MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #2

Bab 2 : DAY 1 KTT

Bandar Udara Internasional Al-Amman

Huasya segera mengirim pesan di grup WhatsApp keluarganya yang berisi : Ia sendiri, mama, papa, dan dua adiknya, Vika dan Syakila. 

Me

Kakak udah sampe bandara. Ini baru beres dari imigrasi, lagi nunggu koper.

Tanpa menunggu balasan, Huasya kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas ranselnya. Ia sudah lega karena bisa menyelesaikan pemeriksaan imigrasi dengan cepat bersama rombongannya. 

Ya, jangan kira Huasya akan sendirian ke sana. Tentu saja tidak! Huasya bersama dengan keempat rekannya dengan formasi dia dan seorang teman dari program magister, dan tiga lainnya dari program doktoral alias S3. 

Dosen pembimbing mereka akan menyusul tiga hari lagi. Ya, intinya hanya mereka berlima yang akan hadir dari hari pertama konferensi. 

Kondisi di Al-Amman sangat terik meski jam masih menunjukkan pukul 8 tepat di pagi hari. Huasya sudah mendapatkan koper berukuran 24 inch-nya. Huasya segera merogoh kembali ranselnya untuk mengeluarkan semprotan sunblock SPF 50++. Ia tidak berharap bisa melindungi warna kulitnya, yang terpenting kulitnya tidak terbakar seperti tempo hari, saat ia mengikuti latsar di awal masa kuliahnya. Sebulan penuh ia harus tahan dengan kulit bersisik di seluruh tubuhnya akibat banyak yang terkelupas. 

“Mbak Sya, nanti saya sekamar dengan Mbak,” ungkap seorang ibu sambil menyentuh bahu Huasya. 

“Eh, Bu Pratiwi,” Huasya berbalik. “Baik, Bu.” 

Bu Pratiwi adalah satu di antara tiga mahasiswa doktoral. Peserta perempuan hanya Huasya dan Pratiwi, sisanya adalah para pria, Sakti- teman seangkatannya, Andi serta Herlino teman seangkatan Pratiwi. 

“Taksi kita udah ada,” ujar Sakti setengah berlari. Ia yang bertugas dan bertanggung jawab atas akomodasi dan transportasi selama di Al-Amman. 

Saat Huasya hendak menggeret kopernya, Sakti segera mengulurkan tangannya untuk membantu. Huasya menggeleng pelan dan menjauhkan kopernya dari tangan Sakti. 

“Makasih, itu kamu harus bawa dus cinderamata juga, kan,” Huasya menunjuk dua dus besar dengan dagunya. 

Tak ada reaksi jika hanya dilihat sekilas, tetapi jika diperhatikan saksama, bahu Sakti meluruh, sementara Huasya segera menyejajarkan langkah kakinya dengan Pratiwi. 

***** 

Sesampainya di hotel, Huasya segera meminta buku pedoman peserta KTT dari Sakti yang menjadi wakil kelompok mereka. Tugas mereka di KTT ini yang paling utama adalah menyampaikan saran dan alternatif solusi untuk perdamaian dunia dari sisi akademisi. Mereka akan mempresentasikan hasil penelitian mereka yang fokus di kawasan Asia Tenggara pada hari kedua KTT. 

Tugas yang kedua bagi kelompok akademisi Indonesia ini adalah menjadi pendamping tokoh nasional yang hadir dalam acara. Namun tugas itu hanya diemban oleh Andi, Herlino, dan Pratiwi yang memang fokus penelitiannya sesuai dengan tema KTT yang membahas kebijakan pertahanan ini. 

“Naskah akademiknya mau dicetak kapan, Bu?” tanya Huasya di sela kesibukannya membaca buku pedoman. 

“Harusnya sih, sekarang,” jawab Pratiwi. Kemudian ia menoleh kepada Huasya dan balik bertanya, “Mau keluar sekarang nggak, Mbak Sya?”

Huasya yang diajak keluar tentu saja sangat antusias, tanpa berlama-lama ia mengiyakan ajakan Pratiwi. 

Seperti biasa, Huasya akan bersiap menghapal rute mabal dari KTT ini. Ia harus bersiap dengan segala kemungkinan, bukan? Jika muncul variabel yang tidak terduga, pengetahuan pemetaan area yang ada di otaknya akan sangat berguna. 

Cukup lama Huasya dan Pratiwi berada di kubikel baja ini, mereka yang kurang beruntung mendapatkan lantai 28 dari 30 lantai di gedung hotel ini harus sering transit di setiap lantai genap. Ya, untung saja lift di hotel ini terbagi menjadi dua jenis, lift untuk lantai ganjil dan lift untuk lantai genap. Setidaknya tidak di setiap lantai mereka berhenti. 

“Nanti kita ngopi dulu boleh kan, Bu?” tanya Huasya yang sejak kemarin berangkat belum meminum kopi. 

Sebagai informasi tambahan, Huasya memiliki adiksi terhadap kopi dan coklat. Sehari saja tidak meminumnya, ia akan sangat merindukan keduanya. 

Lihat selengkapnya