Andreas memacu sepeda motornya dengan kecepatan normal, sepertinya hanya 40 km/jam. Tiba-tiba Andreas mengerem mendadak dan tubuh ku seketika terdorong ke depan hingga menyentuh punggung Andreas.
"Aduh, maaf!" ucap ku sambil menarik tubuh ku untuk mundur kembali. Sedari awal aku memang benar-benar menjaga jarak duduk ku dengan Andreas.
Andreas terlihat menarik nafas panjang sambil kembali menyeimbangkan laju motornya, "Huh," suara Andreas menghembuskan nafas dengan kencang.
"Kenapa?" tanya ku.
"Ada lubang! Kaget!" ucap Andreas.
Aku menoleh ke belakang untuk melihat lubang yang Andreas maksudkan.
"Nggak ada!" ucap ku setelah melihat jalan mulus yang baru saja kami lewati.
Andreas mengelus dadanya, "Wuw!" ucap Andreas lagi dengan nafas yang masih belum normal.
"Kamu sengaja ya?" tuduh ku.
"Nggak sengaja! Beneran ada lubang tadi!" Andreas membela diri.
"Ih, kamu sengaja!" lanjut ku tetap menuduh.
Andreas hanya tertawa dan aku melihat tawa Andreas yang sangat lebar melalui spion motornya.
Aku menyadari sesuatu, jika bayangan Andreas terlihat oleh ku, berarti dari tadi bayangan ku juga terlihat oleh Andreas.
"Kok spionnya ngadep aku?" tanya ku.
"Aku mau lihat kamu sepanjang jalan!" jawab Andreas hangat.
Andreas membuat ku tidak bisa berkata apa-apa. Aku berusaha mengontrol diri ku agar tidak dulu luluh dalam perasaan.
"Apaan sih?" tanya ku dengan senyum kecil.
Andreas kembali memandangi ku dari spion.
"Lihat jalan! Jangan lihat aku!" perintah ku karena merasa salah tingkah.
Andreas tertawa dan kami pun memasuki halaman sekolah.
Aku menatap bangunan sekolah yang sebenarnya belum ku rindukan. Tapi berbeda dengan Andreas, ia menatap dengan tatapan penuh cinta.
"Masih belum move on dari tempat kejayaannya ya, Pak?" tanya ku bercanda pada Andreas.
"Aku pernah memimpin disini!" ucap Andreas dengan bangga.
"Iya, tau! Ketua Osis!" ujar ku.
Kami melangkah memasuki lorong pertama sekolah yang langsung menuju lapangan upacara.
"Aku pernah jadi pemimpin upacara di sana!" ucap Andreas mengenang masa lalu.
"Aku pernah jadi pemimpin paduan suara!" ujar ku tak mau kalah.
"Jerigen!" ucap Andreas sambil tertawa.
"Dirigen!" ucap ku membenarkan.
Saat hampir melewati ruang kepala sekolah, dari kejauhan terlihat pak Yanto yang berjalan ke arah kami.
"Wah, kedatangan tamu anak IPDN kita!" ucap pak Yanto semangat.
Pak Yanto langsung merangkul bahu Andreas dan menuntun Andreas berjalan masuk ke ruang kepala sekolah.
Aku tidak mengikuti Andreas, dan tetap berjalan pelan hingga aku menunggu dan berdiri di depan ruang kepala sekolah sambil melihat kearah lapangan yang sedang di pakai siswa untuk melaksanakan kegiatan class meeting.