Maitua

intan elsa lantika
Chapter #28

Terhalang Restu

Andreas meminta ku untuk datang ke rumahnya untuk menemani papanya check up. Aku memang sudah biasa menemani papa Andreas berobat selama di Padang. Bukan hanya menemani ke rumah sakit, papa Andreas bahkan selalu memilih menginap di kontrakan ku setiap kali berobat di Padang.

Aku pun juga sudah biasa datang ke rumah Andreas tanpa ada Andreas di rumah. Setelah sampai di rumah Andreas, aku langsung pergi menemani papa untuk check up bersama ibu. Aku tidak pernah keberatan saat diminta untuk merawat papa Andreas, karena papa ku meninggal saat aku berusia sembilan tahun, jadi aku tidak pernah tau rasanya dekat dengan papa. Dan saat bertemu dengan papa Andreas yang bisa menerima ku, bahkan menganggap ku seperti anaknya sendiri, aku merasa sangat senang dan aku akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya punya papa.

Papa Andreas sudah sakit sejak empat tahun yang lalu, dan semakin lama malah semakin memburuk. Sekarang papa sudah sangat sulit untuk berjalan. Saat pertama kali menjalani pengobatan di kota Padang, papa sudah di diagnosa mengidap penyakit parkinson.

Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif kronis yang memengaruhi sistem saraf pusat, khususnya bagian otak yang mengontrol gerakan. Kondisi ini menyebabkan kemunduran pada sel-sel saraf yang menghasilkan dopamin yang penting untuk koordinasi gerakan.

Jika diibaratkan, penyakit Parkinson seperti sebuah orkestra di dalam otak kita, di mana dopamin adalah konduktornya, mengatur setiap gerakan dengan harmoni. Namun, dalam Parkinson, konduktor ini mulai kehilangan kemampuannya.

Kita bisa membayangkan otak sebagai sebuah orkestra megah yang tiba-tiba kehilangan ritme. Setiap gerakan yang sebelumnya halus dan terkoordinasi dengan sempurna kini menjadi lambat dan canggung. Tangan yang dulunya mampu menari lincah di atas piano atau menulis dengan lancar kini mulai bergetar tanpa kendali, seperti melodi yang tidak bisa ditemukan kuncinya. Otot-otot yang dulu lentur kini terasa kaku, seperti senar gitar yang terlalu ketat.

Keseimbangan, yang dulu menjadi bagian dari simfoni keseharian, mulai terganggu, membuat langkah terasa tidak stabil seperti pemain orkestra yang kehilangan arah di panggung. Perubahan ini tidak terjadi dalam sekejap, melainkan datang perlahan-lahan, menuntut penyesuaian dan kesabaran dari mereka yang merasakannya.

Walaupun papa sudah tidak bisa berdiri. Namun dalam duduknya kemarin, aku masih bisa membuat papa tertawa lepas. Tapi berbeda dengan hari ini, papa hanya diam dan sangat sedikit merespon.

"Papa kenapa, Bu?" tanya ku pada ibu Andreas.

"Dari tadi pagi halusinasi terus, bilang ada yang lagi duduk di ruang tamu, padahal nggak ada! Bilang ada darah di foto juga! Ibu jadi takut!" ujar ibu.

"Kok sekarang nggak merespon?" tanya ku sambil menatap papa yang menatap datar pada dinding ruang tunggu.

"Ibu kasih obat tadi, kayaknya di obat papa, ada obat penenang!" jawab ibu.

Aku menatap papa yang duduk diam, namun tangannya terus bergetar. Sebenarnya, aku sangat ingin menggenggam tangan papa untuk menenangkan, tapi aku tau batasan. Walaupun aku menganggap papa seperti papa ku sendiri, tetap saja aku belum menjadi siapa-siapa.

"Atas nama Evarianto!" ujar perawat jaga memanggil nama papa.

Aku berdiri untuk mengurus administrasi terlebih dahulu.

"Atas nama Evarianto?" tanya perawat kembali memastikan.

"Iya!" jawab ku singkat sambil menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk administrasi.

"Pasiennya sudah di tempat?" tanya perawat.

"Ada buk," aku menoleh dan menunjukkan posisi papa duduk.

"Baik, hubungan dengan pasien apa?" tanya perawat.

"Anak," jawab ku singkat.

Perawat mencatat administrasi, "Keluhannya apa?" lanjut perawat bertanya.

Lihat selengkapnya