Libur semester seharusnya menjadi momen paling ditunggu oleh mahasiswa, tapi berbeda dengan ku, aku tidak pernah menantikan libur semester. Sejujurnya aku tidak suka pulang, bukan karena aku membenci rumah. Namun aku hanya merasa apapun yang aku lakukan salah, keputusan apapun yang ku ambil akan di pandang sebagai jalan yang salah.
Padahal aku tidak perna melakukan hal-hal yang melanggar hukum dan syari'at agama, hanya saja aku tidak mengikuti adat kebiasaan yang sudah berkembang serta aturan dan tuntutan yang ditentukan oleh keluarga. Tapi harus diingat, aku melakukan hal yang tidak merugikan siapapun.
Orang-orang tidak menyukai ku karena aku dianggap anak yang tidak tau diri, karena tidak punya ayah tapi bersikeras ingin kuliah, dan yang paling dianggap menyebalkan adalah, aku anak yatim yang bertingkah lebih dari anak-anak yang punya ayah.
Memangnya anak yatim nggak berhak untuk hidup? Batin ku setiap ada orang yang berani mengatakan batasan ku sebagai seorang anak yatim.
"Jangan terlalu boros!" tegur om Danar.
"Boros yang gimana sih om?" tanya ku agak kesal.
"Nggak pernah cukup uangnya! Apa itu namanya kalo nggak boros?" jawab om Danar.
"Yang bilang uang nggak cukup siapa? Aku nggak pernah sekali pun ngeluh kekurangan! Berapapun yang mama kirim, aku usahakan cukup! Aku berhemat om! Sampai nggak pernah nongkrong selama kuliah, aku nggak beli baju baru, aku nahan makan, ngekos sekamar bertiga, pergi kuliah jalan kaki, aku jualan! Kalian mau aku gimana lagi? Kalo gini aja tetap dibilang boros, aku harus gimana lagi?" tanya ku.
"Mau aku jadi batu?" lanjut ku menggerutu dengan suara pelan.
"Ya, mama yang selalu ngeluh uang nggak cukup! Mama bilang untuk kuliah kamu! Rumah di Kayu Aro udah kejual, tapi kenapa tetap nggak cukup?" jelas om Danar.
Aku terdiam sejenak, aku tidak tau tentang rumah kakek yang sudah terjual. Dan aku juga bingung, jika benar rumah itu sudah terjual, tapi kenapa aku harus bersusah-payah untuk kuliah?
"Om," ucap ku pelan.
Om Danar mengangkat pandangannya pada ku.
"Uang semester ku dua juta, uang bulanan ku paling tinggi satu juta sebulan, aku nggak mungkin ngabisin uang rumah itu sendirian, Om!" ujar ku menjelaskan.
"Buktinya uangnya udah nggak ada! Mama udah cari pinjaman sekarang untuk kamu lanjut kuliah!" jelas om Danar.
Aku berpikir lebih keras, tapi setelah ku pikir-pikir, wajar saja mama menghabiskan banyak uang belakangan ini, karena kak Sovi yang baru saja melangsungkan resepsi pernikahannya, mama juga melakukan renovasi kamar kak Sovi dan kamar kakek, dan juga kakek nenek yang belakangan ini bolak-balik masuk rumah sakit swasta.
"Kakek nenek sakit, renovasi dan resepsi kak Sovi!" ujar ku.
"Bukan aku sendiri yang ngabisin uang itu, Om! Lagian mama itu janda, kakek nenek itu lansia, kak Sovi, aku dan Nugraha itu anak yatim! Kami hidup nggak nganggu orang lain dan nggak minta uang ke orang lain, ya salahnya dimana? Kalau memang mama jual rumah kakek, ya kakek pun masih hidup, memang butuh biaya hidup, salah nya dimana?" tanya ku.
"Ya salahnya, mama bilang uang itu untuk kamu kuliah, tapi buktinya kamu kuliah aja tetap susah! Sekarang Om mau belain kamu! Kita tuntut mama untuk jelasin kemana aja uang itu! Kita sidang mama!" pinta om Danar.
Aku menggenggam tangan ku dengan kuat, "Nggak, Om! Jangan ganggu mama! Aku cuma punya mama, aku nggak mau nyakitin mama cuma gara-gara uang!" ujar ku menolak tawaran om Danar.
Setelah mendengar pernyataan ku, om Danar memilih untuk pergi dan pulang. Aku yang sedari tadi duduk bersama om Danar di halaman belakang rumah ku, beranjak menuju kamar mama.
Aku membuka pintu kamar mama dengan pelan, aku melihat mama yang sedang berbaring membelakangi pintu. Aku melangkah dengan pelan agar tidak membangun kan mama.