Maitua

intan elsa lantika
Chapter #24

Azriel

"Abang tau tentang kamu dan Andreas," aku membaca pesan dari Azriel yang masuk di handphone ku.

"Abang nggak peduli sudah sejauh apa hubungan kalian, abang akan maafin," lanjut isi pesan tersebut.

Aku mengernyit bingung, "Maksudnya apa?" ucap ku sambil meletakkan tas di meja.

Badan ku masih terasa lemas, karena kelelahan setelah dording di rumah sakit tadi malam. Aku berusaha menenangkan diri dan berbaring di kasur. Aku melemaskan kaki, tangan dan seluruh tubuh ku, lalu kembali melihat hp ku.

Ternyata bukan hanya pesan tadi yang masuk, tapi juga ada 67 panggilan tak terjawab dari Azriel, yang dimulai sejak malam tadi saat aku sedang dinas di rumah sakit. Aku tidak kaget melihat banyaknya panggilan tak terjawab itu, karena sudah terbiasa saat masih pacaran dengannya dulu, ia sudah seperti ini.

"Nggak pernah berubah!" gumam ku.

"Kenapa dia? Mau minta pulsa lagi?" lanjut ku bertanya pada diri ku sendiri.

Aku membuka aplikasi WhatsApp untuk mengirim pesan pada Andreas yang sedari kemarin ku diamkan.

"Aku baru pulang dinas, capek banget, kemarin pasiennya banyak," tulis ku mengirim pesan pada Andreas.

Mungkin karena melihat status ku online di aplikasi WhatsApp, tiba-tiba pesan dari Azriel masuk.

"Anjing!" tulis Azriel.

Aku kaget membaca pesan itu. Sudah lama rasanya aku mendiamkan Azriel, tapi tidak sedikitpun ia berubah.

"Woi lonte! Dari mana kau?" lanjut Azriel mengirim pesan pada ku.

"Kau sakiti aja terus anak yatim ini!" lanjut Azriel memaki ku.

Emosi ku mulai naik, aku tidak bisa berfikir jernih karena sedang kelelahan dan aku segera menelpon Azriel.

"Apa? Kamu mau apa anjing?" Ucap ku dengan lantang saat Azriel mengangkat telepon ku.

Aku sudah tidak bisa diam lagi, hati ku sudah terasa penuh dan muak karena carut marut dari Azriel kepada ku selama ini.

Emosi ku memuncak hingga tubuh ku bergetar dan tangan ku mulai terasa kaku.

"Kamu mau apa lagi dari aku ha? Nggak pernah berubah kamu anjing! Kamu kira cuma kamu aja yang bisa teriak anjing, pantek, lonte?" aku berteriak pada Azriel.

"Dek," tegur Azriel dengan lembut.

"Nggak usah panggil aku adek! Nggak usah hubungi aku lagi!" ucap ku masih berteriak dan menangis dengan kencang.

"Maaf, aku janji, aku nggak akan ngomong gitu lagi," ujar Azriel yang terdengar kaget, karena selama ini aku tidak pernah marah maupun membalas setiap dia memaki atau mengeluarkan carut marut. Biasanya aku hanya menangis bahkan hanya diam tak melawan.

"Nggak usah janji sama aku! Kamu memang harus berubah, tapi bukan untuk aku! Untuk wanita setelah aku! Jangan suka nyakitin cewek lagi! Walaupun cuma lewat kata-kata! Kamu mau ibu atau adik perempuan kamu di perlakukan buruk sama laki-laki ha?" ujar ku dengan suara yang mulai berat.

"Aku cuma lagi butuh kamu, tapi kamu nggak angkat telepon aku semalam," ujar Azriel menjelaskan.

"Aku lagi dinas di rumah sakit! Aku capek! Aku dording! Aku kelelahan! Kamu nggak akan paham!" ucap ku dengan suara yang sangat berat karena nafas ku tiba-tiba sesak.

Aku merasa tidak bisa menggerakkan tubuh ku, dada hingga kepala ku terasa kesemutan, tangan ku kaku seperti kepiting. Aku semakin sulit bernafas, lalu aku berusaha mengerang dengan kencang agar teman kos ku mendengar ku.

Tiba-tiba pintu kamar ku terbuka dan aku melihat yang datang adalah Gea dengan wajah cemas.

"Tolong bawa aku ke IGD!" pinta ku memelas pada Gea dengan bibir yang mulai mencucu.

Gea segera menarik badan ku dan segera mencarikan taksi untuk membawa ku ke rumah sakit terdekat.

Lihat selengkapnya