MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #7

Bab 7 : Rumor

01.00 dini hari

Bandara Internasional Singadilaga, Pakuan 

Keluarga Huasya menunggu dengan rasa cemas yang tak tertahankan. Tadi siang mereka dikabari oleh pihak universitas bahwa Huasya akan pulang tengah malam ini usai seluruh tajuk berita di televisi penuh dengan berita teror di Al-Amman. Kini mereka sudah menunggu di ruang santai Bandara Singadilaga bersama beberapa keluarga lain yang juga menunggu anggota mereka. 

“Ini udah jam satu, Pa. Kok belum dateng-dateng?” Mona semakin gelisah. 

Rendra merangkulnya dengan lembut, berharap bisa menyalurkan ketenangan pada sang istri. 

“Sebentar lagi, Ma. Tadi kan, kita udah tahu keadaan Kakak baik-baik aja,” ujar Rendra dengan sangat tenang. 

“Papa! Kok, Papa nggak khawatir, sih! Ini anak gadisnya belum pulang juga! Dia baru aja jadi korban teror, Pa!” sungut Mona cukup keras. 

Keluarga yang lain yang mendengarnya ikut cemas. Tetapi mereka juga bisa memaklumi Mona karena mereka satu-satunya yang anggota keluarganya adalah seorang anak gadis. Kekhawatiran orang tuanya tidak dapat diungkap dengan hanya satu kalimat. 

Rendra tidak mendebat ucapan istrinya. Sebenarnya dalam hati Rendra gelisah bukan main, seolah hatinya diselimuti kabut hitam yang tak lesap oleh embusan angin kabar bahwa anaknya dalam keadaan baik. Rendra juga ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, anak pertamanya sehat dan tidak terluka sedikit pun. 

Sementara kedua adik Huasya hanya dapat berkomat-kamit terus merapalkan doa agar kakaknya tetap aman. Meskipun mereka besok harus sekolah dan kuliah, tetapi mereka bersikukuh ingin ikut menjemput kakak sulungnya. 

Sampai tiba-tiba terdengar gaduh suara banyak orang yang menuju ke lounge bandara ini. Mendengar keramaian mendekat, Mona bergegas menuju pintu. Benar saja, Mona bisa melihat anaknya berjalan di belakang para petugas bandara.

“Huasya!!!” teriak Mona menggemparkan seluruh lounge

Huasya yang mendengar namanya dipanggil segera mencari sang pemanggil. Saat mata lelahnya melihat sang mama, ia mencoba berlari dengan kaki pincangnya. 

“Mamaaaa!” Huasya menubrukkan tubuhnya pada Mona. 

Huasya menghirup dalam wangi Mona di ceruk bahunya. 

“Sayang, kamu gak apa-apa, kan?” Mona sudah menangis saat bertanya. 

“Aku gak apa-apa kok, Ma,” jawab Huasya yang juga menangis. 

“Itu kaki kenapa, Kak?!” Kila bertanya heboh. Ia menunjuk kaki kanan Huasya yang pincang. 

Mona langsung berjongkok dan menyibak celana jin yang robek karena digunting tim medis. 

“Allahu akbar!” Mona terkejut bukan main. “Papa! Ini gimana?!” tanyanya bergetar. 

“Ini udah dioles salep kok, Ma. Kalau Mama mau cek ayo sekarang ke klinik!” tawar Huasya agar mamanya tenang. 

Tanpa berpikir dua kali, Mona segera memapah anaknya untuk keluar dari ruang tunggu ini. Mereka menuju ke tempat parkir. Tak ada hal yang lebih penting dibandingkan keselamatan anaknya. Mona dan Rendra sepakat untuk tidak mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga sudah menandatangani perjanjian kerahasiaan. Tim dari universitas Huasya kuliah sudah mengarahkan keluarga untuk datang ke rumah sakit TNI untuk proses pengobatan korban teror kemarin.

Rendra pun segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit yang dimaksud. 

***** 

“Memarnya memang cukup parah. Mbak Huasya sepertinya terbentur berulang kali di tempat yang sama. Tapi penanganan pertama sudah cukup baik,” ujar sang dokter. “Di awal sudah dikompres kan, Mbak?” 

“Sudah, Dok. Sama tim medis sana juga dioles salep,” jawab Huasya sambil menatap Mamanya. 

“Baik. Tetapi memang untuk beberapa waktu Mbak Huasya sebaiknya tidak terlalu banyak berjalan. Memarnya baru akan hilang sekitar tiga pekan meskipun pakai salep. Nanti saya resepkan juga obat antinyeri.” 

Setelah dokter jaga tersebut menjelaskan panjang lebar, akhirnya Mona bisa tenang. Dokter itu pun segera kembali ke pos jaganya. Sementara Huasya saat ini ada di ruang infus. Ia duduk ditemani Mona di sisi kanannya dan Vika di sisi kirinya. 

Lihat selengkapnya