MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #11

Bab 11 : Terjebak Bencana

Hari-hari dijalani Dipta dengan penuh kesungguhan dan kedisiplinan seperti biasa sehingga ia hari ini bisa pulang tepat waktu ke rumah dan bercengkrama dengan keluarga, meski hanya semalam, itu pun terpotong tidur sebenarnya. Tapi ia bersyukur di sela hari Seninnya yang sibuk ia masih bisa bertemu dengan papa dan mamanya. 

“Jadi besok kamu terbang ke mana?” tanya Prisil pada anak bungsunya. 

“Nusa Tenggara, Ma. Mungkin dua hari di sana.” 

“Makan, Dip,” ujar sang Mama. “Kalau sama Mbak Sya itu, kamu nggak ada ketemu lagi?” 

Dipta menghentikan gerak tangannya yang sedang fokus mengarah ke udang balado. 

“Maksud Mama?” 

“Nggak apa-apa, kok. Cuman Mama kasian aja sama dia, masih muda, bukan artis tapi digosipin sama kamu. Kalau mama orang tuanya, kayanya mama udah ngamuk sama kamu,” kelakar Prisil dengan nada serius.

Dipta menautkan alisnya dengan alot. 

“Dipta juga gak mau melibatkan atau ngerugiin siapapun, Ma. Cuma aneh, ketemu terus sama dia,” Dipta membela diri. 

“Siapa tahu jodoh, Dip,” Prisil mengelus pundak Dipta. 

Dipta tak menjawab perkataan mamanya. 

“Sudah saatnya kamu coba buka hati lagi. Jangan lagi terjebak dan berharap sama masa lalu.” 

Sebagai seorang ibu, Prisil hanya menginginkan kebahagiaan Dipta yang tentunya bebas untuk dipilihnya. Tetapi jika sesuatu yang dipilih dan diyakini anaknya sebagai bahagia adalah dengan menunggu mantan calon istrinya kembali padanya, maka Prisil harus menyadarkan Dipta. 

“Dia gak akan pernah kembali sama kamu, Dip.” 

Mendengar ucapan mamanya, Dipta terhenyak dan kembali berpikir serta mempertanyakan, sebenarnya apa yang ia tunggu selama ini? 

*****

Huasya sudah sampai di pusat kota Kabupaten Ndana Besar setelah tiga jam terbang dan empat jam perjalanan darat. Kini dia harus naik kapal motor untuk sampai di pulau paling selatan Indonesia, Ndana. Ia sudah mendapat tiket untuk kapal motor selanjutnya yang sulit didapat karena harus melalui pemeriksaan yang ketat untuk alasan keamanan. Dan ternyata ia masih harus menunggu sekitar dua sampai tiga jam perjalanan. 

Tidak mudah untuk mendapat pengantar dari pemerintah daerah juga otoritas keamanan setempat agar bisa masuk ke Ndana. Profesor Hafiz menghabiskan waktu dua bulan untuk mendapat izin penelitian. Izin penelitiannya juga tidak langsung untuk satu tim penelitian, tetapi untuk perorangan. Itulah kenapa Huasya yang tidak masuk tim inti peneliti mendapat surel untuk datang ke Ndana sore hari ini karena izinnya terakhir keluar. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa bagi Hafiz yang baru berusia 35 tahun, sudah menyandang gelar profesor dan bahkan sekarang melakukan penelitian yang sulit dikerjakan orang lain. Dia akan menjadi yang pertama yang meneliti Pulau Ndana dengan seksama. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 petang, dan Huasya belum makan lagi selain sarapan di rumahnya tadi pagi. Malas membongkar persediaan makanannya dari koper, akhirnya ia memutuskan untuk membeli roti di warung dekat dermaga. Ia mengambil sebotol minuman isotonik dan sebungkus roti kacang hijau yang harganya dua kali lipat dari harga di Pulau Jawa. 

“Mau ke mana Kakak?” tanya seorang bocah lelaki dengan nada khas Timur Indonesia.

“Mau ke Ndana, adik mau ke Ndana juga?” 

“Di Ndana tidak ada orang. Hanya om tentara. Saya tinggal di sini.” 

Huasya tersenyum kikuk, ia melupakan fakta bahwa ia akan disambut barak tentara di sana, bukan perumahan warga. Ndana adalah pulau khusus untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara sehingga tidak ada penduduk di sana. 

“Kakak tak mau beli penutup telinga?”

Huasya bengong, ia berpikir keras kenapa adik itu menawarkan penutup telinga. 

“Atau kakak mau yang lebih murah? Ini ada kapas?” tawar sang bocah.

“Untuk apa, Dik? Di sana hening, kan? Kakak tidak perlu itu untuk tidur.” 

Sang bocah menunjuk awan hitam di atas mereka. 

“Di sana memang tidak ada orang. Adanya petir,” jelas penjaja cilik itu. 

Merasa adik tersebut tidak berkata bohong, maka Huasya memutuskan membeli penutup telinga berharga 150 ribu itu. Ia hanya berharap petir yang disebutkan si adik tidak terlalu ekstrem seperti yang diceritakan. 

Dua jam berlalu

Gelap pun memeluk bumi. Dingin mulai merambat masuk memaksa hingga ke tulang. Jaket wol yang digunakan Huasya tidak mampu menahannya. Dengan harapan tubuhnya menghangat, Huasya terus mengusap-usap lengannya. Hidungnya mulai nyeri disusupi angin laut. Telinganya mulai membeku disapu dinginnya malam. 

Huasya mengeluarkan botol minyak kayu putih dan segera membalur leher, tengkuk dan sedikit di ujung hidung mungilnya. Firasatnya mengatakan, suhu di Pulau Ndana juga tak akan jauh berbeda dengan saat ini. 

“Ini, Kak. Minum air hangat,” seorang awak kapal menyodorkan gelas. 

“Terima kasih,” terima Huasya. 

Ia hanya berharap alerginya tidak akan kambuh terlalu parah. 

*****

“Ini kamar Huasya,” Prof. Hafiz membuka pintu sebuah kamar. “Di sini biasa digunakan tamu. Di sebelah ada Hana dan Febri yang sudah biasa jadi asisten penelitian saya sejak mereka S1.” 

Sesampainya di Ndana, Huasya langsung disambut Hafiz. Ia segera mengikuti Hafiz yang sudah seperti tuan rumah. Usai diberi arahan soal kamarnya, Huasya hanya mengangguk-angguk paham. Meski kamarnya tidak sebesar kamar samping, terlihat dari luar seperti itu. Namun Huasya tetap bersyukur, karena mereka berdua sementara dia hanya sendiri. Hafiz mendorong koper Huasya. Ya, sejak awal kedatangan Huasya, Hafiz tidak pernah membiarkan Huasya mendorong kopernya sendiri. 

“Kalau kamar mandi, ada di luar. Harus survive, ya. Setidaknya di barak ini kita aman,” Prof. Hafiz menenangkan. “Oke, ini udah jam 12 malam. Saya kembali ke kamar saya dulu. Kamu istirahat. Besok jam 7 sarapan dan setelahnya kita briefing. Kalau ada apa-apa langsung kabari saya.” 

“Baik, Prof. Terima kasih,” ucap Huasya. 

Di sinilah Huasya saat ini. Duduk di kasur ukuran single yang cukup nyaman. Kondisi kamar tidak seburuk perkiraannya. Kamarnya bersih dan terang.

“Hacih!” 

Huasya bersin. Tidak sekali, tapi berkali-kali hingga dadanya terasa sakit. Tanpa bercermin, Huasya tahu pasti, sekarang mata dan wajahnya pasti sudah memerah. Ia segera membuka kopernya. Mengeluarkan kotak obat dan plastik makanannya. Ia memakan biskuit coklat berbentuk bulat kesukaannya. Setelah tandas, ia segera membuka obat alerginya dan menenggaknya dengan mulus. 

“Sehat-sehat! Harus sehat!” serunya. 

Saat mengecek ponsel, Huasya kembali mengembuskan napas. Tidak ada sinyal sama sekali di sini. Sebenarnya tidak apa-apa baginya, hanya saja orang tuanya pasti akan sangat khawatir karena terakhir kali mereka bertukar kabar adalah saat Huasya masih di area dermaga. 

Kita cari cara besok saja. 

Tak lama hujan deras disertai petir dan guntur pun menyapa Pulau Ndana. Huasya yang baru saja kembali dari kamar mandi luar segera meringkuk di atas kasurnya. Suara guntur yang seolah tiada habisnya benar saja membuatnya sulit tidur. Untunglah dia tadi membeli penutup telinga dari adik manis di dermaga. Meski tak sepenuhnya bisa meredam suara guntur, tetapi cukup untuk menenangkan Huasya. Huasya bukannya fobia pada guntur hanya saja suasana di sini membuatnya jadi agak penakut. Mulutnya terus berkomat-kamit merapalkan doa hingga ia akhirnya bisa tertidur. 

*****

Jam sarapan Huasya dan tim menyesuaikan dengan jam sarapan para tentara. Huasya sudah mendengar kesibukan di dapur umum sejak subuh tadi. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 waktu setempat dan makanan yang cukup mewah untuk ukuran di pulau terpencil, sudah dihidangkan di meja panjang ini. 

Huasya sudah berkenalan dengan Hana dan Febri, dan Huasya kira mereka bisa akrab sebagai rekan setim. Namun Huasya yang tidak suka terlalu banyak berkomunikasi hal yang sifatnya pribadi sehingga sepertinya agak sulit menyesuaikan diri dengan mereka yang senang bergosip. Huasya memilih diam dan mengekori langkah mereka dengan tenang. 

Menu yang dipilih Huasya adalah ayam kecap dan capcay. Ia butuh banyak sayur agar bisa buang air dengan lancar. Tahu kan, tipe orang yang tidak bisa buang air selain di tempat yang familiar dengannya? Ya! Huasya tipe seperti itu. 

“Perhatian!” 

Suara nyaring dan tegas segera menyita perhatian seluruh pasang mata dan telinga manusia di ruang makan. 

Lihat selengkapnya