MAITREYA

Vini Yudianti
Chapter #1

PROLOG

Rumah-rumah baru dan lama berdempetan dalam satu jalan. Sebagian berlantai dua dan tiga, walaupun kebanyakan hanya satu lantai. Terlihat pagar-pagar yang masih digantungi pakaian juga sprei, walau matahari sudah lama terbenam. Anak-anak kecil pulang mengaji sambil berlarian dan merengek minta jajanan, sembari diteriaki para ibu yang kerepotan menggiring anak-anak itu agar tidak ke tengah jalan. 

Berbagai motor dengan beragam warna dan desingan knalpot lalu-lalang di gang-gang sempit. Sementara gerombolan remaja, sebagian mereka masih berseragam sekolah, berjalan tergesa-gesa terbayang takut dimarahi akibat pulang terlambat. Huh, pasti aku diomeli lagi sama Ibu…padahal kan aku nyicil bikin PR di sekolah, pikir salah satu dari remaja itu.

Di sudut gang lain, sekelompok pemuda tanggung dengan penampilan baru bangun tidur tampak bertegur sapa sambil berbagi rokok. Saat seorang wanita muda yang manis melintas, mereka bersiul-siul menggodanya. Wajah si wanita muda menjadi memerah karena menahan takut dan marah, bergegas ia mempercepat langkah. Salah satu pemuda yang rambutnya sebahu berwarna coklat kehijauan, memakai kaos hitam belel bergambar “The Ramones,” dipadu dengan celana jeans biru pudar sobek di bagian lutut, dan memakai sandal jepit usang biru tua, berteriak genit ke si wanita muda: “Assalamualaikum, Neng! Buru-buru amat, mau ke mana? Sini Aa anterin!”

300 meter dari lokasi geng pemuda baru bangun tidur, terbentang jalanan ramai dengan pemandangan tak kalah ramai. Sebuah tempat penampungan sampah berdiri tepat di seberang minimarket berlampu terang. Tak jauh dari sana, ada sebuah rumah sakit. Di seberang rumah sakit – yakni tepatnya bersebelahan dengan tempat penampungan sampah tadi – berderet-deret kios makanan beraneka rupa. Buah segar, nasi goreng, sate ayam, bakso tahu, siomay, gorengan, semua ada. Mereka berselang-seling dengan kios bahan mentah seperti sayuran, bawang, juga daging dan usus ayam segar. Motor dan mobil menderu-deru bersaling-silang di jalanan, mencipratkan air comberan ke pejalan kaki yang sedang kurang beruntung nasibnya. Sang pejalan kaki, seorang bapak kulit hitam sangar berumur 40 tahunan - memaki karena sepatunya jadi basah. Namun makiannya seolah terdengar biasa saja bagi orang-orang yang tengah mengantri nasi goreng di salah satu kios tenda, tepat di lokasi kejadian perkara.

Tidak jauh dari lokasi penuh warna tadi, menjulang apartemen tinggi 20 lantai. Dihiasi lampu kekuningan dengan desain modern minimalis, apartemen ini sangat kontras dengan segala elemen campur aduk yang mengelilinginya. Dalam suasana malam yang masih muda, apartemen itu terlihat sebagai balok cahaya yang berkilau syahdu. Walaupun sejujurnya, kemegahan pemandangan apartemen itu agak terganggu dengan kabel listrik yang centang perenang kacau.

Namun memang begitulah adanya Cicadas. Sesuai namanya, area ini tersohor sebagai area yang cadas – alias keras. Sekeras sorot mata kebanyakan penghuninya.

**********

 

“Kalian yakin akan menempatkan anak itu di sini? Di tengah kekacauan yang super duper ultra kacau ini?” suara seorang wanita memecah keheningan di ruangan itu.

Si wanita memiliki rambut putih kehijauan sepanjang lutut. Biasanya ia suka membiarkan rambutnya terurai, namun kali ini tertata dalam cepol rapi. Wajahnya cantik, walau sudah agak tua. Kulitnya putih semulus porselen dan mata almond hijau keperakan. Ada bintik-bintik seperti freckles di wajahnya, namun bintik-bintik tersebut menyerupai butiran air hujan yang mengkristal. Ia memakai busana gaun sederhana berwarna hijau pucat dengan aksen sulur berwarna perak. Namun, walaupun penampilannya mirip seperti wanita tua anggun, suaranya justru seperti anak kecil perempuan berumur 4 atau 5 tahun.

Selain si wanita bersuara anak kecil, ada dua sosok lainnya di ruangan itu. Semuanya memiliki gaya pakaian yang aneh-aneh. Satu orang tampak seperti pangeran tampan dengan rambut cokelat keemasan. Si pangeran memakai baju zirah emas dengan jubah biru. Warna jubahnya serasi dengan warna matanya yang sebiru lautan.

Kalaupun ada yang tidak biasa darinya, si pangeran tampan ini tingginya 3 meter. Lumayan kontras dengan si wanita tua yang tingginya sekitar 160 cm, dan satu sosok lain yang bahkan lebih pendek. Cebol, tepatnya. Sebab si pendek ini tingginya hanya 120 cm. 

Si cebol ini penampilannya mungkin paling aneh ketimbang kedua rekannya. Sebab bentukannya sama sekali tidak mirip manusia. Kepalanya botak dengan telinga kucing sangat besar. Ukuran sepasang telinganya sama besar dengan ukuran kepalanya. Matanya juga seperti mata kucing, namun satu berwarna ungu dan satunya lagi kuning emas. Si cebol ini punya ekor besar yang indah seperti ekor tupai. Pakaiannya lebih seperti selaput alumunium foil yang membungkus tubuhnya. Saat ini ia berdiri dengan dua kaki, dan sedang sibuk menggulung apa yang mirip seperti benang wol warna pink.

Lihat selengkapnya