Sehari. Hanya sehari saja Huasya ingin menikmati ketenangan di hidupnya. Ia baru saja patah hati karena aktor kesayangannya menikah, dan ia ingin menggalau barang sejenak saja. Sayangnya hari ini bertepatan dengan hari pertama orientasi di kampus. Sebagai calon mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Pertahanan Nusantara, Huasya tentu tidak akan melewatkan acara ini. Terlebih hari ini menurut panitia akan ada tokoh penting yang datang dan meresmikan acara penerimaan mahasiswa baru. Akan sangat disayangkan kalau Huasya Kartika si anak ambis melewatkan momen ini.
Kemeja, checked.
Rok, checked.
Rambut, checked.
Tas dan barang yang harus dibawa, all checked.
Ready to go!
*****
Hari ini benar-benar tidak mendukung Huasya untuk memantau calon suami orang. Lee Seung Gi aktor favoritnya benar-benar akan menikah dan ia tidak bisa mencari informasi di platform media kesayangan seluruh fans K-Content.
Acara formal seperti upacara pembukaan orientasi mahasiswa baru ini sepertinya memang tidak cocok bagi seorang Huasya. Ia hanya bisa mengetukkan jari di pangkuannya.
Awas saja kalau hari ini tidak jadi ada orang penting.
Huasya bukan anak ambis yang tidak memiliki jiwa petualang yang selalu terlihat sempurna dan minim kesalahan. Sejak era kejayaan pubertasnya, ia memang dikenal pintar, cerdas, dan terlampau jujur terhadap dirinya sendiri. Jika ada mata pelajaran yang tidak disukainya, tanpa ragu ia akan mengungkapkannya. Cara mengungkapkannya tentu saja banyak. Dimulai dari pura-pura sakit lalu tidur di UKS, pura-pura ke toilet tapi berakhir main gitar di ruang musik, atau bahkan pura-pura ada acara keluarga sehingga izin pulang duluan.
Tetapi kehidupan di kampus tentu saja berbeda, apa pun alasannya jika ia absen maka nilailah taruhannya. Ini juga yang membuatnya benci menjadi orang dewasa, semua harus diperhitungkan, apa-apa harus memikirkan dan memperkirakan konsekuensi yang mungkin terjadi.
Huasya yang tahu batasan tentu saja akan menjadi mahasiswa yang patuh. Lagipula, ia daftar dan masuk program pascasarjana ini bukan atas paksaan siapa pun, melainkan atas kemauannya sendiri.
Tapi tunggu dulu! Alam bawah sadarnya tetap saja memikirkan berbagai skenario kabur dari acara yang monoton ini. Saat kemarin ia keliling kampus dan kembali memastikannya tadi pagi saat berangkat, Huasya sudah menghapal jalur melarikan diri dari gedung utama kampusnya ini.
Huasya sudah mengingatnya hingga fasih, ke mana arah jalur melarikan dirinya. Gang mana saja yang dapat mengefisienkan dan mengefektifkan pelariannya. Hanya untuk berjaga, kalau-kalau ia terlalu bosan dan tidak jadi ada orang penting datang ke acara hari ini.
Teriakan dan tepuk tangan meriah bak ombak yang dimulai dari barisan belakang ke tengah lalu ke barisan di mana Huasya duduk, kemudian bergema. Huasya menoleh cepat hingga mengayunkan kuciran rambut hitam tebalnya dengan indah. Tangannya ikut riuh bertepuk, kakinya ikut bangkit berdiri, namun matanya terbelalak lebar menenggelamkan kelopak dan kantungnya. Tak percaya adegan yang sedang dilihatnya adalah nyata.
Sedetik kemudian Huasya kembali menetralkan ekspresinya. Untung saja orang-orang sedang fokus pada pemeran utama acara hari ini. Sang Sekretaris Jenderal Kenegaraan RI telah hadir di tengah manusia penghuni aula utama kampus Huasya yang ia banggakan.
Ya! Tokoh nasional, idolanya sejak ia di bangku sekolah dasar, ada di hadapannya saat ini.
Kalau ini adalah drama A Girl Who Can See Smells, pasti saat ini wangi kebahagiaan terlihat tengah menyeruak dari seluruh bagian tubuh Huasya. Merah jambu, adalah warna yang mungkin akan terlihat. Atau, tidak-tidak! Bukan merah jambu, tetapi merah menyala karena saat ini Huasya juga takjub dengan sosok ajudan sang Sekjen negara yang sedang santer diidolakan gadis, wanita, ibu-ibu, emak-emak, di negara +62.
Huasya yang juga mengagumi sosok itu, saat ini hanya terpaku dan tertegun dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai ia tak sadar, ia masih berdiri tegak padahal audiens yang lain telah kembali duduk. Malu? Jangan tanya! Kalau bisa ia ingin mengubur dirinya sendiri di pasir pantai saat ini. Ingatkan Huasya kalau dia sedang berada di barisan terdepan penonton dan sedang dipelototi oleh para panitia.
Segera Huasya mendaratkan bokongnya di kursi lipatnya. Wajahnya merah hingga ke telinga. Ia mencoba menutup seluruh wajahnya dengan tangan mungilnya, sayang itu tak akan bisa menghapus adegan barusan dari memori seluruh hadirin. Usai acara, pasti mamanya akan menegurnya.
Sial! Ini live streaming! jerit batin Huasya.
Mamanya yang tak akan melewatkan siaran langsung acara yang dihadiri anak kesayangannya, pasti akan mengomentari sikap Huasya habis-habisan.
Sudahlah! Siap-siap saja telinga Huasya memerah mendengar omelan mamanya nanti.
Upacara pembukaan dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sambutan rektor, hingga yang ditunggu adalah Bapak Sekjen yang Huasya kagumi.
Kata demi kata yang diucapkan Sekjen, tak lepas dari perhatian Huasya. Ia mencatat beberapa hal yang penting dan ditekankan Sekjen dalam pidatonya. Ini hanya kebiasaan lama Huasya, siapa tahu nanti akan dapat ia kutip pada karya tulis ilmiahnya.
Saking terpakunya Huasya pada pidato Bapak Sekjen, Huasya hampir melupakan keberadaan idola ciwi-ciwi negeri ini.
Kapten Dipta Bramantya.
Nama yang sepertinya akan ada dalam doa jutaan wanita di Tanah Air.
Bayangkan saja, sejak safari Sekjen ke seluruh pelosok negeri untuk melakukan peresmian sekolah hingga peresmian mata air untuk masyarakat, sang kapten selalu ada di samping Sekjen. Benar memang, itu karena Kapten Dipta adalah ajudannya. Tetapi yang membuatnya terkenal bukan hanya karena statusnya sebagai ajudan Sekjen, melainkan karena karismanya yang luar biasa menyihir setiap pasang mata yang memandangnya. Tentu saja sepasang mata cantik milik Huasya tak luput dari daya magisnya.
Pria usia pertengahan 30 tahun itu memiliki love language yang diimpikan kaum hawa, act of service. Setiap Sekjen naik-turun mobil, tangannya selalu memastikan Bapak tidak terkatuk. Saat Sekjen mengenakan pakaian, detailnya selalu ia perhatikan, amplop yang menyembul dari saku Sekjen saja diperhatikan olehnya, apalagi pasangannya, bukan?
Setiap wanita pasti berpikir seperti itu. Ya, setidaknya, salah satunya adalah Huasya.
Wajahnya yang rupawan, perawakannya yang gagah dan tegap dengan otot yang terlihat jelas, tingginya yang proporsional, hingga kulitnya yang aneh bin ajaib tidak menggelap meski sering terpapar sinar matahari Indonesia, semua yang ada melekat pada diri sang kapten tidak pernah luput dari perhatian Huasya.
Tatapan Huasya kini sudah beralih fokus pada kapten yang berdiri di sudut panggung. Hampir satu menit Huasya menatapnya terang-terangan. Dalam benaknya Huasya bertanya-tanya, apa yang membuatnya masih sendiri dengan profil yang luar biasa itu? Andai, andai saja ia bisa mengenalnya lebih jauh. Huasya ingin mengerti dan memahami Kapten Dipta. Jika saja ia bisa punya kesempatan itu, tentu tidak akan ia sia-siakan.