Horornya Senin. Mungkin itu cocok menjadi judul cerita Huasya hari ini. Ia harus mempresentasikan artikelnya di hadapan dua profesornya. Untunglah ia tidak sendirian, karena Sakti saat ini setim dengannya. Setelah mereka bernegosiasi, ternyata mereka diperbolehkan menulis satu artikel oleh berdua, alias tidak harus masing-masing satu artikel. Namun sayangnya, mereka harus tampil di depan para profesor dan juga dekan dari fakultas mereka. Katanya sih, agar ini jadi pengalaman baik untuk mereka.
“Berbagi pengalaman buruk kena teror bisa juga jadi sebuah pengalaman berharga, ya?”
Lagi-lagi, Huasya sarkastis dengan keadannya sekarang. Ia cenderung tidak ingin mengingat momen-momen buruk dalam hidupnya. Tapi kali ini ia diminta untuk melakukannya, untuk bisa dibagikan kepada rekan-rekannya. Katanya untuk pembelajaran, tapi bagi Huasya justru sebaliknya, ini seperti peringatan baginya. Karena ternyata semakin diingat ia semakin merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Seolah menggigil padahal ia tidak kedinginan sama sekali.
“Mau gimana lagi, Sya? Kita kan, anak beasiswa yang mau gak mau, harus mau,” ucap Sakti lemah.
Ya, mereka berdua memang penerima beasiswa yang mengharuskan mereka banyak berkontribusi untuk negeri, dan Huasya hampir melupakan itu. Huasya hanya menghela napasnya panjang. Untungnya mereka diberi laptop baru setelah pulang dari Al-Amman, jadi Huasya sudah sepatutnya bersyukur, kan? Ia segera mengganti mimik wajahnya kembali ceria saat MC temporer hari ini menyilakan dia dan Sakti untuk maju dan mempresentasikan artikel mereka.
Kajian mereka yang fokus pada kebijakan pertahanan kali ini mengangkat garis besar pertahanan siber. Topik kebijakan pertahanan siber mereka pilih sebagai hasil dari pengalaman mereka ketika di Al-Amman. Teror yang terjadi tidak sesederhana yang diberitakan, mati listrik dan sabotase acara KTT. Tetapi seluruh jaringan di dalam gedung diputus sambungannya dan beberapa data yang dimiliki peserta yang selama di sana mengakses internet dengan jaringan wifi hotel, seketika terinfeksi virus. Hal ini Huasya dan Sakti dengar dari rekan-rekannya yang kembali ke hotel setelah teror terjadi dan membawa pulang barang-barang mereka.
“Semua data mereka terinfeksi virus. Banyak data dan transkrip penelitian yang tidak terbaca,” ucap Huasya.
“Dan mereka pada akhirnya harus menghancurkan perangkat mereka karena positif teretas dan bisa menyadap suara serta lokasi persis perangkat tersebut,” imbuh Sakti.
“Maka, kami harap dengan kebijakan siber yang terus diperbarui. Setiap WNI yang mengikuti KTT baik di dalam maupun luar negeri, terutama untuk tema KTT yang confidential dan sifatnya rentan, bisa difasilitasi dengan jaringan milik negara yang portable dan aman.”
Huasya kemudian menambahkan, jika momentum di tahun 2023 lalu, KTT yang digelar di Indonesia menjadi titik awal mengorbitnya jaringan 5G di Indonesia, kini ia menyarankan agar 5G secured menjadi slogan baru untuk jaringan di Indonesia.
“Meskipun untuk roaming di luar negeri itu tentunya akan perlu proses yang kompleks, tetapi hal ini bukan tidak mungkin,” ungkap Huasya. “Saat para peretas berkembang, saya kira sistem keamanan kita juga harus lebih berkembang, agar bisa antisipasi hal yang tidak diinginkan seperti yang terjadi tempo hari.”
“Kami harap pola dan model kebijakan pertahanan siber ini bisa diamati dan dikembangkan lebih dalam agar bisa segera diimplementasikan di kehidupan praktis kita saat menjadi delegasi,” Sakti melengkapi kalimat Huasya.
“Sekian presentasi artikel kami mengenai model kebijakan pertahanan siber. Terima kasih atas segala perhatiannya!” tutup Huasya.
Riuh tepuk tangan terdengar meriah. Huasya bisa melihat Profesor Nina yang tak lain adalah pembimbingnya begitu bangga menatapnya. Begitu pun dengan Profesor Hafiz yang terlihat puas.
Huasya kemudian segera membereskan PC tabletnya dan menghampiri profesornya.
Profesor Nina langsung merangkul Huasya sambil berkata, “Hebat! Sebetulnya kamu sudah bisa lulus, Sya!”
“Terima kasih, Prof. Ini semua berkat bimbingan Prof. Nina,” ucap Huasya tulus.
“Dua minggu loh, kalian bisa selesaikan artikel dengan model kebijakan yang komprehensif seperti ini,” puji Profesor Nina.
“Saya cuma ikut ide Huasya, Prof.,” sahut Sakti.
“Tunggu-tunggu!” Prof. Nina menghentikan langkahnya. “Tapi bagian kamu digendong sama Mayor Dipta kok gak dimasukin laporan?”
Nada menggoda yang dilontarkan Profesor Nina seketika mengundang tawa kikuk di antara mereka. Huasya melambaikan tangannya, menepuk udara di sekitar, sambil melihat ke sembarang arah.
“Prof., jangan percaya hoaks dari orang yang bantu evakuasi waktu itu,” sanggah Huasya cepat.
“Videonya viral masa hoaks?” Prof. Nina bertanya sangsi.
“Emang waktu saya digendong ada yang videoin, Prof?” Huasya memutar otaknya.
“Bukan, bukan pas di Al-Amman. Tapi pas kamu enjoy weekend sama Mayor Dipta dan keluarganya,” jelas Profesor Nina.
Huasya menepuk jidatnya.
“Duh, Prof. itu mah saya nggak sengaja ketemu. Jadi sekalian makan bareng, kebetulan restonya penuh jadi semeja,” Huasya berusaha menjelaskan.
Sejujurnya Huasya sudah bosan menjelaskan, dua minggu ini ia diteror dengan pertanyaan apakah ia ada hubungan dengan Mayor Dipta. Ingin sekali Huasya teriak, ia saja belum di-acc untuk follow Mayor Dipta, nomor ponselnya saja Huasya tidak tahu, bagaimana bisa ia disebut “kekasihnya”?
Sekarang profesornya yang termakan hoaks. Sudahlah. Huasya lelah.
“Aminkan aja kali, Sya. Kamu jomlo, Mayor Dipta jomlo. Apa salahnya?”
Huasya hanya menampilkan senyum tertekannya. Makin lama profesornya makin galat. Terlalu banyak mendoktrin ia agar bisa segera menikah.
“Saya duluan, Prof., sudah ditunggu Rita,” Huasya pamit.
Kelamaan digodain, ini otak bisa beneran semakin delulu!