MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #10

Bab 10 : Lari Subuh Bersama

Ruang rapat terbatas, Mabes TNI

“Langsung saja, ya, Pak?” tanya seorang Kowad pada Jendral berbintang dua. 

Pertanyaannya langsung diangguki semua orang.

“Kami sudah temukan jejak peretas hotel di Al-Amman. Ternyata itu dikirim dari Lemuria, negara persemakmuran salah satu anggota komite elit global,” kowad itu menjeda ucapannya. 

“UC?” tanya Dipta tepat sasaran. 

Kowad itu mengangguk pasti. 

“Lalu sasaran mereka sejak awal adalah Pak Hadi?” tebak Dipta lagi. 

“Dari mana Mayor tahu?” tanya sang kowad. 

“Andini, bisa tinggalkan kami untuk bicara?” ucap salah seorang jendral. 

Kini hanya tinggal Dipta, atasannya Letkol Yohan yang juga Danyonif 007, dan empat perwira tinggi berpangkat bintang. 

“Saat Mayor Dipta terima telegram, saya yakin Mayor sudah paham bahwa sasaran teror ini adalah Sekjen kita?” 

Dipta mengangguk, “Namun saat itu hanya dugaan, Jendral.” 

“Karena kita sudah tahu, sekarang bukankah sebaiknya segera koordinasi dengan Kemenlu?” 

“Izin, Jendral,” Dipta mengangkat tangannya. “Apakah kepindahan saya secara penuh ke Yonif 007 bisa ditunda? Tidak ada lagi yang tahu masalah ini sebaik saya. Saya akan terus bersama Pak Hadi sampai termin kabinet selanjutnya berubah, sampai transisi pemerintahan selesai.” 

Para jendral berunding. Saran Dipta diterima oleh para perwira tinggi. 

“Kalau begitu tetap berjaga di pos masing-masing. Saya akan komunikasikan ini ke Panglima untuk diteruskan ke Istana. Untuk sementara semua komunikasi dilakukan tertutup. Semua off the rec.” 

Rapat terbatas pun akhirnya dibubarkan. Dipta kembali menuju mobilnya untuk pulang, setengah hari ini ia memang dibebastugaskan karena dipanggil oleh Mabes. Namun karena hanya sebentar membuatnya tidak ada lagi kegiatan. Ia memutuskan melajukan mobilnya ke rumah. 

Sesampainya di rumah, Dipta disambut seorang tamu yang juga sudah cukup dirindukannya. 

“Hei, Fan! Udah nunggu lama?” sapa Dipta sambil memeluk Taufan. 

Taufan balas memeluk Dipta, “Nggak lama kok, tadinya cuma mau nengokin Tante Prisil. Eh, bisa ketemu Abang juga ternyata. Tumben Bang, udah pulang?” 

“Ganti baju dulu deh, ya,” Dipta mengundurkan diri. 

Sejujurnya ia juga sedang menghindar ditanya soal pekerjaan oleh Taufan. Masalah UC yang menargetkan Hadi sudah membuatnya pusing. Usai berganti pakaian dengan kaus dan celana pendek, Dipta kembali ke ruang tamu dan segera bergabung dengan obrolan mama dan temannya. 

“Ya, udah. Tante masak dulu ya, Fan. Ngobrol sama Dipta aja,” Prisil pun beranjak. 

“Bang, udah lihat video Abang yang lagi rame di medsos?” tanya Taufan tanpa tedeng aling-aling. 

“Lihat beberapa yang dikirim di grup keluarga,” jawab Dipta santai. 

“Komentarnya jahat-jahat loh, Bang!” 

Dipta mengangkat sebelah alisnya. Ia yakin ia sudah terbiasa dengan komentar negatif publik terhadap dirinya. 

“Bukan ke Abang, tapi buat mbak-mbak yang divideoin bareng Abang,” terang Taufan. 

“Kok bisa?!” Dipta sedikit terkejut. 

Taufan kemudian menunjukkan unggahan akun penggemar Dipta dua pekan lalu dan langsung menampilkan kolom komentarnya. Tak ada yang salah dengan unggahannya, namun komentar pedas yang terpampang begitu tak sedap dipandang mata.

“Parah banget, kok bisa?” Dipta mengerutkan keningnya. 

Ia tidak menyangka yang menjadi sasaran oknum netizen yang nol netiket kali ini adalah Huasya. Pantas saja Huasya terlihat frustasi tadi sambil mengacungkan ponselnya. Bisa jadi tadi dia sedang melihat kolom komentar yang sama dengannya. 

“Mereka keterlaluan! Ngerendahin orang sampe segitunya,” geram Dipta. 

“Pertanyaannya, emang Abang beneran lagi nge-date sama Mbak itu?” 

“Huasya, namanya Huasya,” tegas Dipta. 

“Oke! Apa Abang beneran lagi jalan waktu itu, sama Mbak Huasya itu?” Taufan mengoreksi pertanyaannya. 

“Nggak sengaja ketemu. Lagi jalan sama Mama sama ponakan. Kebetulan nggak ada kursi kosong, akhirnya gabung di mejanya dia. Sekedar saling sapa aja, Fan. Gak lebih!” Dipta mengelak. 

Taufan mengangguk paham maksud Dipta. “Tapi bukannya Abang harusnya udah perhitungkan, ya? Abang bukan tipe yang ambil keputusan tanpa pikirin dua-tiga kemungkinan hasilnya, kan?” 

Pertanyaan Taufan kali ini cukup menampar logika Dipta. Sejak awal seharusnya Dipta sudah memperhitungkan kalau di tempat-tempat publik seperti itu, pasti dirinya tak akan lepas dari CCTV berjalan, alias manusia. Sudah setahun tepat ia menarik perhatian publik dan bahkan digadang-gadang calon pemimpin masa depan karena banyak mengawal para pemimpin negara. Namun perhatian yang berlebihan seperti saat ia menghabiskan waktu pribadinya bersama keluarga dan tetap direkam orang-orang, membuatnya sangat tidak nyaman. 

Dipta bisa tahan terhadap berbagai cemoohan dan kritikan pedas banyak orang, tetapi keluarganya belum tentu, kan? Huasya juga belum tentu, kan? 

“Terus sekarang saya harus gimana, Fan?” Dipta menghela napas kasar. 

Ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, seolah beban di kepalanya bisa dititip sebentar di sana. 

“Minta maaf sama Mbak Huasya, soalnya keputusan Abang duduk di tempatnya itu yang bikin dia keseret dan dihujat banyak orang padahal dia gak salah apa-apa.” 

Nasihat Taufan dicernanya baik-baik. Jika ia minta maaf, bertemu dengan Huasya di tempat ramai lagi, maka pasti akan memperparah gosip yang sudah mencuat. Tapi jika ia tidak meminta maaf pada Huasya, ia akan menjadi pria jahat yang melibatkan seorang gadis dicerca banyak pihak hanya karena makan siang bersama dengannya. 

Dipta tidak pernah mengira bahwa ia akan menjadi seorang “selebriti dadakan” seperti ini. Ia harus memikirkan cara terbaik untuk bisa meminta maaf pada Huasya. 

*****

Pagi ini Huasya memutuskan berlari di lapang serbaguna Ibu Kota Pakuan. Ia yang biasanya mageran entah ada angin apa justru sangat rajin sejak subuh tadi, berlari sendiri menuju Lapang Mega Buana. Ia sendiri heran dengan sikapnya hari ini. 

Mau-maunya aku lari sepagi ini. Mana masih sepi.

Huasya mengedarkan pandangannya dan di stadion sebesar ini hanya ada dirinya dan beberapa petugas pembersih. Waktu masih menunjukkan pukul 5.30 pagi, dan sepertinya stadion baru akan ramai setelah pukul enam pagi. Huasya memutuskan duduk di tepian trek lari dan menghirup udara segar pagi ini. 

Lihat selengkapnya