Seluruh headline news di televisi Bandara Al-Amman didominasi oleh berita menggemparkan yang datang dari salah satu hotel terbaik di negara ini. Aksi sabotase listrik, penyerangan petugas keamanan, dan ancaman teror yang disampaikan kepada pihak penyelenggara KTT sangat mencengangkan. Di saat perwakilan dari hampir seluruh belahan dunia datang untuk menginisiasi perdamaian dan menjunjung tinggi kemanusiaan, terjadi teror yang sangat mengerikan. Gedung tiga puluh lantai itu kini menjadi latar belakang studio para jurnalis yang sedang membacakan berita.
Berdasarkan berita, terdapat enam orang petugas keamanan gabungan KTT yang terluka. Lima pelaku teror tersebut juga sudah diamankan oleh petugas berwenang di Al-Amman. Mereka membawa selebaran yang berisi kata-kata kasar yang menyerang peserta KTT. Motif mereka yang lebih pasti akan diselediki terlebih dahulu.
Huasya yang menyimak berita berbahasa Arab ini pun segera menebak bahwa kabar teror ini pasti tak lama akan sampai ke telinga orang tuanya. Ia sangat berterima kasih pada guru bahasa Arabnya sejak TK hingga SMA, setidaknya ia bisa memahami inti dari topik berita barusan berkat ajaran guru-guru bahasa Arabnya.
Huasya segera merogoh tasnya dan langsung mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi pesan instan dan segera mengetikkan sesuatu di laman grup keluarga.
Me
Kakak baik-baik aja. Jangan khawatir
Lalu ia kembali mematikan sambungan internetnya dan kembali memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Sempat termenung karena kondisinya saat ini, Huasya disadarkan oleh suara seseorang.
“Ini paspor Mbak Sya.”
Huasya menerima kembali paspornya yang tadi diperlukan untuk mendata penumpang pesawat jet pribadi Hadi.
“Terima kasih Mas Radit,” ucap Huasya tulus.
Huasya benar-benar berterima kasih. Jika saat makan malam kemarin ia tak menerima kartu nama Radit, ia tak tahu harus menghubungi siapa lagi untuk meminta bantuan secara cepat. Ia bergidik saat mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada dirinya. Kejadian horor yang tak pernah ia ingin alami lagi.
“Sama-sama, Mbak Sya,” jawab Radit. “Gimana kakinya udah mendingan?”
Ditanya seperti itu Huasya langsung melihat kompresan es yang ditempel di kakinya.
“Mati rasa, Mas. Terlalu dingin,” canda Huasya.
Melihat Huasya sudah bisa bercanda membuat Radit sedikit bernapas lega. Detik pertama melihatnya datang ke ruang santai VIP bandara sebelum boarding, Huasya sangat lusuh dengan mata sembab dan kaki pincang. Cukup memprihatinkan bagi siapa pun yang melihatnya. Saat Hadi bertanya keadaannya pun, ia hanya bisa mengangguk dan menggeleng disertai senyum lemahnya.
Huasya dan Radit kemudian melihat ke arah Mayor Dipta yang sedang membisikkan sesuatu kepada Hadi. Lalu saat bertemu pandang dengan Radit ia memberikan kode yang tidak dapat dipahami Huasya, namun sepertinya Radit sangat memahaminya.
Radit kemudian menghadap ke semua calon penumpang jet pribadi Hadi. Benar, Huasya tidak sendirian. Ada Pratiwi, Andi, Herlino, Sakti, dan kedua profesornya. Pandangan Radit sempat tertahan di Hafiz yang sedang menatap Huasya lekat dan terang-terangan. Radit sempat ingin bertanya, tetapi dia urungkan karena waktu boarding sudah tiba.
Huasya sebenarnya sangat jengkel ketika mengetahui timnya pergi tanpanya saat mereka belum mengetahui nasibnya dan Pratiwi seperti apa. Tapi untungnya Radit menjelaskan bahwa mereka juga dipaksa untuk segera keluar dari zona bahaya oleh tim penyelamat agar bisa segera menemukan Huasya dan Pratiwi. Sayangnya tim penyelamat tidak bisa melacak Huasya dan Pratiwi karena mereka keluar dari tangga darurat yang digunakan orang lain.
Di sinilah Huasya berbalik jadi merasa bersalah.
“Lima menit lagi kita akan boarding,” Radit membuat pengumuman.