Mahkota Berduri

Acaren Atnic
Chapter #2

Pasukan Berkuda

Musim Gugur, 4090 M.A.

Riverway, Moontrose, Anglice.

Anak perempuan itu bersembunyi lagi, pikir Catherine. Sudah kebiasaannya mengejar-ngejar Rosie Pepperwhite yang bandel itu untuk makan siang. Ia terpaksa menghentikan pekerjaannya di kebun demi menemukan anak yang bersembunyi itu. Catherine adalah pengasuh kepercayaan keluarga Pepperwhite dan sudah bertahun-tahun yang lalu dia tidak merasa secapek ini. Tantangan terakhirnya adalah mengasuh Tuan Muda Pepperwhite, setelah itu putrinya. Catherine kini telah berusia hampir enam puluh, tetapi sosoknya yang anggun dan tinggi bagaikan seorang lady seolah menyembunyikan usia yang sebenarnya. Warna kulitnya kecokelatan seperti buah kenari, matanya lebar, dan rahangnya berbentuk persegi masih kelihatan kuat. Sepanjang siang, ia telah mencari ke kamar, halaman belakang, dan terakhir, ia mencari di kebun. Sesekali ia bertanya pada tetangga, tapi jawabannya selalu tidak tahu. Karena menyerah, ia pun kembali ke rumah. Gwyneth, si juru masak yang jadi sahabat baiknya, hanya menanggapi sambil mengeleng-gelengkan kepala. Gwyneth tahu betul bahwa Catherine mudah sekali marah, apalagi usianya semakin tua. Juru masak berambut merah dan bertubuh tambun dengan wajah menyenangkan itu berkata—sebuah perkataan yang sama untuk menurunkan temperamen Catherine yang meledak-ledak, “Sudahlah, Cathy. Nona Muda sudah besar, tanpa disuruh pun dia pasti datang makan siang.”

“Oh, jadi kau mulai membela dia, ya?” gerutu Catherine. “Anak itu selalu saja bikin masalah. Kau masih ingat apa yang dia lakukan pada jemuranku?”

“Ya, dia mengejar-ngejar ayam sampai menabrak tiang jemuran, lalu merubuhkannya,” kata Gwyneth. “Tapi, itu kan sudah tiga tahun yang lalu! Sekarang ia sudah terlalu tua untuk mengejar-ngejar ayam lagi.”

“Nah, itu! Kau benar dia sekarang sudah besar, tapi sifat bengalnya itu masih belum bisa disembuhkan! Terakhir kali keluarga Grimsby mengeluh salah satu domba mereka nyasar ke sumur tua, semua gara-gara Mr Grimsby pernah menghukum Rosie yang mencuri wortel dari kebunnya! Ugh, seandainya kau jadi aku, apa yang bisa kaulakukan selain mengomel, Gwyneth?”

Gwyneth mengangkat bahu. Tangannya sibuk menguliti kentang. "Well, aku tak pernah memahami kelakuan Nona Muda, tapi kalau kau bertanya, apa yang bisa kulakukan selain mengomel—mungkin aku hanya akan bersabar.”    

Catherine mendengus kesal, lalu duduk menumpukan kepala di tangan kiri sembari mengetuk-ngetuk meja sayur dengan geram. “Awas saja kalau setan kecil itu ketemu,” gumam pengasuh itu. “Sabar? Sabar, katamu? Bagaimana aku bisa bersabar, Gwyneth? Dia benar-benar berniat membuatku jengkel!”

Sementara kedua pengurus rumah tangga itu membicarakan dirinya di dapur, Rosie Pepperwhite muda menjulurkan kepala sedikit sambil cekikikan dari balik semak hawthorn, mengawasi dari jendela dapur yang terbuka. Ia lalu diam-diam merangkak di balik tumpukan labu di halaman belakang, memutar ke kebun di depan rumah, lalu melompat keluar dari pagar kayu setinggi setengah meter. Dilihatnya di sepanjang jalan setapak Riverway yang penuh kesibukan petani, dedaunan kuning membentuk gundukan di bawah pepohonan yang meranggas. Musim Gugur tahun ini akan sangat hebat, pikir Rosie. Dengan lentera dan lilin-lilin Halloween, serta dongeng-dongeng hantu, betapa sempurna! Tapi sayangnya, Rosie sudah terlalu tua untuk hal-hal semacam itu.

Sambil terus berjalan, Rosie berpapasan dengan anak-anak kecil yang bermain Tangkap-Penyihirnya-Lalu-Dibakar, sebuah permainan kuno yang diciptakan setelah insiden mengerikan terjadi di ibukota Moontrose, Wye Dungeon. Permainan itu melibatkan seorang anak berperan sebagai penyihir yang diikat kedua tangannya oleh teman-temannya menggunakan tali, kemudian disuruh menyentuh teman-temannya menggunakan gagang sapu yang digenggamnya. Apabila temannya ada yang kena, temannya itulah yang harus menjadi penyihir berikutnya. Si anak yang berperan sebagai penyihir, Louissa, menjerit-jerit setengah tertawa sambil bersusah payah memukul tangan teman-temannya menggunakan gagang sapu, yang sebetulnya terlalu pendek untuk jangkauannya.

Rosie menonton sambil tersenyum, lalu meneruskan berjalan. Ia pun sampai di jembatan kecil yang melintang di atas Sungai Tanpa Nama. Demikianlah Riverway disebut, sebab desanya dilintasi oleh dua sungai yang bermuara di bukit yang sama: Sungai Hai-Wye dan Sungai Tanpa Nama. Rosie memungut sebuah kerikil, lalu dilemparkannya ke arah sungai. Terlintas di benaknya percakapan Catherine dan Gwyneth barusan. Rosie sebetulnya tidak ingin membuat pengasuhnya repot, hanya saja dia merasa tidak layak diperlakukan Catherine seperti anak kecil. Memang usianya masih belia, tapi dia punya hak untuk menentukan nasibnya begitu dia lebih tua. Dua hari lagi, tepatnya di tanggal 30 Oktober, ia akan berusia tujuh belas tahun. Setelah Halloween berakhir, ia akan bebas melakukan pidato panjang di depan pengasuhnya tentang bahwa ia sudah dewasa sekarang. Tidak ada lagi perlakuan seperti anak kecil, tidak ada lagi dipaksa makan, tidak ada lagi dipaksa mandi—pokoknya semua itu harus diakhiri mulai dari sekarang! Tapi, yah, itu sih kalau Catherine sependapat dengannya, kan?

Rosie lebih menyukai Gwyneth yang tidak terlalu pemarah dan lebih banyak mengajarinya hal-hal baru—misalnya cara mengolah bumbu-bumbu dapur, cara berkebun, bahkan menangkap ayam—daripada mengomelinya terus-terusan karena melakukan hal yang salah. Memang siapa sih Catherine itu? Ibunya? Rosie mendengus. Ia sendiri tidak pernah mengenal ibunya, tapi cerita anak-anak di desa selalu menggambarkan sosok seorang ibu adalah wanita cerewet yang sukanya mengatur-ngatur, persis seperti Catherine. Ugh, pikir Rosie, kalau sudah begini, mending tidak usah punya ibu saja!

Melewati senja, riuh orkestra tonggeret mulai bermunculan di setiap sudut Riverway.

“Itu artinya aku harus pulang!” kata Rosie. Gadis itu melesat secepat angin puyuh kecil pulang ke rumahnya, yang berjarak sekitar satu kilometer dari jembatan Sungai Tanpa Nama. Beruntung memang punya tubuh ringan dan kecil seperti Rosie, karena berkat otot-otot di tubuhnya yang tipis dan lentur, ia jadi tak kenal lelah.

Rosie berjingkat-jingkat menyelinap ke dapur, mengendap-endap di balik lemari makan, kemudian mencuri semangkuk sup yang masih panas. Namun saat ia baru akan mengambil sendok di lemari, suara berdehem keras mengejutkannya.

“Aha, ketemu juga kau!”

Rosie nyaris menjatuhkan supnya ketika menoleh ke belakang. Sosok tubuh lebar Gwyneth yang terkekeh-kekeh membuatnya menghela napas lega.

“Oh, Gwyneth! Kukira tadi kau Catherine!”

“Intuisimu meleset!” tawa Gwyneth melebar. “Baiklah, sekarang kalau Nona Muda berkenan, sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan.”

“Baik, tenang saja, aku tidak akan lupa dengan tata krama sepele itu,” ujar Rosie sambil memutar balik ke bak pencuci. “Ehm, bagaimana keadaan Nenek?”

“Dia masih tidur, damai di kursinya,” jawab Gwyneth. “Aku sudah memintanya makan siang, tapi dia masih saja tidur. Yah, namanya juga orang tua. Semua orang tua kan begitu.”

“Aku akan menengoknya kalau begitu.”

“Jangan!” cegah Gwyneth. “Dia butuh istirahat. Aku saja tak berani tidak segera beranjak dari kamarnya karena dia itu galak sekali. Lebih-lebih karena ingatannya melemah, ia mungkin tidak ingat siapa saja penghuni rumah ini.”

“Ah, masa?” kata Rosie. “Aku yakin Nenek bukan orang seperti itu. Kalau memang dia tidak ingat pada wajahku, biarlah dia hanya ingat dengan sifat bandelku.”

Dengan demikian, gadis itu meluncur ke dalam kamar neneknya. Gwyneth hanya geleng-geleng kepala. Meskipun sifatnya bengal minta ampun, Rosie begitu sayang pada neneknya. Bukan hanya karena neneknya memang menyenangkan dan mandiri, tapi karena neneknya-lah orang yang membawa Rosie ke rumah itu. Kepergian kedua orang tua Rosie yang misterius membuat nenek Rosie merasa prihatin. Karena itulah dia mengambil sang cucu untuk tinggal bersamanya di Riverway. Ditemani dua pengasuh dan satu pelayan laki-laki bernama Joseph, yang tidak pernah bicara. Joseph masih muda, tampan, dan gagah. Meskipun pendiam, dia sangat menyayangi Rosie seperti adiknya sendiri.

Tempat tinggal keluarga kecil itu berupa gubuk yang sederhana tetapi nyaman, menghadap ke Sungai Hai-Wye (yang lambat laun semakin menyerupai selokan kecil), dan terpisah beberapa meter dari tetangga terdekat. Nenek Rosie mengatakan, gubuk itu satu-satunya peninggalan keluarga Pepperwhite yang masih asri dan terawat. Meskipun keluarga kecil itu tidak kaya, mereka menjalani hidup dengan bahagia.

Nenek Rosie masih tidur nyenyak sambil mendengkur. Kain bantal yang selesai direnda diletakkan di pangkuannya. Rosie perlahan-lahan mendekai kursi neneknya sambil berbisik, “’Met siang, Nenek. Aku bawakan kau sup.”

Wanita tua itu masih mendengkur. Ia tenggelam dalam mimpi-mimpi, yang menurut Rosie tentang kucing dan benang jahit. Rosie tak bisa memaksa neneknya bangun, akhirnya ia mengelus tangan keriput neneknya, lalu pergi perlahan-lahan.

Setelah menghabiskan supnya sendiri, Rosie bergegas kembali ke halaman rumah. Ia lalu menggali sebuah lubang yang tertutup papan, tujuannya menyelesaikan untaian kalung yang dia simpan di suatu tempat yang sangat rahasia. Nama tempat itu Peti Larangan—memang terdengar mengerikan, tapi alasannya sangat jelas. Rosie tak ingin siapapun membuka benda itu tanpa seizin dirinya. Sebenarnya tadi, ketika bersembunyi, ia diam-diam mencari batu putih untuk menghias kalungnya. Segera setelah menemukannya, ia begitu kegirangan, karena batu putih itu didapatkannya terjatuh dari kereta orang-orang gipsi yang kebetulan singgah di Riverway. Batu putih yang ditemukannya memiliki bentuk seperti bintang segi lima. Permukaannya sehalus pualam, namun coraknya mirip dengan granit. Rosie mengikat batu tersebut dengan tali sebagai liontin. Dipandanginya hasil karyanya itu dengan bangga.

Well,” katanya pada diri sendiri, “aku heran mengapa orang-orang di desa sebelah repot-repot membeli perhiasan di seorang pengrajin. Apakah mereka terlalu malas membuat sendiri?”

Tiba-tiba Rosie mendengar suara Catherine memanggilnya dari kejauhan. Gadis itu memutar bola mata sembari mendengus, lalu buru-buru naik ke kamarnya menggunakan tali yang dipasang di bingkai jendela. Tali itu segera dia terik kembali sebelum berbaring diam di kasurnya, tepat ketika Catherine juga naik ke kamar, dan mendapati gadis itu telah tertidur pulas. Dengan lega, Catherine menghela napas, lalu kembali turun. Rosie Pepperwhite terkikik-kikik sendiri dari dalam selimutnya.

“Mudah sekali meloloskan diri darinya!” gumam Rosie sembari mengelus kalung batu putihnya dengan geli. “Ah, jangan-jangan benar juga mitos kuno yang kudengar dari gipsi-gipsi itu! Batu putih segi lima mendatangkan keberuntungan!”

Lihat selengkapnya