Maitua

intan elsa lantika
Chapter #21

Praktik Lapangan Rumah Sakit

Di balik kaca besar yang membatasi ruangan, aku melihat seorang perawat dan orang tua pasien yang terlihat sedang berdebat di depan inkubator yang berisikan bayi mungil yang terlihat menangis.

"Si Ima kenapa sih hari ini?" tanya salah seorang perawat yang berada seruangan dengan ku.

"Masih stress gara-gara pengangkatan kemarin, gara-gara umur yang lewat satu bulan, dia nggak bisa diangkat jadi PNS, dia udah honor lama banget! Yang baru honor kemarin malah langsung diangkat! Makanya suka marah-marah!" jawab perawat lainnya sambil ikut memperhatikan.

"Kenapa dikasih dia yang mantau bayi sih?" lanjut perawat itu sambil melanjutkan pekerjaannya kembali.

"Kak, biar saya aja yang bantuin kak Ima memantau bayi!" aku menawarkan diri karena memang ingin punya pengalaman merawat bayi prematur.

Perawat yang berdebat dengan orang tua bayi terlihat pergi meninggalkan ruangan NICU dan kembali ke ruang perawat tempat ku berada saat ini.

"Biar mahasiswa aja yang mantau bayi, Im!" ujar salah satu perawat pada perawat yang berdebat tadi yang terlihat marah.

"Terserah!" ucap perawat itu sambil berlalu masuk ke kamar.

Aku segera menuju ruangan NICU yang berwarna putih steril, di bawah lampu neon yang dingin, terletak sebuah inkubator kecil yang melindungi keajaiban besar di dalamnya. Di dalam inkubator itu, seorang bayi prematur tampak begitu rapuh. Tubuhnya yang mungil dibalut dengan lapisan tipis kain flanel, sementara paru-parunya yang belum matang, seolah berusaha keras untuk mengembang demi menghirup angin yang disebut udara.

Inkubator itu bagaikan sebuah kapal selam yang menjelajahi lautan gelap, melindungi si kecil dari segala ancaman luar. Suara bising mesin dan alat medis bersahutan dengan lembut, seolah memberikan nada penghiburan di tengah kesunyian yang kerap menenangkan. Monitor di samping inkubator menunjukkan angka-angka yang terus berubah, menggambarkan detak jantung dan hembusan napas bayi itu dalam sebuah simfoni kehidupan yang halus.

Saat pintu inkubator terbuka, udara hangat yang membungkus bayi itu keluar dan terasa seperti pelukan lembut, serta merebak lah aroma antiseptik bercampur dengan wangi ringan bayi yang baru lahir.

Di balik kaca inkubator, mata bayi yang masih jarang mengedip, terbuka dengan lebar dan menatap dengan tatapan yang belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan meskipun tubuhnya kecil dan lemah, di dalam dirinya seperti tersimpan kekuatan yang tak terkatakan, sebuah keinginan untuk tumbuh dan berkembang, melawan segala kemungkinan dan ketidakpastian.

"Dek, tolong perbaiki plester yang di pipinya!" ucap ayah dari sang bayi.

"Tapi tolong jangan kasar kayak perawat yang tadi!" lanjut ayah bayi.

Aku segera berusaha membuka plester perekat selang NGT yang ujungnya sudah tidak menempel kuat, sehingga selang NGT itu mudah bergerak dan ditakutkan akan bisa ditarik oleh bayi hingga selang itu keluar. Aku membuka plester dengan hati-hati dan lalu mengganti dengan plester baru.

"Alhamdulillah," ucap ayah bayi diiringi nafas lega.

Ayah si bayi menatap bayi yang terlihat seperti mengantuk.

"Perawat yang tadi, belum buka plester aja bayi nya udah nangis, tangannya kasar! Plester cuma mau ditarik aja! Makanya saya tegur! Terimakasih ya dik, udah lembut memperlakukan anak saya! Kasihan, badannya sangat kecil!" ucap ayah bayi yang memiliki berat lahir hanya 1600 gr.

Lihat selengkapnya