Sang ksatria terbangun oleh aroma teh chamomile yang menusuk hidungnya, bercampur minyak kayu putih. Segera setelah matanya terbuka, pemandangan di hadapannya begitu mengejutkan.
Ia terbangun di atas dipan. Tangan kanannya sudah dibalut perban dan rupanya aroma menusuk tadi berasal dari obat lukanya. Montgomery mengerjap-ngerjap, bertanya-tanya di manakah dia sekarang? Sinar matahari pagi menembus jendela berkerai usang di ujung tempat tidur. Nyanyian robin terdengar dari luar jendela. Udara yang hangat merayapi punggungnya. Montgomery sama sekali lupa kejadian apa yang pernah ia alami. Yang ia ingat hanya luka yang ia dapatkan gara-gara berhadapan dengan cakar raksasa. Selebihnya kabur, tak ada yang lain. Tiba-tiba, Montgomery mendengar suara-suara orang berdebat di luar kamar.
“Gideon, sudah kubilang pria asing itu butuh istirahat! Jangan harap kau bisa menengoknya!”
“Ah, Ibu, aku ingin menyambut tamu kehormatan kita! Kasihan dia, untung lukanya cukup dangkal!”
“Dangkal atau tidak, dia tetap butuh istirahat!”
Sir Montgomery tidak mau berpura-pura tidur, karenanya ia celingukan ke sana kemari. Pedang dan pisaunya tidak ada! Saat ia mencoba turun, pinggangnya berderak sehingga ia pun mengurungkan niatnya. Hampir bersamaan dengan itu, berderak pintu kamarnya terbuka.
Dua orang berdiri bagai patung di ambang pintu. Salah satunya wanita gemuk berwajah lebar yang galak tetapi tampak baik hati. Ia memegang sebuah nampan berisi baskom. Di bahunya tersampir handuk wol yang sudah kumal. Berdiri persis di belakangnya, seorang pria kecil yang bahkan tidak lebih tinggi dari wanita itu. Rambutnya pirang dan kulit wajahnya kotor. Ia mengenakan jubah cokelat panjang dan matanya yang biru kecil berbinar-binar.
“Aha! Aku sudah bilang dia pasti baik-baik saja, kan, Bu?” seru laki-laki kecil itu ceria. “Mari, Tuan, mari! Kau beruntung masih bisa lolos dari maut, apalagi kalau sudah mendapat luka dari Sabercat!”
“Diam kau!” bentak si wanita gemuk. “Gideon, pergilah keluar! Biar aku saja yang menanganinya!”
Tapi si laki-laki kecil begitu semangat melihat Montgomery, yang diam terpaku di atas dipan, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Buru-buru laki-laki kecil bernama Gideon itu menghambur ke arahnya.
“Dari manakah kau berasal, Tuan?” ia berbisik penuh semangat. “Kau pasti orang dari Ibukota! Lihat kulitmu yang kekuning-kuningan itu! Ayah selalu bercerita bahwa para pedagang dari Ibukota memiliki kebiasaan berendam di air kunyit untuk membersihkan kutu-kutu di tubuh mereka, karena air di Ibukota sudah tidak sebersih air di pedesaan. Apa itu benar, Tuan?”
“Gideon, CUKUP!” lagi-lagi si wanita gemuk berkata. Suaranya lebih keras dari sebelumnya sehingga laki-laki kecil itu terkejut. “Kau mengganggunya! Keluar sekarang juga atau kupanggil ayahmu!”
“Oh, kau tak bisa melakukannya, Ibu!” kata Gideon keras kepala. “Aku sudah kebal dengan ancaman itu, dan ayahku yang pikun tak perlu marah-marah!”
Wanita gemuk itu menggeleng-geleng, sementara ia meletakkan baskom di samping tempat tidur Montgomery. Saat ia bergerak akan membasuh kening ksatria itu, Montgomery menolak.
“Nyonya—atau sebaiknya kupanggil Ibu—kau tak perlu repot-repot! Aku sudah merasa baikan setelah tidur lama. Eh, berapa lama aku tertidur?”
“Dua hari dua malam, tepatnya!” seru Gideon bersemangat. “Wow, itu rekor! Benar-benar bukan main, kan, Ibu?”
“DIAM!” gertak si wanita gemuk. “Sekali lagi kau bicara, Gideon, aku tendang kau keluar jendela!”
Gideon hanya mengangkat bahu, lalu meninggalkan kamar sembari bersiul-siul. Wanita gemuk itu mendesah dengan putus asa.
“Sebenarnya dialah yang menolongmu, Tuan,” katanya pada Sir Montgomery. “Gideon anak yang baik, tapi kadang kurang sopan. Ah, sudah waktunya dia bersikap selayaknya pria dewasa. Asal kau tahu saja, dia jugalah yang menjerang teh chamomile dan mencari minyak obat untuk lukamu. Nah, Tuan, kau mau makan apa pagi ini? Atau mungkin kau mau susu? Kami punya susu sapi terbaik yang pernah diperah langsung dari kandangnya!”
“Saya—saya hanya ingin mengatakan banyak terima kasih,” kata Montgomery cepat-cepat. “Kalian sungguh baik, tapi bagaimana dia menemukan saya?”
“Well, itu masalah sepele,” kata wanita itu. “Baiklah, kalau kau lapar, datanglah ke dapur, lima langkah dari kamar melalui lorong lalu belok kanan. Tapi bisakah kau menunduk, Tuan, supaya aku bisa membasuh wajahmu? Aha, begitu baru bagus! Kau datang dari Selatan—kata Gideon begitu? Kalau sudah makan, ceritalah pada kami soal perjalananmu!”
Setelah wanita itu pergi, Montgomery sebenarnya tidak berpikir untuk makan, tapi berhubung dia tak mau mengecewakan sang empunya rumah, maka ia bergerak keluar kamar. Pada awalnya, kaki dan tangannya terasa kaku, tetapi setelah terbiasa, bukan masalah lagi baginya berjalan ke dapur. Baru selangkah keluar kamar, Montgomery dikejutkan oleh asap menggumpal yang memenuhi lorong. Sang ksatria buru-buru menuju dapur.
Di dapur sempit itu, si wanita gemuk bersenandung sembari mencacah wortel. Di sampingnya ada keranjang rotan besar berisi sayur mayor, bawang putih, dan buah-buahan. Di meja kayu yang lain terdapat daging mentah, ayam yang sudah dicabuti bulunya, serta golok besar yang tertancap di bangku kecil. Asap tebal menggumpal-gumpal dari kuali hitam besar di atas tungku. Air di dalamnya menggelegak sementara api merah menjilat-jilat dasar kuali. Namun wanita itu santai saja, dan sembari mencacah lobak dan menabur merica, ia mengaduk kuali tersebut. Aroma asing namun lezat membanjiri ruangan. Lord Montgomery mencium ada campuran rosemary dan mint di dalamnya.
“Aha, sudah siap untuk sarapan? Baik, baik, aku hampir lupa memberimu piring dan sendok! Yak, tangkap, Tuan! Kau orang baik!”
Selama wanita gemuk itu bicara, nadanya selalu naik ke atas. Logatnya seperti logat Moontrose biasa, tapi nada itulah yang membuat Montgomery yakin bahwa wanita itu belum pernah tinggal di kota. Wanita itu lalu menuangkan sesendok besar sup yang asapnya masih mengepul ke dalam piring Montgomery. Ksatria itu mengucapkan terima kasih, lalu duduk di kursi kecil yang ada setelah menyingkirkan golok di atasnya. Ia makan dengan nikmat, lalu minum banyak-banyak dari gentong air. Setelah makan, si wanita gemuk memintanya bercerita tentang dirinya, juga tempatnya berasal. Betapa terkejutnya wanita itu mendengar kisah Montgomery.
“Sungguh luar biasa!” ujar wanita itu berkali-kali. “Luar biasa! Aku tak menyangka Moontrose memiliki orang terhormat seperti Anda, Tuan! Oh, mengapa tidak Anda bilang saja dari awal kalau Anda ini ksatria, Tuan?”
“Tak perlu terkejut padaku, Ibu,” kata Montgomery rendah hati. “Semua ksatria memiliki kehormatannya, tapi kehormatan itu bisa hilang jika dia berkhianat pada negeri dan rajanya.”
“Dan raja Anda—raja Anda bukankah Louis yang dikenal sebagai ‘Harimau Padang Rumput’ itu? Ya Tuhan, tak bisa kupercaya aku bisa bertemu dengan salah satu ksatrianya!”
“Ya, ya, beliau memang tersohor di kalangan jelata,” jawab Montgomery. “Seperti yang kalian tahu, Louis memang penyelamat yang dinanti-nantikan, dan kepadanya-lah aku mengabdi. Dan, oiya, Ibu tak perlu menggunakan ‘Anda’ untuk memanggilku karena penggunaan bahasa formal terlalu resmi bagi seorang ksatria tua yang tidak lagi terhormat. Aku sudah merasa senang dirawat dua hari dua malam di sini, dan makanan ini enak sekali. Aku belum pernah makan seenak ini sejak—yah, ini dampak perang besar yang melanda Moontrose dan Abbery mengakibatkan kegagalan panen di wilayah-wilayah dekat ibukota.”
Si wanita gemuk berdecak resah. “Kau tahu, Tuan Ksatria, ketika kata ‘Anda’ itu digunakan, bukan berarti kami menganggap siapapun yang menjadi ksatria adalah orang terhormat. Apalah orang desa seperti kami yang hanya bisa menyaksikan pergulatan negeri dari perbatasan? Perang, perang, perang. Selalu ada perang di mana-mana. Apabila kekacauan itu berakhir suatu hari nanti, apakah yang hendak kauperbuat, Tuan Ksatria?”
“Kurasa aku akan pulang,” jawab sang ksatria, menenggak minumannya lagi.
“Pulang? Ke rumah?”
“Tidak. Entahlah.”
Si wanita tertegun. “Kau tak punya rumah?”
Montgomery menggeleng. “Aku tidak akan pulang ke rumah. Tidak untuk selamanya, mungkin. Aku sudah lama meninggalkan rumah.”
“Kalau begitu, pulang ke mana?”
Montgomery mendesah. “Ke tempat yang bisa menerimaku.”
“Jadi, Tuan Ksatria diusir?”
“Aku tak tahu, apakah Wye Dungeon masih menginginkan pengabdianku atau tidak. Jika masih, maka aku akan kembali ke kastil. Namun apabila mereka sudah tidak membutuhkanku, atau berniat membunuhku, maka aku akan bersedia.”
“Ya Tuhan, lalu kenapa kau memilih pergi jika jawabannya belum pasti?”
“Karena aku memilih untuk mati dengan meninggalkan kehormatanku, ketimbang harus berhadapan dengan algojo manusia-manusia yang tidak menganggapku bagian dari negeriku,” kata Montgomery pelan.
Hening sejenak. Montgomery pun buru-buru mengganti topik.
“Di mana Gideon—ehm—bocah tadi?”
“Oh, dia di kandang, memberi makan ayam-ayam kami, kurasa,” kata si wanita sembari menghela napas.
“Dia anakmu?”
Wanita itu tertawa. “Bukan, tapi juga ya. Aku mengasuhnya setelah ibunya meninggal. Ayahnya pembuat sepatu yang terkenal di desa, tapi karena penyakit yang dideritanya, ia tidak bisa berbuat banyak akhir-akhir ini. Usaha membuat sepatunya seharusnya diteruskan oleh Gideon, tapi bocah itu tampaknya tidak seterampil ayahnya. Itulah mengapa kami sekarang hanya mengandalkan hasil ternak. Dan, Tuan, panggil aku Marion, jika kau tak keberatan. Menilik dirimu yang sudah tidak peduli lagi dengan gelar dan kehormatan, kuanggap kita berdua setara.”
Montgomery tersenyum. “Akhirnya, kita saling mengerti satu sama lain.”
Perawatan yang dilakukan Marion rupanya cukup mujarab. Setelah minum setenggak obat lagi, Montgomery merasa tubuhnya sudah bugar kembali. Bahkan, berlari-lari kecil pun sepertinya ia sudah bisa. Lukanya juga sudah benar-benar kering. Atas izin Marion, ia pun turun dari dipan untuk menjelajah rumah.
Mula-mula, ia mengikuti lorong sempit di rumah yang sempit itu hingga sampai di pintu depan sebelah barat. Melewati pintu itu, ia bisa melihat dunia luar. Pandangannya tertuju pada halaman luas bertanah lembek dengan jerami-jerami yang tertata rapi seperti gubuk-gubuk emas. Halaman itu ada lima hektar luasnya ke arah yang berlawanan dengan matahari terbit. Rumah itu sendiri menghadap selatan, sehingga tidak merasa silau ketika matahari mulai meninggi. Segerombol domba sedang makan di timur halaman yang dipenuhi rumput. Di samping rumah, persis di bagian yang dipagari kayu, terletak kandang ayam dan bebek yang saling berdampingan. Sedangkan jalan setapak yang becek berada di depan rumah, entah menuju ke mana, membatasi area rumah dengan hutan yang teduh, yang tumbuh di sepanjang jalan.
Gideon, laki-laki kecil berambut pirang itu, memang sedang berada di kandang ayam. Tetapi setelah memberi makan ayam, ia tidak beranjak dari tempatnya. Mata kecilnya yang biru tertuju pada pedang dan tameng kayu yang tergantung di dinding papan. Dulu, ketika masih kecil, Marion sering mendongenginya tentang raja-raja dan ksatria. Gideon sendiri bermimpi—selalu bermimpi—menjadi ksatria agung. Ia selalu bermimpi mengendarai kuda mengiringi Sang Raja dari wilayah dari Timur ke Barat, melindunginya dari setiap marabahaya. Kemudian namanya akan dielu-elukan, diceritakan dari mulut ke mulut sebagai pahlawan. Daerah Timur dan Barat adalah negeri-negeri indah yang penuh petualangan, akan tetapi tak ada yang jauh lebihh menggugah hati dibandingkan daerah Selatan. Konon, daerah Selatan adalah wilayah yang liar. Orang bilang, hewan-hewan buas hidup di sana. Itulah mengapa kekuasaan Raja tidak bisa menjangkaunya.
“Ah, kalau aku jadi ksatria sehebat itu, gumam Gideon, aku tak peduli seperti apa daerah yang kulalui, karena di setiap jengkal tanahnya pasti ada harta karun tersembunyi, atau petualangan lain! Ah, petualangan! Bagai nyanyian paling merdu yang pernah kudengar!”
“Nyanyian seperti apa?”
Gideon terkesiap ketika mendapati Sir Montgomery sudah berdiri di pintu kandang dengan lengan kiri di dinding, menopang tubuhnya.
“Aha, Tuan sudah kemari!” serunya, nada suaranya dibuat sama cerianya seperti sebelumnya untuk menutupi rasa malu. “Bagaimana keadaanmu? Kuharap sarapannya memuaskan.”
“Apa kau selalu melamun saat bekerja?” tanya Montgomery tenang.
“Tidak terlalu, mungkin karena pagi ini udaranya segar,” sahut Gideon. “Nah, kalau kau sudah merasa baikan, ada baiknya kau membantuku.”
Montgomery mengernyit. “Membantu apa?”
“Mengantarku!”
“Ke mana?”
“Ke desa. Aku harus menjual telur-telur ayam dan bebek kami.”
“Seberapa jauh?”
Gideon memutar bola matanya. “Hmmm, sekitar dua kilometer.”
“Baguslah!” kata Montgomery. “Aku akan senang pergi ke sana. Desanya pasti menyenangkan.”
“Uh, ya, pasti menyenangkan,” kata Gideon, nada suaranya terdengar enggan. “Kau belum kenal daerah ini rupanya, ya?”
“Aku sudah lama tinggal di Ibukota bersama rajaku. Kami jarang menjangkau daerah-daerah perbatasan kecuali ada kepentingan politik. Akhir-akhir ini, Wye Dungeon sedang mengalami pembenahan, jadi kami jauh lebih fokus pada kastil daripada dunia luar,” kata si ksatria.
“Hm, begitu,” kata Gideon. “Ya, setidaknya hidup di kastil kedengarannya tidak sesulit hidup di sini, eh?”
“Well, semua orang punya kesulitannya masing-masing,” kata Montgomery. “Omong-omong, katakan padaku, Anak Muda, dari mana kau tahu aku seorang ksatria?”
“Yah, semua orang mengenal sosok seorang ksatria bahkan sebelum mereka mengenalkan diri mereka. Mereka kelimis, berbahu bidang, dan kau punya sabuk kulit rusa dengan bintang perak pada gespermu—lambang kasatriyan Wye Dungeon, bukan? Asal tahu saja, aku sudah pernah dengar segala macam tentang ksatria dari Utara sampai Barat. Daerah Tenggara—maksudku Ibukota tempatmu tinggal pasti lebih tangguh lagi, kalau boleh kutebak.”
Sir Montgomery tergelak. “Aha, begitukah kisah mereka tentang kami?”
“Apa—apa aku salah bicara?” tanya Gideon, muka bundarnya semakin merah padam, menyerupai tomat.
Montgomery masih tergelak. “Well... sebenarnya, para ksatria tidak setangguh itu. Mereka bisa saja rapuh, dan... bahkan memerlukan orang lain. Bagiku tindakanmu menyelamatkan aku di hutan sudah bisa dibilang tindakan paling ‘ksatria’ yang pernah kaulakukan.”
Muka merah Gideon yang semula menyerupai tomat kini menjadi seungu buah melodi.