Huasya sedang menikmati waktu senggangnya bersama Pratiwi di dalam hotel. Agenda mereka hari ini sudah berakhir saat menutup presentasi tadi. Kini yang ada di hadapan mereka hanya bagaimana caranya menghabiskan kue dan buah yang dikirim oleh panitia usai penampilan mereka tadi.
“Kenyang juga ya, Bu. Padahal belum makan siang,” Huasya menghela napasnya.
“Iya, kayanya habis ini harus jalan dulu. Nanti kita lanjut lagi,” ajak Pratiwi sambil beranjak dari kursinya.
Huasya yang menyetujui ide ini segera bebenah baju lalu mengganti pakaiannya dengan celana jin dan kemeja polos biru langit. Ia yang tak terbiasa menaruh barangnya di lemari hotel segera mengembalikan baju yang telah ia pakai ke dalam koper usai ia kemas dengan plastik ritsleting yang selalu dibawanya saat melakukan perjalanan jauh. Ia terlalu malas mencuci bajunya di hotel, kecuali ada penatu swalayan koin, maka ia akan mencucinya nanti. Sekadar informasi, layanan penatu di hotel berbintang seperti ini sangatlah mahal. Yang jelas ia bukan datang ke sini untuk menghabiskan uang demi mencuci, bukan?
Setelah kembali menutup kopernya, ia langsung menyambar tas bahunya yang tentu saja berisi barang-barang berharga, lalu segera menyusul Pratiwi yang sudah menunggu di depan pintu.
Sambil berjalan, Huasya menggerai rambutnya yang tak begitu berantakan bekas digelung. Ia hanya merapikan rambut dengan jari-jarinya.
“Enaknya kita ke mana, ya?” Pratiwi berpikir keras.
“Ke mall gimana, Bu?” usul Huasya.
“Deket dari sini?”
Huasya mengecek aplikasi taksi daring yang digunakan juga oleh Sakti saat memesan taksi di bandara.
“Naik taksi sekitar lima menit, deket, Bu.”
Mereka sepakat dan akan memesan taksinya setelah sampai di lobi nanti. Akan mereka gunakan waktu bebas ini untuk menikmati Al-Amman.
Mereka memasuki kabin elevator dengan santai. Sampai tiba-tiba elevator yang mereka naiki berhenti tepat di antara lantai 15 dan 14. Setidaknya itu tebakan Huasya sesaat sebelum indikator lantai dalam elevator mati total. Tak ada pencahayaan sama sekali, semua menjadi gelap.
“AW! ADUH! Ya Tuhan, gimana ini?!” Pratiwi panik bukan main.
Huasya yang juga sempat tersentak karena lift berhenti tiba-tiba segera mengeluarkan ponsel dari sakunya. Meskipun detak jantungnya sekarang sangat tak karuan, tetapi ia harus segera memencet seluruh tombol lantai lalu tombol darurat. Otaknya memerintahkan untuk segera mencari pertolongan.
Tenang, Huasya! Tenang!
Huasya menyalakan senter dari ponselnya lalu melangkahkan kakinya, memencet tombol setiap lantai dan meraih tombol darurat dengan tangan kanannya. Ia menekannya dengan keras hingga terdengar bunyi “kring!!!” begitu nyaring.
“We apologize, we are on our way to rescue you,” terdengar suara dari pengeras suara.
“Alright, please do it ASAP,” pinta Huasya.
Suara seorang pria dari pengeras suara sepertinya tidak terdengar lebih baik dari Huasya, namun ia tetap meminta mereka untuk tenang dan mengatur napas. Oksigen di dalam elevator sangat terbatas. Huasya masih memegang ponsel dengan tangan kirinya dan merangkul Pratiwi dengan tangan kanannya.
“Tenang, Bu. Sebentar lagi pasti kita bisa keluar,” Huasya meremas bahu Pratiwi menguatkan. “Mau duduk dulu, Bu?” tawar Huasya.
Pratiwi mengangguk kemudian Huasya membantunya duduk dan meluruskan kakinya. Hanya mereka berdua dalam lift tapi mereka sudah merasa kesulitan bernapas. Huasya mencoba mengecek sinyal di ponselnya, dan sayangnya prediksinya tepat, sinyal terputus. Ia tidak bisa melakukan panggilan apa pun.
Sekitar dua menit yang terasa amat sangat lama, akhirnya petugas penyelamatan datang. Seorang pria terus mengajak mereka berbicara melalui pengeras suara dua arah, memastikan mereka masih dalam keadaan baik dan tenang.
Pratiwi sudah menangis dan semakin terengah saat bernapas. Ia tahu Pratiwi memiliki riwayat penyakit asma, ini tercatat dan dibahas pada saat persiapan keberangkatan. Setelah mengingat dan menyadarinya, Huasya segera membantu Pratiwi membuka kancing paling atas kemeja Pratiwi dan untunglah ia sedang mengenakan kerudung instan. Kemudian Huasya melepaskan tas selempang yang masih melingkari tubuh Pratiwi.
“Ibu ada inhaler?” Huasya berusaha bicara dengan tenang.
Pratiwi yang masih kesulitan menstabilkan napas hanya dapat mengangguk sambil menunjuk tas dengan dagunya.
Huasya menjatuhkan ponselnya di lantai lalu mengaduk tas Pratiwi. Segera Huasya arahkan inhaler ke mulut Pratiwi, meski dengan kedua tangan yang bergetar hebat, Huasya masih bisa membantu Pratiwi mengembalikan ritme napas sehingga lebih stabil. Sekitar lima menit Huasya membantu Pratiwi dengan inhaler-nya, pintu elevator pun mulai terbuka. Ia bisa melihat dua orang teknisi- tebaknya, sedang berusaha membuka pintu elevator dengan posisi berada di atas mereka. Kedua teknisi itu sepertinya sudah berhasil membuka pintu bagian luar sepenuhnya dan sedang mendorong pintu bagian dalam kabin lift.
Saat pintu terbuka sempurna, tangga diturunkan ke dalam lift. Sepertinya mereka benar-benar terjebak di tengah-tengah lantai. Salah satu tim penyelamat turun ke dalam kabin elevator.
“She’s having trouble with breathing,” Huasya menginformasikan. “You take her first.”
Anggota penyelamat itu kemudian menggendong Pratiwi di punggungnya dikaitkan dengan alat pengaman di pinggangnya, lalu dibantu Huasya menopang dari belakang. Setelah Pratiwi berhasil keluar, Huasya segera mengambil kembali ponsel miliknya dan tas milik Pratiwi, segera ia sampirkan di bahunya. Huasya menaiki tangga dengan sisa tenaganya yang habis terkuras karena gemetar, ini menyebabkan kakinya terpeleset dan betisnya membentur tangga.
Saat ia berhasil keluar, Huasya menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan situasi di sini. Tim yang menyelamatkannya hanya dua orang. Aksi penyelamatan juga cukup lama dibanding dengan waktu penanganan yang seharusnya hotel bintang lima lakukan. Standar mereka seharusnya cukup tinggi.