Dering telepon berbunyi untuk kesekian kalinya.
“Halo, ya dengan saya Kiran. Pimpinan Bidang SDM”
“Nona Kiran, saya atas perwakilan dari rakyat yang anti korupsi memohon kepada Anda untuk menangkap pejabat sialan itu. Kemarin malam saya melihat dia bersama kupu-kupu malam masuk ke sebuah klub. Tolonglah Nona, kami tidak tahan melihat wakil rakyat sepertinya menggunakan gajinya hanya untuk melakukan hal nista seperti itu.” Ucap orang di seberang telepon panjang lebar. Nadanya yang mengiba membuat hatiku pilu.
“Baiklah Pak, kami akan menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin.” Jawabku menghibur. Si bapak pun mengucapkan terima kasih dan mendoakan kesehatanku sebelum menutup sambungan telepon.
Aku menghembuskan napas berat.
“Sudah ke dua belas kalinya, Nona.” Ujar asistenku.
“Tak apa Sien, citra kita sedang memburuk. Oh ya, bagaimana kondisi buruh yang terluka itu? Apa mereka sudah membaik?” Tanyaku sambil menyesap teh hangat.
“Hampir setengah dari mereka pulang kemarin sore, namun ada beberapa dari mereka yang tidak ingin menerima bantuan dari kita.” Ujar Sien sambil menaikkan kacamatanya.
“Apa alasan mereka?”
“Mereka merasa kita menyogok untuk membuat mereka tenang. Mungkin karena terlalu kecewa terhadap pemerintah?”
Ah, begini lagi. Orang-orang yang tidak paham kondisi diri, padahal mereka belum tentu bisa bekerja dengan luka-luka yang diderita. Aku mengurut pelipisku pelan. Entah mengapa aku mulai lelah sejak pulang dari majlis malam kemarin.
Majlis tahunan itu hanya ditutup dengan kepergian Master yang entah kemana. Penjaga Gedung bilang kalau dia pergi mencari jamur kesukaannya di Hutan Peneliti, tapi kami tahu itu tidak mungkin. Ketika kami mendatangi rumahnya pun tidak ada yang merespon. Kami sepakat untuk membiarkannya beberapa hari ini supaya Master bisa berpikir jernih. Ia bukan wanita berbadan dua yang sedang mengidam sesuatu malam-malam, begitu pikir kami.
Aku melihat berkas laporan yang menumpuk di sisi kiri mejaku, mulai bersiap untuk menandatanganinya. “Apa agendaku hari ini, Sien?” Tanyaku memastikan jadwal.
“Siang nanti Anda akan menjenguk para demonstran itu sekaligus memberi salam kepada mereka.” Jawabnya sambil melihat buku jurnal. Aku mengangguk, mulai menandatangani berkas itu satu persatu.
Tiba-tiba pintu kantorku diketuk.
“Permisi, ada surat untuk Nona Kiran…” Ucap tukang pos meminta izin masuk. Sien pun membukakan pintu untuknya.
“Kenapa kau yang mengantarkannya, Kapo? Bukankah kau biasa menitipkan surat-surat ke resepsionis di lantai satu?”
“Saya maunya begitu, Nona. Hanya saja ini surat penting.” Ujarnya sambil menyerahkan surat itu padaku. Cap merah, ini surat dari Master. Ada angin apa ia mengirimku surat seformal ini padahal biasanya ia selalu menelpon atau datang ke kantorku untuk urusan penting sekalipun. Aku bahkan lupa kalau ia adalah seorang Kepala Negeri di Pulau Antah Berantah ini.
Sebelum sempat membuka surat itu, kembali ada yang mengetuk pintu kantorku.
“Bukakan saja Sien.” perintahku tidak sabaran, aku ingin segera membaca surat dari Master.
Ternyata Ika dan Ati yang datang ke kantorku, cepat-cepat aku menyembunyikan surat itu ke bawah berkas yang sedang kutandatangani.
“Tidak usah sungkan, kami juga dapat kok.” Ujar Ati sambil menunjukkan surat bercap merah yang telah ia buka.
“Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu…” Kata Sien pamit, diiringi Kapo yang membungkuk kepada kami semua.
Setelah pintu kantorku tertutup, Ika menghempaskan badannya di sofa panjang.
“Kau sudah baca suratnya?” Tanya Ika dengan menyilangkan kaki dan tangannya.
“Belum.” Jawabku sambil membuka surat itu.
“Untuk Kiran, sahabatku.
Kita sudah menghadapi segalanya bersama-sama. Bersenang-senang, menghadapi serangan dari Negeri Sebrang, menguasai pulau ,mengelola negeri ini, bahkan mengakui kekuasaan kita atas pulau ini. Aku sangat berterima kasih kepada kalian semua terkhususnya kau yang sudah mengapresiasi keinginanku dengan penuh semangat dan tanpa protes. Aku mungkin tidak bisa membalas segala perjuangan dan kebaikan kalian seumur hidupku, termasuk si Bijak.