Huasya mengulurkan kantong plastik putih yang berisi pesanan Pratiwi. Ia juga membongkar kantong plastik miliknya yang berisi coklat dan biskuit.
“Jam 8.30 ya, kita harus rapat?” Pratiwi memastikan kembali.
“Iya, Bu,” sahut Huasya.
“Di lantai berapa katanya, Mbak Sya?”
“Tiga puluh, nanti kita nggak usah tunggu yang lain, kata Sakti langsung naik aja.”
Pratiwi mengangguk paham. “Dosen kita juga udah datang, ya?”
Huasya membenarkan. Dua dosennya Profesor Nina dan Profesor Hafiz sudah datang. Mereka akan bertemu saat pertemuan nanti malam dengan Sekjen RI.
Mereka masih punya waktu setengah jam sampai waktu rapat. Huasya bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam ini pilihannya jatuh pada baju terusan batik selutut warna biru dongker dengan lengan ¾ yang ia padukan dengan tampilan rambut diikat setengah dan riasan tipis gaya natural. Ia menggunakan sepatu stiletto 7 cm berwarna hitam. Huasya juga melengkapi penampilannya dengan tas bahu berwarna hitam dari merek lokal favoritnya. Dari informasi agenda yang ia dapatkan, Sekjen mengundang timnya untuk makan malam bersama sembari membahas kegiatan besok.
Lagi-lagi Huasya dipuji Pratiwi. Ia yang tidak pandai bereaksi pada pujian kembali tersipu dan mencoba balik memuji tampilan Pratiwi yang juga terlihat elegan. Meski usianya sudah 50 tahun, tetapi kecantikannya begitu terpancar dengan gaya hijab yang rapi ala eksekutif.
Mereka kembali menggunakan lift genap menuju lantai paling atas. Saat keluar dari lift mereka langsung disambut pihak keamanan. Di lantai ini semua adalah petinggi negara sehingga pengecekan ganda pada pengunjung adalah hal yang wajib dilakukan.
Usai menunjukkan ID card peserta, mereka diantarkan ke pintu kamar hotel paling ujung sebelah kanan lift. Huasya dan Pratiwi tak lupa berterima kasih saat sampai di pintu yang lagi-lagi dijaga ketat oleh beberapa anggota tim keamanan dari tentara Indonesia.
“Silakan,” ujar seorang perempuan berjilbab yang menyambut dari balik pintu ruangan.
Saat masuk ke kamar ini, Huasya dibuat takjub dengan ukuran dan dekorasinya. Ukuran ruang tamu yang sepertinya dua kali lipat luas rumahnya ini membuat Huasya menyadari untuk kesekian juta kalinya bahwa uang itu membuat segalanya berbeda. Ini adalah sebuah penthouse yang biasanya hanya ia lihat di dalam drama dan film yang ia tonton.
Timur Tengah emang beda! Fancy banget!
“Huasya!” panggil Sakti yang sedang duduk di ruang tamu ini.
Huasya dan Pratiwi menghampiri Sakti dan yang lain, kemudian menyapa kedua profesornya. Huasya mengambil tempat duduk di meja bundar yang sama dengan Sakti, Andi, dan Herlino, sementara dosen mereka duduk di meja sebelahnya. Di ruang tamu ini terdapat empat meja bundar dengan lima kursi di setiap mejanya. Dekorasinya yang apik membuat Huasya semakin yakin harga kamar ini sama dengan harga satu rumah subsidi di Indonesia.
“Kita disuruh tunggu, di dalam masih ada tamu,” Sakti menginformasikan.
Huasya dan Pratiwi mengangguk. Lagi pula ini masih lima menit lagi menuju waktu yang dijadwalkan. Meski ia sedikit malu karena datang terakhir dibanding dosen dan para rekan laki-lakinya, tapi tak apa, ia masih terhitung tepat waktu.
Benar saja, selang lima menit kemudian, seseorang keluar dari pintu besar tepat di arah jarum jam 12 dari tempat duduk Huasya. Betapa terkejutnya Huasya melihat sosok yang baru saja keluar dan langsung menatap tepat di manik matanya. Meski hanya beberapa detik pandangannya tertuju langsung pada Huasya, namun efeknya sungguh sangat besar.
Waktu seakan melambat. Sekujur tubuh Huasya tiba-tiba membeku. Dadanya bergemuruh akibat detak jantung yang tak beraturan.
Dua kali.
Ini kedua kalinya Huasya bertatapan dengan manik mata indah dan dalam milik sang idola, setelah setahun lalu mereka bertemu di acara penerimaan mahasiswa baru. Kapten Dipta Bramantya, atau sekarang, Mayor Dipta?
Matanya terlalu dalam untuk Huasya selami, seolah banyak misteri di dalamnya.
Lengan Huasya disenggol pelan oleh Pratiwi yang sudah berdiri menyambut Dipta. Huasya pun sigap ikut berdiri. Ia kembali memperhatikan setiap gerakan Dipta yang begitu gagah, teratur, dan elegan di mata Huasya. Hal lain yang membuatnya takjub malam ini adalah warna bajunya yang senada dengan Huasya. Mayor Dipta mengenakan kemeja panjang berwarna biru dongker, persis satu jenis warna dengan batik terusan Huasya yang lebih cocok disebut gaun batik. Jika berdiri berdampingan, mereka pasti akan disebut sebagai pasangan yang serasi.
Setelah Dipta menjabat tangan kedua profesor mereka lalu Sakti, Andi, Herlino, dan Pratiwi, kini Dipta mengulurkan tangannya perlahan pada Huasya. Huasya dengan susah payah mengangkat lengannya kemudian mengangsurkan tangan gemetarnya ke arah tangan Dipta.
Seakan tahu kegugupan Huasya, Dipta dengan gesit meraih tangan mungil yang bergetar itu, menopang rasa gugup Huasya.
“Dipta Bramantya,” suara baritonnya terdengar menenangkan di telinga Huasya.
“Huasya Kartika, Mayor Dipta,” cicit Huasya.
“Tidak perlu nervous, lagi pula ini bukan pertama kalinya kita bertemu,” Dipta berkata dengan enteng. Jika tak salah lihat, ia juga mengangkat tipis kedua ujung bibirnya.
TUNGGU! BISA DIULANG?
Huasya yang sedari tadi mematung kini dibuat makin kaku. Berarti Dipta mengingat gadis dari setahun lalu yang ia pelototi karena bertingkah mencurigakan di acara penerimaan mahasiswa baru?
Huasya tersenyum kikuk sambil mengusap lengan bawahnya yang terekspos. Sudah dingin terkena pendingin ruangan, ditambah dingin karena merinding akibat ucapan Dipta.
Rekan setim Huasya hanya bisa saling pandang tak mengerti maksud Dipta. Sedetik kemudian Dipta mengalihkan fokus semua pasang mata di ruang tamu lalu menyilakan Huasya dan kawan-kawan untuk masuk bertemu Sekjen.
Huasya bergegas menyambar tas bahunya dan mengikuti langkah profesor serta rekannya.