Huasya sedang menetralisasi detak jantung tak beraturannya. Genderangnya benar-benar bertabuh akibat pertemuan singkat dengan Mayor Dipta. Huasya menyentuh dadanya perlahan. Ia bisa merasakan dadanya kembang kempis.
Apa karena aku terlalu takut ketemu beliau, ya? Apa aku keliatan jelek, ya, sama beliau?
Huasya menjentikkan jarinya berulang kali, berharap ekspresi dan debarannya kembali normal.
Cukup, Sya! Ingat! Harus selesain Slides sekarang, tuh!
Huasya melirik waktu yang ditampilkan ponselnya, dan waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat. Untunglah di area kerja yang disediakan khusus untuk tamu hotel ini masih ramai dikunjungi. Huasya mendapat kursi tepat di tengah ruangan. Ia memilih meja bersama dibanding kubikel privat. Alasan lainnya adalah agar ia mudah keluar dan bisa melihat siapa saja yang masuk dan keluar ruangan super besar ini.
Terdapat dua pintu untuk akses keluar-masuk ke working space ini. Satu di tengah, dekat dan terlihat dari tempat duduk Huasya. Satu pintu lainnya ada di sudut ruangan yang letaknya ada di belakang Huasya dan jaraknya cukup jauh.
Di area kerja ini terdapat sepen alias pantry yang penuh dengan kopi, susu, dan makanan ringan, dilengkapi pemanas makanan, dispenser, dan sebuah kulkas displai. Terdapat tanda dengan cetakan cukup besar yang mengatakan bahwa para tamu hotel bebas mengambil minuman dan makanan ringan di sini a.k.a free flow.
Namun Huasya menahan dirinya untuk tidak minum kafein, baik kopi maupun teh. Ia sudah susah tidur, maka jika ia konsumsi zat kafein, penampilannya besok akan lebih mirip zombi berkantung mata hitam.
Sebetulnya Huasya tidak diminta merapikan slides presentasi malam ini juga. Ia diminta untuk merapikannya besok subuh. Kendati begitu, Huasya adalah tipe manusia yang tidak bisa tidur jika pekerjaannya belum selesai. Dipaksakan seperti apa pun, matanya tetap melek selama berpuluh menit sampai-sampai ia bisa menghitung berapa banyak kristal rumbai-rumbai lampu gantung di kamar hotelnya.
Huasya tidak ingin mengganggu Pratiwi yang sudah tertidur lelap dengan suara papan tiknya, memutuskan untuk keluar dan turun untuk bekerja di working space hotel. Ia sudah menghapal seluruh fasilitas yang tersedia, jalur evakuasi hotel, pintu dan tangga darurat, serta lokasi-lokasi vital hotel seperti ruang instalasi listrik, akhirnya bisa memanfaatkan pengetahuannya untuk pergi sendiri ke ruang kerja ini. Jangan tanya dari mana Huasya mengetahui semua detail ini. Siang tadi saat istirahat makan siang, Huasya sempat berbincang dengan seorang petugas keamanan di lobi hotel sembari menunggu Pratiwi ke kamar kecil, dan dalam waktu 15 menit saja Huasya sudah bisa mengorek informasi sedalam itu. Kemampuan komunikasi interpersonalnya sudah tak diragukan lagi. Ditambah dengan keterampilan pemetaannya yang baik, Huasya bisa menghapalnya secepat kilat.
Hal yang tidak diprediksi Huasya adalah variabel X dari perjalanannya yang kini diisi oleh nama Mayor Dipta Bramantya. Seorang Tentara Nasional Indonesia dari Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat, dengan segudang prestasinya. Lulus magister dari universitas ternama Indonesia, mendapat gelar Ranger dan merupakan lulusan terbaik dari sekolah militer bergengsi dunia itu, di mana hanya dia satu-satunya siswa internasional yang lulus dari Fort Benning, AS. Lulus dari sekolah dengan sistem gugur setiap hari, sungguh bukan isapan jempol belaka. Fisik, mental, dan kecerdasan intelektualnya haruslah yang terbaik dari yang terbaik.
The extraordinary, sebut Huasya dalam hatinya.
Hidupnya tidak sesederhana hidup Huasya, yang hari ini belajar untuk lulus kemudian ingin menjadi seorang akademisi. Hari-hari Huasya hanya akan terbagi antara rumah, kampus, dan kantor litbang. Sementara sang mayor, bisa jadi hari ini di Al-Amman, besok sudah berpindah ke belahan dunia lain dengan risiko “kecelakaan kerja” yang begitu tinggi karena sehari-harinya memang mengantisipasi bahaya. Singkatnya, ke mana pun Hadi Prasetyo pergi, itulah tempatnya berada. Selain untuk mempermudah kerja Sekretaris Jenderal Republik Indonesia, tentu untuk menjadi perisai terkuat, tercepat, tertepat, terdekat, dan tersenyap bagi yang dilindunginya.
Variabel X yang Huasya bayangkan sebelumnya adalah hal menyenangkan yang akan terjadi di sini. Itu juga sebenarnya sudah terjadi, ia bisa berbicara dan belajar langsung dari Hadi merupakan berkah dan kebahagiaan baginya. Namun bertatapan langsung untuk ketiga kalinya dengan seorang Mayor Dipta, tidak pernah ada dalam kamus prakiraan variabel X-nya Huasya. Bahkan badan prakiraan cuaca pun, dengan segala alat canggihnya tidak akan bisa memprediksi yang satu ini.
Kalau saja ia cukup berani, pasti tadi ia sudah mengajak Mayor Dipta mengobrol. Hanya untuk basa basi mengajak minum kopi bersama, tidak ada salahnya. Ia bisa berada di lingkungan pergaulan orang-orang hebat adalah hal yang ia inginkan selama ini. Ah, sayang sekali.
Huasya menarik napas panjang lalu membuka laptopnya. Ia mulai memasukkan catatan yang tadi dibahas saat pertemuan ke dalam slides-nya. Sampai waktu tidak terasa sudah menunjukkan pukul dua dini hari, bersamaan dengan seseorang yang menghampirinya.
“Sudah selesai?” tanyanya menatap Huasya.
Huasya yang sedang meregangkan tangannya dengan tergesa menurunkan lengannya kembali ke meja hingga terbentur.
“Baru aja, Pak,” jawab Huasya masih terkejut dan tak terlalu yakin. “Bapak baru selesai olahraga?”
“Sekitar sejam lalu,” Dipta mengecek jam tangan digital pada pergelangan tangan kanannya. “Saya duduk di sana tadi,” seraya menunjuk kursi yang jaraknya dua meja dari Huasya.
Huasya termangu. Mulutnya hampir terbuka lebar. Tetapi sadar masih ditatap Dipta, Huasya segera melenyapkan reaksinya yang agak berlebihan itu.
“Kerja juga, Pak?” tebak Huasya.
“Iya, saya jadi bekerja sejam lebih awal dari jadwal,” gumam Dipta terdengar seperti gerutuan. “Ayo, kita harus naik sekarang!”
Huasya yang memang sudah selesai bekerja segera menutup laptopnya dan mengekori Mayor Dipta menuju elevator. Setelah Huasya perhatikan sekitar yang sudah sangat sepi, membuatnya bergidik ngeri jika harus kembali ke atas sendirian. Ia bersyukur ada Dipta menemaninya- ah tidak, bukan menemani tetapi hanya menyapanya untuk kembali bersama. Saking Huasya takut, tiba-tiba kepala Huasya menubruk dada bidang Dipta yang baru saja berbalik menghadapnya. Hidung Huasya yang menabraknya dengan cukup keras membuat gadis itu mengaduh. Wangi parfum Dipta seketika menjadi jelas di indra penciumannya.
“Aw …” desis Huasya pelan sambil mengusap hidungnya.
Dalam hati tentu saja Huasya mengumpat. Pria yang tiba-tiba bersikap aneh ini, sekarang tiba-tiba berbalik padanya yang sedang berjalan cepat mengimbangi langkah kaki panjangnya, ditambah kantuk yang sudah menyerang, belum lagi rasa takut yang seketika menyergap, membuat Huasya tidak siap sehingga mereka bertabrakan dengan keras. Jangan salahkan Huasya karena tabrakan ini. Yang salah, jelas adalah Dipta!
Bikin U turn tanpa nyalain lampu sein, salah dia, lah!
“Kenapa, Pak Mayor?” gemas Huasya menahan emosi.
“Kamu masih ada berapa hari di sini?”
Kamu?! Kamu?! Dia gak manggil aku Mbak Huasya lagi?!
“Ini baru masuk hari kedua, hari kelima baru terbang pulang ke Indonesia,” jawab Huasya sambil mengusap hidung mungilnya.
“Bisa saya minta tolong?” suara jenis bas milik Dipta mengambil alih fokus Huasya.
Huasya semakin bingung.
“Empat hari ke depan, jangan berkeliaran malam-malam sendiri,” ada nada asing yang terdengar dari ucapan Dipta.
“Saya bukan berkeliaran!” sanggah Huasya menahan kesal. “Saya bekerja,” koreksinya tegas.
“Bisa dari kamar kalian, kan?”