Maitua

intan elsa lantika
Chapter #4

Andreas

"Duh, gimana aku bisa dapat kontaknya ya?" gumam ku sambil rebahan di kasur.

Aku memikirkan cara untuk mendapatkan kontak si mantan ketua osis di SMA ku. Namanya Andreas, saat aku kelas sepuluh dia menjabat sebagai ketua osis untuk satu tahun masa jabatan. Saat ujian akhir semester kelas sepuluh kebetulan aku duduk bersebelahan dengannya. Ya, di sekolah ku menerapkan sistem gabung dua kelas saat ujian, kelas sepuluh ditambah kelas sebelas saat itu. Karena sistem ini, akhirnya ujian menjadi ajang kenalan antara adik kelas dan kakak kelas.

Anehnya, si ketua osis ini tidak pernah menyapa ku secara langsung, dia beberapa kali kepergok sedang memandang ku di ruang ujian, hingga menjadi bahan cie-ciean oleh teman-teman Andreas dan juga teman-teman ku. Beberapa kali juga ia menitipkan salam melalui beberapa orang teman ku, bahkan ia mengatakan ia menyukai ku. Aku juga pernah mendapati dia mengikuti angkot yang sedang aku naiki untuk pulang. Tapi tak sekalipun ia pernah menyapaku secara langsung maupun melalui telepon atau sms.

Tapi yang menarik dari kisah kami disekolah adalah, hampir satu sekolah tau bahwa si ketua osis menyukai ku, entah bagaimana caranya. Namun terbukti dengan beberapa kali si ketua osis ketahuan jalan dengan cewek, teman-teman ku di sekolah selalu laporan pada ku, hingga aku pernah diserang oleh kakak kelas yang menyuruh ku untuk menjauhi si ketua osis, sampai membuat aku bingung apa yang harus aku lakukan untuk menjauhinya? Kami tidak pernah berkomunikasi sekalipun.

Satu-satunya cara kami terkoneksi secara langsung hanya dengan sapaan khas Andreas untuk ku. Yaitu, di mading! Tiap minggu, mading sekolah akan di ganti dan setiap mading baru terpasang aku akan menjadi orang pertama yang membacanya, untuk mencari info menarik dan melihat ramalan zodiak ku minggu itu. Dan setiap aku sedang membaca mading, Andreas pasti akan lewat dan mengucapkan salam pada punggung ku.

"Assalamu'alaikum!"

Aku masih teringat jelas suara tegas Andreas mengucapkan salam di depan mading. Setiap aku menoleh hendak menjawab salam, yang aku lihat hanyalah punggungnya yang sedang berjalan dengan cepat menjauh dari ku.

"Wa'alaikumsalam," ucap ku pelan sambil memandang Andreas berjalan menjauh.

Awalnya aku merasa bingung, apa dia benar mengucapkan salam pada ku atau tidak, tapi buktinya di beberapa kali kesempatan aku hanya sedang sendirian di mading itu. Mading kami terletak di lorong pendek yang jika di lalui hanya akan muat untuk 3 orang berjalan bersamaan. Jadi aku yakin seratus persen di beberapa kali kesempatan itu aku hanya sendiri.

Yang lucu jika aku sedang membaca mading bersama teman ku, lalu Andreas lewat sambil mengucapkan salam. Hal itu hanya akan membuat teman ku bingung, aku hanya menikmati kelucuan itu tanpa menjelaskan apapun pada teman ku. Lama-lama aku mulai terbiasa dengan cara menyapanya yang unik, hingga aku hapal sekali akan suaranya yang berat dan tegas itu.

"Andreas!" ucap ku sambil memandang langit-langit kamar ku.

Lihat selengkapnya