Malam yang dingin, bau selepas hujan yang khas. Aku mengeratkan syal leherku rapat. Kedinginan. Kaku badanku berdiri di sini, menunggu yang lain datang.
“Kau maniak waktu.” Terdengar suara seorang perempuan dari arah timur.
“Master menyuruh kita tepat waktu, tidak seperti biasanya ia meminta kita disiplin.” Jawabku pada gadis berjaket itu, sambil menggosokkan kedua tanganku supaya hangat.
“Kira-kira beliau akan membahas apa ya, Kiran?” Tanya seorang lagi, yang baru datang dari arah barat.
“Kau biasanya selalu tahu, kenapa kau tidak memberitahu kami?” Tanya si gadis berjaket. Aku tersenyum canggung.
“Aku tidak selalu tahu Ika, aku hanya menebak-nebak…,”
“Tapi tebakanmu selalu benar Kiran, kau memang hebat! Apakah itu yang disebut-sebut orang intuisi?” Sela gadis berambut sebahu itu sambil menggenggam tanganku yang dingin, lalu ia gosok-gosok dengan tangannya yang hangat. Aku terkejut tentunya, tapi aku sudah terbiasa. Ati selalu seperti ini.
“Kita menunggu apalagi? Membeku?” Gerutu Ika semenit kemudian.
Aku melihat arloji tuaku, kurang dari dua menit lagi sebelum diskusi tahunan ini dimulai. Biasanya beliau sudah menunggu kami di ruang pertemuan, menyeramahi kami satu persatu karena terlambat. Setelah puas ia menertawai kami yang bermuka masam. Sekarang berbeda. Biasanya diskusi ini selalu diadakan di akhir tahun saat musim salju sedang keras-kerasnya. Namun untuk tahun ini, Master mengajak kami untuk mengadakannya di awal September ini.
“Kau memikirkan apa Kiran? Serius sekali.” Ati menepuk bahuku dan mengembalikanku ke realita.
“Harusnya kau biarkan ia melamun, ia sedang meramal topik yang akan diangkat si bodoh itu nanti.” timpal Ika yang membuat alis Ati bertaut.
“Kasar sekali, kau harusnya memanggil Master dengan sebutan beliau…” Komen Ati jengkel.
“Persetan, dia malah menyuruh kita memakai kata ganti lo gue. Bahasa dari Negeri Sebrang yang katanya gaul itu? Kekanak-kanakan…” Jawab Ika dengan nada meledek.
Mungkin sudah terjadi pertengkaran hebat jika aku tidak menengahi mereka berdua. Ika mendecih, sedangkan Ati memasang wajah cemberut padaku.
“Kalian sudah datang rupanya.” Tiba sesosok yang memakai jas hujan, dialah orang kami tunggu-tunggu.
“Kami sudah seperempat menit disini, kau berhak kami hukum.” Ujar Ika, sambil menyilangkan tangannya.
Master tidak menanggapinya, dan berjalan melalui kami. Menuju pintu Gedung Besar.
“Setiap tahun aku menunggu kalian selama satu jam dan aku tidak mengeluh. Lagipula, aku tidak terlambat.” Balas Master, sambil mencari-cari kunci untuk pintu itu.
“Kau tidak mengeluh, tapi kau…” Perkataan Ika berganti teriakan seketika Ati mencubit pinggangnya keras.
Master bergeming, ia hanya menatap kami dari depan pintu yang sudah berhasil terbuka.
“Kalian tidak mau masuk?” Tunggu Master ingin menutup pintu.
Sejenak diam, melangkah kami bersama-sama melewati pintu yang tua namun kokoh itu.
*****
Gedung Besar, nama yang sederhana. Seperti namanya, gedung setinggi setengah kilo ini merangkup segala kantor pejabat yang ada di kota. Ya, ini mirip dengan balai kota yang digabung dalam satu gedung. Karena hal itu pula, luas gedung ini mencapai sehektar bidang tanah, dengan 4 tingkatan yang memiliki fasilitas penunjang di setiap lantai.
Ruang Pertemuan berada di lantai 1, yang juga berisikan Lobi, Resepsionis, Kantor Tata usaha, Kantor Administrasi Negeri, dan Klinik Kesehatan. Ya, bahkan gedung ini memiliki rumah sakit kecilnya sendiri.
Butuh waktu 5 menit untuk sampai ke Ruang Pertemuan. Layaknya ruangan untuk mengadakan pertemuan, tiada yang spesial selain meja dan kursinya yang selalu diatur sedemikian rupa hanya ketika kami akan mengadakan diskusi tahunan. Meja panjang memuat dua belas kursi, lilin dengan tatakannya yang klasik di tengah meja, dan papan nama terpaku di belakang punggung kursi ini, tiada yang berubah.
Kami duduk di kursi dengan nama kami tertulis di sana.
“Mari kita mulai Majlis tahunan ini dengan bersyukur bahwa kita semua masih diberi berkat untuk dapat hidup…” Kata Master sambil menautkan tangannya.
Master menghembuskan napasnya sejenak. “Kalian pasti paham bahwa akhir-akhir ini sedang terjadi sebuah krisis, semenjak pejabat kita menyelundupkan kenyataan bahwa ia adalah pengedar obat-obatan mabuk. Dalam kurun waktu 2 bulan, sudah terjadi 3 demonstrasi tanpa izin. Demonstrasi terakhir berujung baku hantam dengan aparat keamanan, hal ini membuat resah masyarakat kita.” Jelas Master, sambil membaca beberapa helai data yang ada di tangannya.
“Kami sudah bertanya pada Bidang Kehakiman tentang proses penangkapannya, namun kita masih kekurangan bukti.” Ucap Ati gelisah.
Master tersenyum tipis.