MAHILA DIUJUNG SENJA

Meria Agustiana
Chapter #7

BAB 6

Banyuwangi 2009

 

Pagi ini awan tampak muram dan udara dingin menerpa kulit menusuk hingga tulang. Tetesan air hujan tampak membasahi dedunan hijau dan mengalir tetesan digenting rumah. Buruh pabrik harian juga sudah tidak tampak dijemput mobil pickup, sapi-sapi yang dulu digunakan untuk membajak sawah telah digantikan mesin bajak. Jalan gang yang dulu terjal karena batu-batu besar ditengah jalan, sekarang telah halus dengan aspal hitam. Sepedah motor yang dulu sangat jarang dimiliki, sekarang hampir setiap rumah memilikinya. Listrik kini sudah masuk, semua orang telah memiliki ponsel digenggamannya.

Sudah empat belas tahun setelah kepergian Marni, semua sudah banyak berubah. Alif dan Bayu kini telah dewasa dan bekerja. Alif bekerja di pabrik padi menggantikan Parman, sedangkan Bayu memilih untuk merantau ke Bali untuk bekerja bagunan. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Alif tidak mau meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama karena ingin membatu Parman dalam mencari nafkah. Sedangkan Bayu sempat masuk Sekolah Menengah Atas namun ditahun kedua memutuskan untuk berhenti karena tidak ingin membebankan biaya pendidikan kepada kakaknya.

Sudah tiga tahun belakangan ini Parman sakit-sakitan. Awalnya Parman mengabaikan batuk yang dialaminya dan terus bekerja hingga larut malam. Namun semenjak tiga tahun lalu, Parman berhenti bekerja dan beristirahat di rumah Si Mbok. Sampai saat ini, Parman masih sangat bersalah atas kepergian Marni. Parman merasa kepergian Marni adalah karena kesalahnnya. Tapi meski begitu, tidak ada satu orang pun yang menyalahkan Parman atas kepergian Marni. Namun, Parman masih saja memikirkan kalau penyebab Marni pergi karena kesalahnnya.

Parman duduk di teras rumah Si Mbok dengan memakai jaket tebal dan sarung. Pandangannya begitu kosong dan tidak bisa ditebak apa yang sedang dia pikirkan. Rumah Si Mbok kini telah direnovasi. Tembok papan yang dulu melindungi Si Mbok dan keluarga dari dingin, sekarng sudah berubah menjadi tembok batu bata dengan cat putih kapur. Tungku usang yang selalu menemani Si Mbok memasak makanan lezat kini telah berubah menjadi kompor gas. Kerbau yang dulu dirawat bapak kini telah berubah menjadi sapi milik sendiri. Banyak hal baik yang telah berubah selama empat belas tahun terakhir.

 

 

Si Mbok datang dari arah dapur membawakan Parman segelas teh hangat.

“Iki Man teh e diombe”

(Ini Man tehnya diminum)

Si Mbok meletakkan segelas teh disamping Parman

“Ngeh mbok mator suwon”

(Iya mbok terima kasih)

Parman mengambil teh tersebut dan meminumnya.

“Opo seng seng mbok pikirne Man ?”

(Apa yang kamu pikirkan Man ?)

Parman meletakkan teh di atas kursi

“Mboten mbok. kulo mung kepikiran Marni.”

(Tidak mbok. Aku hanya kepikiran Marni)

Ucap Parman menggunakan bahasa jawa halus dengan sopan. Parman menggela nafas berat dan melanjutkan perkataannya.

“Umpomo gusti Allah mendet kulo sedereng Marni wangsol, pie nasib e bocah-bocah mbok ?”

(seandainya Allah mengambil saya sebelum Marni pulang, bagaimana nasib anak-anak mbok ?)

 

Ucap Parman dengan nada yang begitu lemah dan pasrah.

“Suttt... awakmu ora oleh ngomong ngono kui. Awakmu mesti sehat. Wes berobat rono-rene meski engko waras”

(Sutt.. kamu tidak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti sehat. Sudah berobat kesana-kemari pasti nanti sembuh)

 

Parman menundukkan badan dan terisak dan mengusap pelan tetesan air mata yang keluar dengan tangan kanannya.

“Marni lunggo goro-goro kulo Mbok. Umpono kulo mboten”

(Marni pergi gara-gara saya mbok. Seandainya saya)

Belum selesai Praman menlanjutkan, kata-katanya dipotong Si Mbok.

“Wes Man. Ora usah nyalahne awakmu dewe. Iki mau wes takdir e Marni, wes keputusan e Marni. Sakiki sehatno awakmu, anak-anakkmu seh butoh awakmu.”

(Sudah Man. Tidak usah menyalahkan dirimu sendiri. Ini semua sudah takdirnya Marni, sudah keputusannya Marni. Sekarang sehatkan badannmu, anak-anakmu masih membutuhkanmu)

 

Parman mengangkat wajahnya dan menatap Si Mbok dengan penuh rasa bersalah.

“Tapi kulo ngeroso salah kaleh sampen Mbok. Bendinten Si Mbok bidal nunggu Marni wangsol”

(Tapi saya merasa bersalah sama Si Mbok. Setiap hari Si Mbok berangkat menunggu Marni pulang)

 

Si Mbok mengelus lengan Parman dengan lembut. Si Mbok memang sudah menganggap Parman seperti anak sendiri. Si Mbok tidak pernah membedakan sikap antara menantu dan anak. Semua diperlakukan sama, baik pada Parman atau menantu yang lain.

“Man, ora enek seng nyalahne awakmu perkoro lungone Marni. Si Mbok mung sek yakin Marni bakal balek. Si Mbok mung pengen dadi wong pertama seng nyambut Marni Man.”

(Man, tidak ada yang menyalahkan dirimu atas perginya Marni. Si Mbok hanya masih yakin Marni akan pulang. Si Mbok hanya ingin menjadi orang permana yang menyambut Marni Man)

 

Kata-kata Si Mbok membuat Parman tidak bisa berkata apa-apa sehingga menciptakan keheningan diantara mereka berdua.

Ditengah keheningan yang tercipta, Yanto berteriak memanggil-manggil si mbok dari balik rumahnya. Rumah Si Mbok dan Yanto besebelahan. Sebagai anak tertua, Yanto tinggal disekat Si Mbok bersama istri dan kedua anaknnya untuk merawat Si Mbok dan bapak.

“Mbokkk... Mbok”

(Mbok... Mbok)

Yanto berjalan mendekati si mbok dengan membawa ponsel jadul ditangannya.

“Enek opo To”

(Ada apa To)

“Iki enek telfon teko Rodiah Mbok”

(Ini ada telfon dari Rodiyah Mbok)

Yanto memberikan ponsel yang dia genggam kepada Si Mbok

“Halo Rod. Pie kabar e ?”

(Halo Rod. Bagaimana kabarnya ?)

Tampak Si Mbok mendengarkan suara Rodiah dibalik ponsel yang menempel pada telinga.

“Awakmu ape rene ? Kapan”

(Kamu Mau kesini ? Kapan ?)

“Poso sesok ?”

(Puasa besok ?)

“Iyo-iyo tak enteni. Ben Idul Fitri kabeh iso kumpul neng kene”

(Iya-iya Si Mbok tunggu. Biar Idul Fitri semua bisa kumpul disini)

“iyo wes. Waalaikumsalam”

(Iya sudah. Waalaikumsalam)

Si Mbok memberikan ponsel kepada Yanto yang masih berdiri disamping Si Mbok.

“Opo jare Rodiyah Mbok ?”

(Apa kata Rodiyah Mbok ?)

“Jarene poso sesok ape sambang rene, pengen Idul Fitri neng kene”

(Katanya puasa besok mau berkunjung kemari, pengen Idu lfitri disini)

 

*****

 

Ramadhan sudah memasuki hari kelima belas. Kabar dari Rodiyah, mereka akan berangkat pertengahan puasa karena menunggu anakknya libur sekolah. Ketika puasa sudah masuk dihari kelima belas, berarti lebaran sebentar lagi. Kebiasaan Si Mbok ketika masuk pertengahan puasa adalah membuat kue lebaran. Aneka kue dari kue kering mulai dibuat oleh Si Mbok.

Si Mbok sangat bersemangat jika lebaran akan datang. Karena Si Mbok berharap Marni akan pulang dan merindukan kue-kue buatan Si Mbok. Tradisi bagi perantau didesa Si Mbok adalah setiap lebaran mereka akan pulang dari perantauan dan berkumpul bersama keluarga. Begitu besar harapan Si Mbok, sampai setiap tahun membuat tape ketan kesukaan Marni. Namun kenyataannya, selama empat belas tahun Si Mbok menunggu, tetap tidak ada kabar dari Marni.

Sejak ramadhan tiba, Yanto sering lembur dan pulang malam dari pabrik padi tempatnya bekerja, sedangkan Surti istri Yanto sibuk dengan warung yang merupakan usaha keluarga yang baru satu tahun berdiri. Warung Surti menjual berbagi macam bahan pangan dan bumbu dapur. Usaha sampingan ini dilakukan untuk menambah biaya hidup karena semakin sulit mencari pekerjaan. Warung Surti memang selalu ramai karena paling lengkap menyediakan dagangan, apalagi saat puasa datang biasanya Surti menjual takjil yang pasti laris diserbu tetangga dan warga. Karena Surti sangat sibuk, akhirnya Si Mbok membuat kue dengan ditemani anak kedua Yanto yang masih SD.

“Mbok”

(Mbok)

Panggil Parman kepada Si Mbok yang sedang sibuk mengayak tepung

“Enek opo Man ?

(Ada apa Man ?)

Tanya Si Mbo masih fokus mengayak tepung.

“Bar lebaran niki kulo tak wangsol teng griyo geh Mbok.”

(Setelah lebaran ini aku mau pulang ke rumah ya Mbok.)

Lihat selengkapnya