Di lobby bandara kecil dengan gedung terminal yang sangat sederhana, aku berdiri tepat berhadapan dengan Andreas. Waktu seakan memperlambat detiknya. Suasana penuh dengan suara-suara yang saling bersaing, pengumuman penerbangan, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan desahan napas yang berat. Aku dan Andreas saling memandang, aku berusaha mengingat setiap detail dari pertemuan terakhir ini.
Mata kami bertemu, namun tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa yang membuncah. Dalam keheningan yang menyesakkan, kata-kata yang dulu nya sangat mudah untuk ku ucapkan kini terasa terjebak di tenggorokan, tak mampu menembus udara dan terasa semakin kaku. Setiap detik berlalu terasa seperti kilat, dan detik-detik yang tersisa terasa lebih panjang dari biasanya.
Dan ketika akhirnya terdengar pengumuman memanggil nama Andreas di antara nama-nama orang yang belum menaiki pesawat, rasanya seperti sebuah isyarat bahwa segala sesuatu harus berakhir di sini. Dengan satu tatapan terakhir yang penuh harapan dan keraguan, aku memutuskan untuk melepaskan. Mungkin momen ini akan menjadi sebuah penutup yang menyisakan rasa yang tak terungkapkan, bagi ku, perpisahan ini tidak berarti sampai jumpa lagi, tapi terimakasih karena sudah pernah ada di hidup ku.
"Aku udah harus pergi! Nanti aku kabari kalau udah sampai!" ujar Andreas dengan dada yang naik turun.
Aku mengangguk dan mengulurkan buku hitam milik Andreas, "Ini, buku kamu aku balikin! Aku nulis sesuatu disini!" ujar ku pelan.
"Oke! Nanti aku baca!" Andreas segera mengambil buku itu.
Langkah kaki Andreas tampak sangat berat.
"Cepetan! Nanti ketinggalan pesawat!" tegur ku agar Andreas segera pergi.
Andreas terlihat memaksakan langkahnya, namun saat ia hendak pergi ia meraih kepala ku, ia mencium kening ku dengan cepat, lalu segera berlari untuk masuk. Air mata ku pun menetes dengan keadaan tubuh diam mematung. Aku tidak berusaha menghindari ciuman itu, aku tau ini salah, Andreas tidak boleh mencium ku, tapi apa yang terjadi dengan ku?
Aku berusaha mencerna apa arti dari ciuman perpisahan ini bagi Andreas, adakah maksud tunggu aku datang? Atau malah terimakasih karena sudah menemani perjuangan nya saja?
Air mata ku mengalir lebih deras lagi, menyadari diri ku yang tidak berani menghindar, padahal aku sudah harus melepaskan Andreas. Aku tidak bisa bertahan dalam janji yang tidak pasti.
Aku berdiri di teralis besi yang mengurung landasan pacu. Aku melihat burung besi itu bergerak perlahan untuk meluruskan tubuhnya agar bisa melesat dengan cepat, hingga ia berhasil membawa Andreas terbang ke udara sambil memikirkan sesuatu yang ku tulis di dalam buku hitam, yang kemungkinan besar akan Andreas baca selama perjalanannya.
Menetapkan cinta pada seorang Andreas. Aku tidak tau kapan dan bagaimana aku mulai mencinta. Hanya saja, aku tidak pernah lupa bagaimana pertama kali kita dipertemukan.
Untuk mencintaimu pun, aku tak pernah memiliki alasan.
Jika aku mencintai mu ilmu mu, bagaimana jika aku bertemu dengan seseorang yang lebih pintar?
Jika aku mencintaimu karena iman mu, bagaimana jika aku bertemu dengan orang yang lebih beriman?
Jika aku mencintaimu karena kebaikan mu, bagaimana jika aku bertemu dengan orang yang lebih baik?
Begitu pula dengan seribu alasan lainnya, cinta yang ku letakkan di sudut hati ku, sungguh telah ku buat tanpa alasan.