Maitua

intan elsa lantika
Chapter #12

Danau

Aku hanya mengikuti kemana arah motor Andreas membawa ku. Karena aku hanya ingin melunasi janji. Saat nanti sudah semua ku tepati, mungkin aku tidak akan melanjutkan apa-apa dengan Andreas. Aku hanya akan memikirkan masa depan, aku akan menjadi wanita karir yang mandiri dan mampu berdiri di atas kaki ku sendiri.

Andreas terlihat sangat bersemangat memacu motornya dalam balutan seragam dinas pesiar IPDN, aku memegangi topi Andreas yang terlihat seperti topi polisi. Di sepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal, tentang bagaimana rasanya kuliah, tentang nasionalisme, tentang bisnis dan hal random lainnya.

Akhirnya kami sampai, dan ternyata arah motor Andreas membawa kami ke Danau Kerinci, danau yang membentang bagai cermin raksasa yang memantulkan langit biru dan awan putih berarak. Airnya berwarna hijau toska, jernih dan tenang. Di sekelilingnya, pepohonan rindang menjulang, seolah menjaga danau ini dari hiruk-pikuk dunia luar.

Setelah turun dari motor, aku dan Andreas segera menuju rumah panggung yang ada di pinggir danau ini.

"Foto yuk!" ajak ku.

Andreas langsung mengeluarkan hpnya dan mulai mengambil foto.

Setelah mengambil dua gambar, Andreas menyimpan hpnya dan langsung melempar pandangannya pada danau. Andreas terdiam untuk beberapa saat, dan aku pun mengikuti arah pandangan Andreas.

"Hidup kaya sebagai pengusaha sukses, atau hidup sederhana sebagai pemimpin yang memikirkan rakyat banyak?" tanya Andreas dengan suara sendu dan pandangannya masih tetap menatap riak air yang ada di bawah rumah panggung.

Aku terdiam sejenak dan nafas ku mengikuti alunan riakan air yang membentur tiang rumah panggung.

Aku memikirkan pertanyaan Andreas dengan serius, karena aku pun juga sedang dalam pilihan yang sekiranya mirip dengan pikiran Andreas. Karena sebenarnya jauh dalam lubuk hati ku masih ada perasaan ingin menjadi seorang istri dan ibu di masa depan yang siap sedia mengurus keluarga di rumah, namun tertutupi oleh keinginan ku untuk menjadi pengusaha kaya agar bisa menaikan derajat keluarga dan bisa hidup mandiri tanpa direndahkan.

Aku seperti memiliki trauma melihat mama yang hidup sebagai janda yang selalu diremehkan. Aku tidak mau berakhir seperti mama, harus berjuang keras membesarkan anak dengan pandangan sebelah mata dari orang-orang terdekat mama sendiri. Hingga aku, kak Sovi dan Nugraha selalu tidak di dukung untuk sekolah dan kuliah.

Padahal aku sangat bangga pada mama, bisa berjuang sekeras itu untuk anak-anak dan kedua orang tua yang sudah renta, namun tetap di pandang sebelah mata karena tidak bekerja. Padahal mama sudah berusaha sekuat tenaga.

Trauma itu akhirnya memaksa ku untuk berjuang menggapai mimpi dan kesuksesan hingga tidak ada lagi orang yang berani memandang rendah kami. Dan aku memilih untuk menjadi pengusaha juga dengan pertimbangan agar memiliki waktu yang fleksibel agar bisa tetap mengurus keluarga seperti mama.

"Gimana kalo pilihan itu dijadiin satu?" ucap ku sambil menoleh pada Andreas.

Andreas mengangkat kepala, "Maksudnya?" tanya Andreas.

"Kamu bisa jadi pengusaha dan hidup kaya, trus juga jadi pemimpin yang memikirkan rakyat! Kalau kamu kaya, jadinya kan bisa bantuin rakyat dengan uang sendiri! Jadi, usahanya nggak setengah-setengah gitu! Nggak cuma mikirin rakyat aja, tapi juga bisa mengulurkan tangan secara langsung! Kamu kan cowok, emang kaum adam kan udah ditakdirkan untuk jadi imam, pemimpin!" ujar ku menjelaskan.

"Gitu ya? Sayang nggak sih, uang dari hasil usaha kita dibagiin ke orang-orang secara cuma-cuma?" tanya Andreas.

"Kalo emang berlebih, apa salahnya berbagi? Toh yang kita makan, yang kita pake untuk hidup sehari-hari juga bakal segitu-gitu aja, jadi kelebihannya bisa berbagi!" jawab ku.

"Kita punya pikiran yang sama!" ucap Andreas tersenyum menatap ku.

Aku tersenyum, "Emang aku anaknya punya pikiran yang lebih dewasa dari umur sih!" ucap ku berbangga diri.

Andreas tertawa kecil, "Kalo gitu, kamu mau nggak bantuin aku?" tanya Andreas.

"Bantuin kamu apa?" aku bertanya balik.

"Untuk jadi kaya dan mendukung aku jadi pemimpin!" ujar Andreas.

Aku tersenyum, "Coblos nomor berapa?" tanya ku bercanda.

Lihat selengkapnya