MAHILA DIUJUNG SENJA

Meria Agustiana
Chapter #8

BAB 7

Satu minggu setelah kepergian Alif ke Sumatera bersama Rodiah, Parman kembali kerumahnya dengan Bayu. Rumah Parman sudah lama tidak ditempati semenjak Parman tinggal dirumah Si Mbok. Keadaan rumah masih sama seperti dahulu. Hanya saja rumah yang dulu tampak reot termakan usia, kini telah berubah menjadi rumah gedongan walau tidak begitu besar.

Selama Marni Pergi, Parman selelu bekerja keras untuk mencari uang. Alasan Parman bekerja begitu keras adalah Parman ingin meberikan hidup yang layak untuk anak-anaknya, Parman merenovasi rumah dengan tujuan ketika Marni pulang, Parman sudah memberikan tempat tinggal yang lebih layak untuk keluarganya. Alasan lain dari kerja kerasnya Parman adalah untuk melupakan kesalahannya yang telah membuat Marni pergi. Siang malam Parman bekerja tanpa memikirkan kesehatannya demi melupakan peristiwa dua puluh lima tahun silam, namun tetap saja rasa bersalah itu selalu menghantui Parman sampai kondisi kesehatannya memburk.

Beberapa hari ini kondisi Parman semakin tidak setabil. Bayu sudah memanggil seorang Mantri untuk memeriksa dan memberikan Parman obat. Namun tetap saja batuk yang dalami Parman semakin mengkhawatirkan.

Mendengan kabar Parman yang tidak begitu baik, Si Mbok pergi kerumah Parman untuk melihat kondisinya.

Si Mbok menyusuri jalan persawahan dengan berjalan kaki. Tubuhnya yang sudah tidak muda lagi membuat Si Mbok tampak lelah namun masih tetap melanjutkan langkahnya.

Setelah berjalan menyusuri sawah,Si Mbok harus menyebrang sungai irigasi kecil dengan jembatan bambu yang dibuat warga. Ini adalah akses jalan pintas yang untuk mencapai rumah Parman lebih cepat.

Setelah hampir sepuluh menit berjalan, sampailah Si Mbok di rumah Parman.

“Bayu... Bayu”

Panggil Si Mbok kepada Bayu setelah sampai dirumah Parman.

Hari belum terlalu siang, tetapi matahari sudah menunjukkan teriknya yang begitu panas menusuk hingga membuat Si Mbok langsung menuju dapur untuk mencari minum.

Si Mbok mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam teko yang ada dimeja dapar kemudian meminum aiar putih disalam gelas.

“Nyopo to Mbok ?

(Ada apa sih Mbok ?)

Tanya Bayu yang masuk dari pintu belakang

“Awakmu teko endi ? Pie bapakmu ?”

(Kamu dari mana ? Bagaimana Bapakmu ?)

Tanya Si Mbok dengan nada khawatir. Bayu masuk kedalam rumah tanpa menjaeab pertanyaan Si Mbok.

Bayu menuju kamar Parman.

“Pak enek Mbok”

(Pak ada Si Mbok)

Ucap Bayu kepada Parman yang tengah terbaring diranjang. Bayu memang anak yang sangat cuek kepada siapapun. Namun meski sangat cuek Bayu anak yang penuh kasih sayang kepada keluarganya.

Parman berusaha bangun dari tidurnya dan berjalan keluar menunju ruang tamu menemui Si Mbok.

Parman duduk disebelah Si Mbok yang telah duduk disebuah kursi kayu panjang, sedangkan Bayu pergi entah kemana setelah memanggil Parman.

“Pie keadaanmu Man ?”

(Bagaimana keadaanmu Man ?)

“Duko niki Mbok.”

(Entahlah Mbok)

“Neng rumah sakit wae pie Man ?”

(Ke rumah sakit saja bagaimana Man ?)

“Mboten usah Mbok.”

(Tidak usah Mbok)

Keheningan sesaat terjadi karena tidak ada percakapan yang terjadi.

Si Mbok beranjak dari tempat duduk dan menuju ranjang kecil diseberang Parman dan melipat satu persatu tumpukan baju Parman dan Bayu.

Parman tampak melamun dengan wajah yang sulit diartikan. Melihat sikap Parman, Si Mbok memulai pembicaraan.

“Enek opo to Man ?”

(Ada apa sih Man ?)

Parman tampak terkejut mendengar pertanyaan Si Mbok yang masih asik melipat Baju.

“Kulo namung mikir Mbok. Seumpono Gusti Allah mendet kulo rien sederenge Marni dereng wangsol, pripon nasib e bocah-bocah.”

(Saya hanya berfikir Mbo. Seumpana Allah mengambil saya duluan sebelum Marni Pulang, bagaimana nasib anak-anak)

 

Mengucap hal tersebut Parman tampak pasrah dengan semua keadaan yang tengah dia hadapi saat ini. Si Mbok menghentikan aktivitasnya namun tidak mengatakan apapun untuk menjawab Parman.

“Kulo ajeng jaluk sepuro teng jenengan Mbok. Goro-goro kulo Marni lungo seperene mboten enten kabar.”

(Saya mau minta maaf sama Si Mbok. Gara-gara saya Marni pergi dan sampai sekarang tidak ada kabar)

 

Parman mulai menangis memikirkan Marni dan keadaannya sekarang. Si Mbok hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa kepada Parman.

“Seprene kulo taseh ngeroso salah Mbok kaleh Marni, kaleh Si Mbok lan Bapak. Matur suon sanget Si Mbok pon nerimo kulu, pon ngopeni kulu pas sakit. Kolo jalok sepuro teng sampean Mbok”

(Sampai sekarang saya masih merasa bersalah Mbok sama Marni, Sma Si Mbok dan Bapak. Terimakasih sangat banyak Si Mbok sudah menerima saya, sudah mengurus saya waktu sakit. Saya benar-bener minta maaf sama Si Mbok)

Parman terus saja meminta maaf kepada Si Mbok.

“Wes Man ora usah dipikirne, Si Mbok wes nyeporo awakmu. Marni lungo iku yo karep e Marni dewe. Was awakmu ora usah mikir koyok ngono. Si Mbok karo kabeh wes nyepuro awakmu. Duduk salahmu Marni lungo, mergo kui karep e Marni dewe.”

(Sudah Man tidak usah dipikirkan, Si Mbok sudah memaafkan kamu. Marni pergi itu juga keinginan Marni sendiri. Sudah kamu tidak usah mikir kayak gitu. Si Mbok dan semua sudah memaafkan kamu. Bukan salahmu Marni Pergi, karena itu semua kemauan Marni sendiri)

 

“Kulo lego Mbok lek sampean pon nyeporo kulo. Kulo lego.”

Lihat selengkapnya