MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #8

Bab 8 : Mas atau Abang?

Dua minggu kemudian

Huasya dan Sakti sudah kembali ke kampus seperti biasa. Di hari pertama mereka sudah diminta untuk menulis artikel jurnal mengenai perjalanan mereka ke Al-Amman. 

“Apa kita disuruh bikin diary?” tanya Huasya sarkastis. 

Sort of,” sahut Sakti tak habis pikir. 

“Apa mereka mau aku tulisin gimana caranya keluar dari kekacauan? Tutorial keluar dari elevator yang macet, gitu?” Huasya menggeleng kepalanya. 

Kali ini Sakti tak menanggapi, ia justru membukakan sebuah botol air mineral dan menyodorkannya pada Huasya. 

Thanks,” Huasya menenggak sampai setengah botol. “Ah! Harusnya kita auto dapet nilai A buat tugas ke Al-Amman kemaren!” 

Sakti hanya mengangguk lemas dan setuju. Mereka pun hanya bisa pasrah dan melanjutkan proses brainstorming mereka. Untungnya di ruang diskusi perpustakaan sedang kosong, mereka dengan bebas bisa melampiaskan kekesalan mereka yang sedang pusing mengerjakan tugas. 

Huasya dan Sakti mengakhiri sesi menulis artikel mereka hari ini. Huasya pamit untuk pulang duluan, sementara Sakti justru kembali ke area sirkulasi perpustakaan. Katanya akan meminjam buku. 

Setelah berpisah dengan Sakti, Huasya memilih untuk ke mall terdekat dari kampusnya, dan kebetulan adalah mall terbesar di Ibu Kota Pakuan. Sebenarnya ia jarang sekali bisa nge-mall. Ia biasanya lebih memilih ke perpustakaan umum di sekitar kosannya. Namun entah kenapa hari ini rasanya ia ingin sekali pergi ke sana. 

Cukup dengan berjalan sekitar 15 menit, Huasya sudah masuk ke pintu utama Grand Mall Pakuan. Saat masuk Huasya langsung mencari tempat makan favoritnya, restoran ramen yang selalu ia datangi bersama teman-temannya. Ia terlalu malas berburu dan mencoba restoran yang lain, terlalu berisiko. Bagaimana jika makanannya tidak enak? Bagaimana jika makanannya terlalu mahal? 

Tidak ada jaminan baginya mengeluarkan uang yang sepadan dengan rasanya jika ia ke tempat makan yang baru. 

Ia segera memesan mie ramen favoritnya yang bertabur ikan teri mentah dan telur ikan salmon yang tentunya juga mentah. Meski mengidap alergi, kecintaannya terhadap boga bahari tak berkurang, asal ada antihistamin atau susu UHT cukup jadi solusinya.

Ia membawa nomor pesanannya dan menaruhnya di sudut meja yang ia tempati. Ia memilih duduk di kursi yang dekat dengan pembatas kaca restoran dengan koridor mall. Karena ia masih berada di lantai satu, ia bisa melihat hampir ke seluruh area mall. Hampir 360° sudut pandang yang dimilikinya, ia pindai dengan mata elangnya. 

Sampai sosok pria di eskalator masuk dalam bidikan matanya, ia semakin menajamkan penglihatannya. 

Mayor Dipta? Sama siapa itu? 

Sosok pria gagah yang sedang menggendong seorang anak perempuan itu menguasai seluruh fokus Huasya, hingga ia tidak menyadari seorang pelayan sudah membawakan pesanannya karena Huasya tak kunjung datang saat dipanggil. Ia berterima kasih dengan singkat kemudian kembali melihat ke tempat di mana ia menemukan Mayor Dipta. Sayangnya saat ia kembali memusatkan matanya ke eskalator, sang mayor sudah tidak ada di sana. 

Sayang sekali, pikirnya. Ia akan berterima kasih pada Mayor Dipta secara pribadi. Meskipun memang tugasnya tapi Huasya tetap merasa ia harus berterima kasih padanya, setidaknya, menggendong Huasya tidak ada dalam tugas dan tanggung jawabnya. 

Meski ada perasaan kecewa, Huasya tetap melanjutkan menyantap ramen ikan terinya- setidaknya itu nama yang Huasya sematkan untuk makanan Jepang favoritnya ini. Namun, baru saja Huasya hendak menyuapkan mie ke mulutnya, tiba-tiba sepasang sumpit di tangan kanannya tergelincir ke mangkuknya. 

Ia terbatuk. 

Seseorang yang mendengar batuknya pun tiba-tiba menoleh pada Huasya. Ditatap sang idola membuatnya dag dig dug tak kepalang. Huasya hanya bisa mengangkat sebelah tangannya sambil mengucapkan, “Halo, Pak Mayor!” 

“Halo?” 

Huasya berdiri dan merapikan kilat penampilannya. Huasya kemudian melangkahkan kakinya menuju Dipta yang masih antre untuk memesan. Ia tak melihat sekelilingnya, ia hanya fokus pada Dipta yang lagi-lagi mengenakan pakaian berwarna senada dengannya, warna salem. Dipta yang mengenakan topi berwarna hitam juga membuatnya jauh lebih segar daripada biasanya. Ia terlihat seumuran dengan Huasya. 

Huasya kemudian mengulurkan tangannya. 

“Apa kabar, Pak?” tanya Huasya sambil menunjukkan senyum termanisnya. 

“Kabar baik. Mbak Huasya apa kabar? Kakinya sudah sembuh?” 

Tak disangka, Dipta balik bertanya pada Huasya yang kini bingung tujuh keliling. Bukan karena pertanyaan Dipta, tetapi karena fakta Dipta bertanya padanya, dan mengingat soal luka di kakinya. 

“Kaki saya sudah pulih, Pak. Terima kasih banyak!” Huasya menjawab dengan senyumnya, lagi. 

“Siapa ini, Dip?” 

“Oh, ya! Kenalin, Ma, ini Mbak Huasya. Mahasiswa dari Unhantara, yang ikut KTT di Al-Amman,” ujar Dipta sambil bergeser. “Dan Mbak Sya, ini ibu saya.” 

“Halo, Tante! Eh, Ibu. Eh,” Huasya menipiskan bibirnya menahan malu. 

“Nggak apa, Dek. Panggil tante saja. Tante Prisil,” ujar Ibu Mayor Dipta ramah. 

Ternyata lesung pipi Mayor Dipta menurun dari ibundanya, adalah hal pertama yang Huasya pikirkan. 

“Pak Mayor dan Tante sudah dapat kursi? Ini lagi jam makan siang, agak penuh. Mau bergabung di meja saya? Kebetulan saya sendiri,” tawar Huasya lancar meski grogi. 

Namun bukan Huasya namanya jika ia tidak bisa menyingkirkan rasa grogi dan malunya. Ia yang sudah terbiasa menjadi public speaker cukup lihai menyembunyikan ketegangan jantungnya. 

Dipta menoleh pada Prisil seolah menyerahkan keputusan pada ibunya. Prisil kemudian mengedarkan pandangannya, benar saja, semua meja sudah ditempati. Tak ada lagi meja kosong. Mungkin karena ini hari Sabtu, jadi semua orang keluar bersama keluarganya, kecuali Huasya, yang terlihat hanya sendirian menempati meja untuk empat orang. 

“Tante bawa cucu, nggak apa-apa nanti berisik?” tanya Prisil sambil melirik dua bocah yang dituntunnya. 

“Nggak apa-apa, Tante!” Huasya tersenyum lebar. “Yuk, ikut Kakak!” 

Huasya yang memang senang dengan anak kecil dengan mudahnya menarik perhatian kedua anak kecil ini. Yang sulung perempuan, yang bungsu laki-laki. Keduanya langsung mau Huasya gandeng menuju mejanya. 

“Lucu banget sih, kalian sepasang!” seru Huasya refleks. 

Ia tak memperhatikan bahwa Dipta mengekorinya ke tempat duduk. Sadar ia sedang diperhatikan, Huasya segera mencari kursi untuk mengalihkan pandangan Dipta. Ya, kursi di meja Huasya hanya ada empat, sementara mereka berlima, mereka kekurangan satu kursi. Huasya mendudukkan kedua bocah itu, kemudian kembali berbalik. 

Melihat kursi yang berjarak dua meja dari mejanya sedang kosong, Huasya berencana menariknya. Alih-alih tangannya menarik kursi, malah kini tangannya yang ditarik Dipta. Ia menoleh dan melihat dengan jelas fitur wajah sisi kiri sang mayor idola wanita negara +62. 

“Biar saya saja,” ucapnya singkat, lalu melenggang menuju kursi yang dituju Huasya. 

Dalam hati Huasya sudah salto, ngereog kata anak zaman now. Tangannya yang disentuh Dipta, tapi kenapa jantungnya yang berkeringat. Kini ia tidak yakin apakah jantungnya masih sehat atau tidak, karena detaknya sudah tidak karuan seperti genderang mau perang. 

“Kak! Ini ada ikannya?” tanya bocah lelaki pada Huasya. 

Huasya yang mendengar pertanyaan sang bocah segera kembali ke mejanya dan menjawab pertanyaan acak dari kakak beradik itu. 

“Kita belum kenalan, loh! Aku Huasya, panggil Kak Sya aja, ya!” 

“Aku Bunga!” 

Lihat selengkapnya