MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #12

Bab 12 : Hipotesis Gila

Dengan perasaan yang sulit dideskripsikan, Huasya pulang dengan wajah kuyu, kantung mata hitam, kelopak mata menyipit, dan tubuh yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. 

Saat sampai di Bandara Dayo Raya, Huasya disambut oleh Mona dan Vika yang sudah siaga di pintu kedatangan. Huasya menggeret kopernya perlahan karena kakinya terasa masih lemah, lalu memeluk Mona erat. 

“Mamaaaa! Kakak hampir mati kemarin,” adunya. 

“Ssuutt! Jangan ngomong sembarangan! Pamali! Mama nggak mau denger Kakak ngomong gitu lagi!” tegur Mona. 

Huasya hanya terkekeh geli mendengar omelan mamanya. Awalnya Huasya kira ia akan menangis tersedu saat bertemu keluarganya. Tetapi anehnya, saat di pelukan Mona, Huasya justru merasa kuat lebih dari yang ia bayangkan. Kejadian kemarin tidak ada apa-apanya di hadapan wanita tangguhnya ini. 

“Gak ada luka, kan?” Mona memastikan. 

Huasya menggeleng keras. 

“Papa mana? Kok, nggak jemput?” Huasya mencari keberadaan papanya. 

“Kerja. Ada yang nikah malem-malem,” jelas Vika. 

Mulut Huasya membulat sempurna. Kalau yang menikah malam-malam seperti itu biasanya adalah orang kaya yang acaranya di hotel berbintang. Pasti pulang nanti papanya akan membawa banyak makanan dari acara itu. Dalam hati Huasya bersorak. 

“Nggak ajak sopir juga?” tanya Huasya. 

“Nggak lah, ngapain? Kan, ada Kakak, kita gantian.” 

Kini giliran matanya yang membulat sempurna. Ia baru saja mendarat dari perjalanan panjang, kini ia masih harus gantian menyetir mobil dengan adiknya. 

“Nggak, ah! Kamu aja terus yang nyetir! Kakak capek! Oh, ya. Nanti kamu kembaliin ini ke perpustakaan bandara di depan.” 

Vika hanya menerima bukunya tanpa protes.

Namun kemudian Vika menambahkan, “Ya, kalau mau nyampe rumah besok pagi karena aku tidur dulu di rest area sih, ya, nggak apa-apa.” 

Huasya hendak membalas perkataan Vika, namun disergah Mona.

“Udah, nanti Mama aja yang nyetir.” 

“JANGAN!!!” kompak Huasya dan Vika.

*****

Hiruk pikuk Ibu Kota Pakuan menyambut kedatangan Huasya. Begitu naik ojek daring Huasya langsung mengenakan maskernya, satu alasan karena dia tak ingin menghirup debu dan karbon, satu lagi alasan lain adalah karena videonya dengan Mayor Dipta masih terus tersebar luas. Sedia payung sebelum hujan ada baiknya, bukan?

Sesampainya di kosan, Huasya segera menyapu dan mengepel kamarnya yang seminggu ditinggal. Ia kadang tak habis akal, mengapa kamar kosan kecil yang cukup tertutup ini bisa penuh debu. Alhasil, Huasya harus membersihkannya padahal ia ada jadwal bimbingan dengan Prof. Nina. 

Sembari membersihkan kamar, Huasya memasang radio saluran berita. Jika terlalu sunyi rasanya ia akan tiba-tiba mendengar suara aneh. Namun jika terlalu ramai juga rasanya ia akan tiba-tiba pusing karena bising. Memasang radio dengan volume kecil cukup membuatnya tenang sambil menambah wawasannya pagi ini. 

“UC- Universal Consortium yang dipimpin Faraha Nami kembali dicurigai PBB telah menyelundupkan senjata ke Timur Tengah. Penyelundupan senjata berkedok bantuan perang ini semakin memperkeruh perang di Timur Tengah. Bertambahnya senjata tentu memperkuat kelompok-kelompok militan untuk saling menyerang dan mengakibatkan banyak korban warga sipil terbunuh. Namun UC secara tegas membantah tuduhan tersebut. Anggotanya yang berisi elit global pengusaha, tokoh politik, hingga cendekiawan itu tetap mengklaim kapal yang mereka kirim berisi bantuan kemanusiaan bukan senjata perang. Mereka menyatakan bantuan ini bentuk Corporate Social Responsibility jaringan perusahaan tambang, pariwisata, hingga bisnis penelitian dan pengembangan antariksa milik mereka.” 

“Pantesan!” Huasya tetiba teringat percakapan Dipta dan Radit. “Haduh, cara UC kok aneh mainnya gitu,” Huasya berdesis. 

“Namun di tengah kecurigaan tersebut, Chief of UC Faraha Nami dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia dan menemui Sekretaris Jenderal Republik Indonesia- Hadi Prasetyo untuk membahas investasi pertambangan oleh UC di Indonesia. Untuk membahas kedatangan Faraha Nami ke Indonesia, kami sudah mengundang pengamat politik dari Universitas …” 

“Bahas investasi tambang dengan Pak Hadi? Hmm sus banget,” ucap Huasya. “Bahas investasi dengan Sekjen yang urus pertahanan?” ucapnya lagi. 

Ia mengetukkan jarinya di gagang pel. Aktivitas membersihkan kamar berubah menjadi sesi brainstorming dadakan. 

*****

Dipta disibukkan dengan perubahan jadwal Sekjen RI yang tiba-tiba. Jadwal seminggu ke depan yang sudah dirancang sejak dua bulan lalu tetiba harus diubah karena Faraha Nami ingin bertemu dengan Presiden RI. Namun karena hal ini tidak memungkinkan, akhirnya Sekjen yang akan mewakili. Jadwal Hadi Prasetyo yang sudah rapi, alhasil harus dirombak total. 

“Alamat lembur lagi ini mah,” keluh Radit. 

Dipta hanya menjawab dengan gumaman, “Hmm.”

“Mayor terlalu santai,” protes Radit. “Emangnya gak ada jadwal pribadi Minggu ini? Oh, iya, lupa! Kan, Mayor gak ada pacar, ya!” 

Radit kini menguasai seluruh perhatian Dipta. Tatapannya tidak terlalu senang. Ia kira Radit akan berhenti jika ia diam, tapi satu hal yang Dipta lupa, Radit diciptakan untuk berbicara, maka niscaya siapa pun yang menjadi lawan bicaranya, ia tidak akan tinggal diam. 

“Tapi, jangan-jangan …”

Dipta menatap sengit Radit yang terlihat berpikir keras. 

“Kejadian di Al-Amman itu bukan kebetulan? Jangan-jangan mereka yang sabotase hotel waktu itu? UC? Atas perintah Faraha Nami? Makanya mereka sekarang mau ketemu Bapak?” ungkapnya sambil menyentuh dagu seolah berjanggut. 

Seenggaknya dia masih berpikir cerdas, batin Dipta. 

“Bukannya sekarang kita harus persiapan dengan matang? Ayo! Jangan males-malesan!” 

Dipta hanya menggelengkan kepalanya, lelah menanggapi Radit dengan spesifikasi dari lahir, “suka menyimpulkan sendiri”. 

Dia yang tanya, dia yang jawab. Dia yang ngeluh, dia yang ngatain orang males. Radit-Radit … 

Namun tanpa sepengetahuan Radit, Dipta sudah menyiapkan beberapa tim elit dari batalyonnya untuk ikut berjaga dalam pertemuan besok. 

*****

Jadwal bimbingan tesis telah usai, terbitlah laporan riset ke Ndana yang harus disiapkan. Jujur saja ia cukup kesulitan menyelesaikannya. Hanya dalam waktu 30 jam mereka di sana dan sebagian besar Huasya habiskan untuk menyelamatkan diri. Namun insting keponya kali ini cukup membantu. Di petualangan menyelamatkan dirinya kemarin, untuk bisa menemukan jalan besar setelah terjebak gempa, Huasya justru banyak menemui sesuatu yang menakjubkan. Lagi-lagi nalurinya mengatakan ia tidak boleh mengatakannya terlebih dulu pada siapa pun. 

Lihat selengkapnya