Master, pembunuh Penguasa Agung sebelumnya. Pikiranku melayang-layang di tengah ramainya pasar yang kereta delmanku lalui.
“Apa Anda percaya dengan perkataannya tadi?” Kata Sien yang duduk menghadapku.
“Tidak ada orang yang mau cari ribut dengan pemerintah kalau memang apa yang dikatakannya itu benar.” Ucapku yakin, atau setidaknya begitu.
“Bisa jadi itu hanya umpan untuk membuat Anda masuk ke dalam rencananya.” Sanggah Sien. Aku menenggak ludahku sendiri, itulah yang kutakutkan.
“Menurutmu, dia mau apa sampai mengatakan info seperti itu?”
“Seperti yang saya bilang tadi, ia hanya ingin menjadikan Anda umpan, Nona…” Jawab Sien mulai membolak-balik buku jurnalnya. Aku kembali ke lamunanku, ke ingatan 2 tahun silam.
Saat itu negeri ini masih di pimpin oleh Penguasa Agung, sebutan untuk Kepala Negeri sebelum Master menjabat. Dari awal sampai akhir pemerintahannya, negeri ini terus berperang dengan Negeri Sebrang. Saat itu perekonomian rakyat tidak pernah stabil, kemiskinan dimana-mana, kriminal merajalela. Membuat sebagian rakyat tidak suka dengan pemerintahannya saat itu.
“Nona Kiran, kita sudah sampai.” Ucap Sien menyadarkanku. Oh, sudah sampai di Gedung Besar saja. Aku membayar jasa delman itu untuk dua orang.
“Kenapa Nona tidak punya kendaraan pribadi? Saya jadi sungkan harus menerima bayaran dari pejabat tinggi seperti Anda.” Kata kusir merendah. Aku hanya tersenyum ramah.
“Merepotkan, biasanya kami pergi kemana-mana dengan kuda. Tapi setelah larangan berkuda di tengah kota dikeluarkan beberapa bulan yang lalu, kami sering berjalan kaki. Lebih sehat. Dan lagi, saya kangen naik delman.” Jawabku tulus. Sang kusir tersenyum lalu pamit kepada kami berdua.
“Anda pemimpin yang bijaksana.” Ucap Sien yang berjalan di belakangku.
“Jangan tiba-tiba memujiku, Sien. Aku tahu kau sedang menahan tawamu sekarang.” Balasku sambil berjalan cepat memasuki Gedung Besar.
“Sebuah kehormatan bagi saya bisa bercanda dengan Anda, Nona.” Ucap Sien menahan tawanya, aku pura-pura tidak mendengar. Sampai di kantorku ia malah tertawa terbahak-bahak.
Aku duduk dengan kesal. “Kau menertawakan apa? Kantor ini tidak punya peredam suara. Aku sering dengar ada yang ketakutan lewat kantorku hanya karena suara tawamu itu.” Komentarku sambil melihat berkas-berkas yang belum sempat kubaca. Sien menyalakan pemanas air, masih tertawa.
“Menjadi asistenmu itu ribet, Kiran. Kode etik bilang kami harus hormat dan memanggilmu dengan sebutan Nona atau segela macam gelar yang disematkan padamu. Harusnya aku tidak menerima tawaran itu dulu.” Ucapnya sambil menunggu air panas.
“Jadi?”
“Maksudku, aku ingin tertawa lepas bersamamu kapan saja. Melihatmu yang bersikap 180 derjat berbeda dari dirimu yang kutahu itu selalu membuatku ingin tertawa.” Jelas Sien mengusap kacamatanya yang tidak berkabut.
“Ya… siapa lagi yang akan kuangkat jadi asistenku kalau tidak kau. Kita sudah lama bersahabat. Kau juga kompeten dibidang ini.” Jawabku tanpa melihatnya, atau aku memang malu untuk menatapnya yang selalu blak-blakan seperti itu.
“Hahaha, kau jangan membuatku tersipu.” Ujarnya yang mematikan pemanas air yang berbunyi nyaring. Bersiap menyeduh teh.
Tiba-tiba telepon kantor berdering.
“Halo? Dengan saya Kiran, pimpinan Bidang SDM…” Sapaku segera setelah mengangkat telepon.
“Selamat sore Nona! Maaf mengganggu ketenangannya. Saya Pol, asisten Nona Logika.” Jawab orang itu diseberang telpon.
“Oh, Pak Pol. Saya ingin meminjam pasukan Anda sebentar, bisa kah?” Ucapku tanpa basa-basi. Dibalas tawa oleh Pak Pol, mengiyakan.
“Apa yang hendak Anda suruh pada mereka, Nona?” Tanya Pak Pol kemudian.
“Saya ingin mereka melakukan beberapa hal. Tolong bagi mereka ke dalam 2 kelompok, Pak. Kelompok pertama akan mengumpulkan informasi tentang sebuah geng pembuat onar di dekat pemukiman sebelah tenggara. Yang kedua, berisi beberapa orang yang akan melihat gerak-gerik pejabat itu.” Jelasku detail kepada Pak Pol.
“Baiklah Nona, akan saya laksanakan. Nanti akan saya koordinasikan dengan Badan Intel.” Ucap Pak Pol padaku.
“Terima kasih, Pak. Saya sangat terbantu. Tolong laporkan segera perkembangannya, Pak.”
“Baik, Nona. Saya permisi dulu, semoga dirahmati.” Ucap Pak Pol mengakhiri sambungan telepon. Aku menyesap tehku yang sedikit panas.
“Kenapa kau tidak minta tolong untuk menyelidiki Pria aneh itu?” Ujar Sien mengaduk-aduk kopinya.
“Aku tidak tahu siapa namanya…” Jawabku asal.
“Ya Tuhan. Kau kira aku tidak mendata mereka semua? Sepertinya kau juga harus istirahat. Alasan macam apa itu?” Komen Sien kesal, aku hanya terkekeh pelan.
“Tidak usah, nanti malam aku akan ke sana bersama Ika.” Jawabku, menmberi stempel berkas yang baru saja kutandatangani. Sien terkesima dengan ucapanku, sahabatnya ini ternyata cepat sekali bertindak.