikit."
Ibu Nai menjadi korban penjarahan di rumah majikannya. Niatnya, ia ingin melindungi rumah tempatnya berkerja, tetapi ternyata itu di luar kendalinya. Hingga menimbulkan luka cukup berat di tubuhnya.
"Nai, pengungkapan kasus gimana?" tanya Dipta. Ia hampir melupakan misinya dengan teman-temannya.
Nai menggeleng.
"Kita udah mati-matian perjuangin ini. Wira udah gak ada, Aylin sempat diculik. Terus, fakta kebenaran mau kita gantungin gitu aja?" Dipta bertanya retoris.
"Aku yakin Wira bakal lebih tenang kalau kita ungkap fakta ini," sambung Dipta. Ia meraih telapak tangan kanan Nai. Menggenggamnya. "Nai, rapat direktur yayasan akan dimulai ulang besok, ayo kita berjuang lagi, Nai," ungkapnya serius. Menatap mata Nai yang terlihat jelas garis hitam di bawah matanya.
Dipta Benar. Perjuangan ini tidak boleh sia-sia. Nai membalas tatap mata Dipta.
"Kamu benar, Ta."
***
Ada yang janggal bagi Julaeno sewaktu pertama kali ibu melihat dirinya. Ia menangis, deras, kencang sekali. Bertolak dengan dirinya yang tersenyum lebar. Harusnya ibu bahagia, sebab ia sudah tidak apa-apa. Ia sudah dibolehkan pulang dari ruang dengan bau obat-obatan ini.
"Jangan nangis, Bu. Juno udah sembuh," ujar Juno membenarkan anak-anak rambut Wanda yang mencuat.
"Iya, Juno harus sembuh. Harus sama-sama terus sama Ibu. Juno mau janji sama Ibu?" tawar Wanda dengan jari kelingking yang menggantung di udara. Menunggu terkait dengan kelingking anak pertamanya.
"Juno mau janji, Bu. Asal itu Ibu yang minta, Juno bakal sanggupin," balas lelaki itu tersenyum.
"Juno janji gak boleh mikir yang berat-berat dulu. Juno janji jangan stress, dan Juno harus janji kalau udah sampai rumah... Juno jangan sedih, janji?"
Juno tak paham sama sekali atas ucapan Ibu. Apalagi, kelopak matanya yang terlihat bengkak, dan bukan hanya Ibu. Bapak juga sama, tatapan matanya sendu.
"Janji."
Ya, seharusnya kalimat janji yang ia lontarkan di rumah sakit tadi adalah sebuah penopang perasaannya sewaktu ia lihat banyak karangan bunga-bunga di depan rumahnya.
Turut Berdukacita Atas Kepergian Mahawira.
Selamat Jalan, Mahawira.
Juno terpaku di halaman. "Jangan mikir yang berat-berat dulu, nanti Bapak jelasin pelan-pelan," jelas Damar menepuk bahu Juno kemudian mengusapnya.
Juno melihat tanggal yang tertera. Dadanya mencelos. Denyutnya naik dua kali lipat.
"Hampir satu minggu adik aku mati, dan kalian diam aja?" suaranya bergetar hebat.
Seharusnya, itu bukan hari paling kacau yang pernah Juno alami.
***
Nai dan Dipta menyusup pada lantai atas di ujung, pada sebuah toa pengumuman SMU Aksara. Menyiapkan rekaman, audio, dan meletakkan di depan mic.
Kali ini, dengan metode yang berbeda.
Saat rapat hendak dimulai, saat guru-guru telah datang dan yang paling utama, saat direktur pimpinan yayasan telah datang. Maka rekaman ini akan disetel. Bukan hanya para guru, seantero sekolah akan tahu kebusukan organisasi GNB.
"Gimana cara Pak Rukmana sama anggota gak ke sini waktu rekaman pertama kali diputar?"
Mengunci anggota GNB sekaligus kepala sekolah, setidaknya sampai bukti berhasil disiarkan.
"Kunci di ruangan kepsek. Di sana ruangannya tertutup," ujar Dipta.
Nai menengok jam di tangannya. "Ta, sekarang?"
"Sekarang."
***