Cuaca malam itu dingin berangin ditingkahi hujan gerimis. Jalanan utama di sebuah area sub urban yang terletak di kaki gunung itu sudah lengang. Padahal baru menjelang jam 9 malam. Kanan-kiri jalan tersebut padat oleh rumah-rumah, namun tidak banyak lampu jalan yang menyala. Di malam yang sunyi dan dingin ini, apalagi dengan latar belakang gunung yang menjulang bak batu hitam angkuh di kegelapan malam, membuat suasana area ini lumayan mencekam.
Di jalan yang sepi itu, terlihat sesosok bayangan hitam berjalan terengah-engah menapaki tikungan yang menanjak. Setelah berhasil melalui tanjakan, bayangan hitam itu berhenti di dekat sebuah tiang lampu jalan di depan warung beras yang sudah tutup. Barulah terlihat apa sebenarnya bayangan hitam itu.
Seorang gadis muda memakai jaket bertudung warna abu-abu, celana jins biru tua, dan sepatu Converse kuning. Mata coklat mudanya terlindung kacamata yang berair dan berembun akibat gerimis. Rambutnya ikal bob berantakan, ditutupi topi kupluk rajut warna pelangi. Sebuah tote bag warna biru dongker dengan siluet burung merak menggantung di bahu si gadis yang naik turun dengan cepat. Rupanya ia tersengal-sengal mengatur nafasnya.
Si gadis muda mengangkat tangan kirinya, hendak memegang tiang lampu jalan untuk berpegangan sejenak. Namun, sedetik sebelum jarinya menyentuh si tiang, reflex ia menarik lagi tangannya. Si gadis kemudian mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya membentuk gesture seperti orang hendak berdoa, lalu ia meniup-niup kedua tangannya. Kemudian ia mengelap tangannya ke bagian dada jaketnya. Jaket yang sudah agak lembab terkena rintik hujan itu makin payah kelihatannya. Ada dua bercak air besar di tempat si gadis mengelapkan tangannya.
Setelah ia merasa tangannya lumayan kering, si gadis memegang tiang lampu. Ia memejamkan mata sambil berusaha mengatur nafasnya yang berloncatan tak beraturan.
“Nessa, ayo nafas…nafas. Sedikit lagi kita sampai. Begitu sampai rumah, kita bisa tidur,” ucap si gadis pada dirinya sendiri. Sembari mengatur nafas, Nessa menegakkan kepalanya untuk melihat ke depan. Tapi pandangannya buram karena kacamatanya berair.
“Oh iya, harus dilap dulu. Tisu mana tisu. Oh iya, tisuku tadi sudah habis dipakai melap meja dapur sebelum pulang. Yaudalah, lap pakai ini saja,” Nessa melepas kacamata lalu mengusapnya sembarangan ke tali tote bag kanvasnya. “Nah, sudah mendingan. Yuk,jalan lagi.”
Tiba-tiba, hujan yang tadinya gerimis menjadi deras. Nessa sontak berlari sekencang yang ia bisa, menyeberang jalan, berbelok ke salah satu gang, dan terus berlari hingga ia berhenti di sebuah pagar rumah berwarna hitam. Ia membungkuk mengecek selot pagar. Sudah dikunci.
Nessa merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah dompet koin berbentuk kelinci warna putih. Ia mencari kuncinya di sana, yang tertimbun recehan. Ketemu. Sebuah kunci berwarna perak dengan gantungan kristal persegi panjang berwarna ungu ditariknya dari dompet. Nessa membuka pagar, lalu menutup dan menguncinya kembali dengan sepelan mungkin. Kemudian ia berjalan ke pintu rumah, dan membuka pintu rumah dengan kunci lain yang sudah digenggamnya.
Masih terang tapi kok sepi. Mungkin sudah pada tidur, yang adalah tumben, pikir Nessa. Maka ia berusaha bergerak sehalus mungkin agar tidak menimbulkan suara. Nessa melepas sepatunya yang basah, ia memutuskan menyimpan sepatu Converse kuningnya di sudut teras yang terlindung dari hujan. Sebab tidak mungkin ia menaruh sepatu basah di rak sepatu dalam rumah.
Nessa mengunci pintu rumah. Lalu sambil berjalan ke kamarnya, ia memadamkan lampu-lampu ruangan yang masih menyala terang, sehingga tinggal beberapa lampu yang difungsikan sebagai penerangan malam hari yang menyala. Sebuah lampu meja di area foyer, satu lampu kecil di ruang keluarga, dan satu lampu lagi di dapur. Nah, sudah. Hemat listrik itu baik, gumam Nessa pada dirinya sendiri.
Saat Nessa hendak masuk ke kamarnya yang terletak di dekat dapur, tiba-tiba sebuah suara wanita tegas menegurnya.
“Baru pulang? Ke mana saja jam segini baru pulang?” Suara itu berasal dari Mira, bibi Nessa. Bibi Mira adalah wanita usia 50 tahunan yang tampak seperti berusia 40-an. Tinggi tubuhnya sedang-sedang saja, hanya sekitar 158 cm. Namun, tungkai kakinya yang panjang dan leher jenjang membuatnya tampak lebih tinggi dari aslinya. Rambutnya yang lurus sebahu tersisir rapi tanpa cela. Warna rambutnya coklat almond, menyembunyikan uban-uban yang seharusnya ada. Walau Bibi Mira saat ini hanya mengenakan daster selutut kesayangannya, namun ia tetap saja lumayan mengintimidasi.
“Eh, Bibi Mira. Iya, saya baru pulang. Tadi kedainya ramai, jadi baru bisa ditinggal jam 8 malam,” Nessa menjawab pertanyaan Bibi Mira sambil berusaha tersenyum padahal sebetulnya ia capek sekali.
“Lain kali jangan sering pulang malam. Tidak baik untuk anak gadis. Keasikan kerja ya, sampai lupa urus rumah,” Bibi Mira merepet dengan nada agak merendahkan.
“Beras habis. Besok tolong kamu beli dulu sebelum berangkat kerja. Pamanmu belum sempat beli. Bibi besok sudah pergi pagi-pagi, banyak urusan. Bibi akan berangkat jam 5 pagi, dan pulangnya malam. Jadi besok kamu jangan pulang malam juga. Pamanmu juga lagi sibuk. Harus ada yang mau ngalah jaga rumah. Besok maksimal jam 5 sore kamu harus sudah di rumah. Tolong siapkan sarapan untuk Bibi dan Paman besok pagi.”
Setelah selesai merepet, Bibi Mira melengos dan naik ke tangga menuju kamarnya Meninggalkan Nessa yang terdiam sambil tangannya memegang gagang pintu kamarnya.
“Oh. Baiklah, Bi…” Hanya itulah yang Nessa gumamkan sebelum ia masuk ke kamarnya.