Malam itu, Nessa bermimpi. Ia bertemu seorang nenek tua cantik yang suaranya mirip anak kecil, seorang pria gondrong berambut cokelat keemasan berbadan tinggi besar (sangat besar, tingginya sekitar 3 meter!) bermata biru memakai baju zirah emas dan jubah berwarna sebiru lautan, serta satu makhluk yang menyerupai kucing berbaju metalik namun berjalan dengan dua kaki layaknya manusia.
Mereka berdiri bersandar pada sebuah pesawat aneh berwarna rosegold di tengah padang rumput yang rumputnya berwarna kuning keperakan. Berempat bersama, mereka memandang matahari terbenam dengan latar belakang langit yang berwarna merah jambu kehijauan.
Dalam mimpi, Nessa merasa sangat damai dan ringan. Walaupun sejujurnya terbersit rasa takut bercampur penasaran pada ketiga makhluk yang bersamanya. Ya jelas saja, siapa yang tidak penasaran kalau ada orang setinggi tiga meter ada di sebelahmu?
Nessa tahu, ia sedang bermimpi. Namun ia merasakan bahwa mimpi ini sangat nyata.
Konon, berdasarkan beberapa literatur sains yang pernah Nessa baca di perpustakaan kota, mimpi itu warnanya hitam putih. Namun Nessa tidak pernah setuju dengan teori tersebut. Sebab seumur hidupnya, Nessa selalu bermimpi warna-warni.
Seperti mimpi yang ini, misalnya. Pemandangan sekelilingnya sangat indah dan damai. Warna-warninya vibran. Angin berhembus semilir lembut, aromanya semanis kapas kembang gula.
Ketiga makhluk yang membersamai Nessa masih berdiri di samping Nessa. Si pria berambut cokelat itu menguarkan aura yang sangat tegas dalam keheningannya. Seperti aura seorang panglima perang atau pemimpin militer. Pria ini berdiri di samping kirinya. Si wanita tua dengan suara anak kecil menyanyikan - atau lebih tepatnya seperti meracau pelan dengan suara merdu - rangkaian bunyi-bunyian dalam bahasa yang tidak Nessa pahami. Sementara si kucing berbaju astronot mulai berguling-guling asyik sendiri bermain gulungan benang wol yang tiba-tiba muncul sendiri.
Nessa memberanikan diri buka suara, “Kalian siapa? Datang dari mana? Ini aku ada di mana?” Ia bertanya sambil menengadah ke kiri, mencoba bertanya kepada si pria raksasa. Yang karena si gondrong cokelat ini tinggi sekali, wajahnya menjadi silau tertutupi cahaya ‘matahari’ senja.
“Halo Nessa, akhirnya kita bisa bertemu lagi dalam keadaan kamu cukup sadar,” ucap pria itu. Suaranya dingin berwibawa. Namun anehnya, Nessa menangkap ada kehalusan selembut beludru tersirat di sana.
“Bertemu lagi? Apakah kita sebelumnya sudah pernah bertemu?” tanya Nessa.
Ia sendiri merasa aneh. Orang-orang ini seharusnya asing baginya. Namun entah kenapa, ada perasaan familiar. Seperti bertemu kerabat jauh yang dirindukan.
Yang tentunya adalah aneh kuadrat. Aku ini kan yatim piatu, sebatang kara. Mana ada kerabat jauh selain Paman Toni sekeluarga.
“Aku Michael. Aku, tepatnya kami semua, selama ini selalu ada mengawasimu,” ucap Michael pendek.
“Aku? Diawasi? Kenapa? Untuk apa?” tanya Nessa, memberondong Michael dengan pertanyaan…walaupun tetap sambil takut-takut.