Maitua

intan elsa lantika
Chapter #20

Praktik Lapangan Desa

Aku dan Sheli berdiri di depan rumah dua lantai yang berwarna kuning, rumah ini lumayan besar dibandingkan dengan rumah sekitarnya. Walaupun terletak di dalam gang dan dekat dengan sawah, namun rumah ini cukup mewah dan asri.

Aku menatap papan yang bertuliskan Praktik Mandiri Bidan.

"Selamat datang di rumah kita untuk delapan minggu ke depan!" ucap Sheli teman sesama mahasiswi kebidanan, kami sama-sama dari Poltekkes dan seangkatan, kami hanya beda kelas saja.

"Welcome home! Have fun!" ucap ku sambil menghela nafas dan menguatkan diri untuk memulai praktik lapangan ini.

"Semoga kita kuat ya cabat!" ujar Sheli.

Sejak awal tahu kami akan bertugas berdua, aku dan Sheli sudah mulai dekat sejak dari kampus, aku memang punya kebiasaan mudah dekat dengan siapapun, jadi aku dengan sangat mudah menyesuaikan diri dengan Sheli, Sheli pun juga sama, dia tidak pemalu, ceria, agamais dan sangat bersahabat.

Kami masuk ke rumah itu dan di sambut dengan sangat baik oleh bidan yang akan menampung serta akan mengajari kami untuk menjadi bidan secara langsung.

Kami diberi tempat yang sangat layak oleh bidan Rani. Kamar yang nyaman, fasilitas lengkap, makanan yang enak, dan kami diizinkan untuk masuk bahkan berkeliaran di bagian rumah, dapur hingga klinik. Aku sangat bersyukur dengan keadaan ini, mengingat ada banyak teman kami yang mengeluh tidak nyaman saat praktik lapangan.

Bidan Rani memiliki keluarga yang sangat harmonis, suami bidan Rani merupakan seorang camat dan bidan Rani memiliki tiga anak yang pintar dan baik. Dari bidan Rani aku merasa tidak hanya belajar untuk menjadi bidan, tapi juga mendapat pelajaran menjadi istri dan ibu yang baik.

Bidan Rani tidak hanya sukses dalam karir sebagai bidan, namun juga berhasil dan tetap mengurus keluarga hingga menciptakan sakinah, mawaddah, warahmah di dalam rumah tangganya.

Aku benar-benar kagum dan mencatat keluarga ini sebagai contoh keluarga harmonis, setiap pagi aku melihat pasangan paruh baya ini bersalaman, sang istri mencium tangan suami dan sang suami mencium kedua pipi istri sebelum berangkat kerja. Setiap ada kesempatan, keluarga ini menunaikan sholat dengan berjamaah dan setiap jam makan malam, meja makan mereka penuh oleh semua anggota keluarga serta makan dengan suka cita.

Suatu sore, pasien sedang tidak terlalu ramai, aku yang penasaran bagaimana kiat bidan Rani bisa sukses sebagai bidan, istri dan ibu, mengambil kesempatan ini untuk meminta ilmu di luar ilmu kebidanan.

"Buk, mau nanya sesuatu di luar konteks kebidanan boleh nggak?" tanya ku sambil mendekat ke meja praktek bidan Rani.

"Hmm, apa tu?" tanya bidan Rani santai.

"Minta tips biar bisa jadi kayak ibuk! Karir bidan lancar, jadi istri soleha, jadi ibu hebat," ujar ku memuji bidan Rani.

"Kata siapa?" tanya bidan Rani sambil tertawa kecil.

"Ya Allah, Buk! Saya lihat sendiri, sayang kalo ilmu ini nggak diserap juga dari ibuk! Buat bekal nikah!" ujar ku membujuk bidan Rani.

Bidan Rani tersenyum menatap ku dengan senyuman khas dan tulus itu. Namun Sheli yang duduk bersebrangan dengan ku, malah menatap heran.

"Emang udah pada punya calon?" tanya bidan Rani.

"Saya nggak buk! Intan aja tuh!" ujar Sheli panik.

"Ya, nanti! Mau nggak mau kan juga bakalan nikah kan?" ujar ku bersikeras.

Lihat selengkapnya