“KESEL!”
“Sya! Kaget aku!” tegur Rita. “Nggak usah teriak-teriak kenapa? Untung lagi gak ada siapa-siapa.”
Keduanya saat ini berada di area diskusi perpustakaan kampus. Huasya yang sedari pagi sudah tidak baik mood-nya membuat Rita ikut terganggu.
“Kenapa, sih? Ada apa?” desak Rita.
Huasya hanya menghela napasnya dengan keras. Rita sudah lelah. Sedari pagi ia tanya, Huasya enggan menjawabnya. Dalam hati Huasya terus mengumpat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan orang-orang yang tiba-tiba menyerbu akun pribadinya. Ada ribuan orang yang menunggu ia konfirmasi mengikuti akun Huasya. Namun yang paling membuatnya kesal adalah mengapa foto yang diambil paparazi amatir kemarin pagi sangat jelek! Ia memakai kacamata hitam yang lumayan besar memang, tapi mengapa ia jadi terlihat semakin pesek! Parahnya mengapa ia harus ditandai dalam unggahan itu.
“Eh, Sya!” panggil Rita. “Kamu ngikutin berita UC yang dateng ke Indonesia itu, nggak?”
Huasya mengangguk lemah.
“Kamu udah baca belum, UC bahas apa aja sama Pak Sekjen?”
“Baca dari berita sih, katanya soal investasi pertambangan. Protes juga soal pembatasan ekspor. Di awal mereka maunya kita tetep ekspor mentahan nikel, aspal, batu bara. Tapi sekarang kan, udah dibatesin. Bahkan nikel tuh udah dilarang. Jadi ya, gitu. Ngelobi lah intinya, mungkin perlu juga yang murah buat bahan baku senjata. Kan katanya mereka produsen senjata juga,” jelas Huasya malas.
“Terus hasilnya?” kepo Rita.
“Nggak tahu! Mungkin cuma dibolehin bikin pabrik di sini buat ngolah hasil tambang.”
“Tumben banget kamu lemes bahas beginian? Biasanya juga paling semangat 45!” damprat Rita yang jengah.
“Tapi yang paling menarik perhatian aku sih, pas waktu Mayor Dipta diminta kerja sama Chief of UC-nya. Gila sih, keren banget kalau sampe elit global aja tahu dan mau ngerekrut dia," lanjut Rita.
“Kenapa kamu harus ceritain dia, sih?” geram Huasya.
Huasya menjatuhkan kepalanya ke meja. Ia benar-benar dibuat kesal setengah mati oleh foto jeleknya yang tersebar. Ditambah lagi, sekarang tahu bahwa sejauh itu jaraknya dengan sang idola, bagai bumi dan langit. Dipta rupawan, dia tidak.
Bagaimana bisa ia mengembalikan suasana hatinya dengan mudah? Rusak sudah hari ini.
Hal yang menyentuh aspek paling membuatnya rendah diri di sepanjang hidupnya adalah aspek penampilannya. Mendapat julukan si mancung di zaman sekolah membuatnya cukup sensitif dengan masalah penampilan.
Seberapa keras ia mendandani dirinya, seberapa banyak keluarganya memujinya, tidak bisa menghilangkan keraguan itu. Ia tahu ia menarik, terbukti dari pujian Pratiwi selama KTT. Tapi, di usia yang sudah lewat seperempat abad ini, dan fakta ia masih melajang, mau tak mau memaksanya menilai dirinya sendiri. Di zaman likes unggahan saja bisa membuat manusia overthinking, Huasya juga tak terkecuali.
Pertanyaan “apakah aku tidak cukup cantik untuk menarik perhatian lawan jenis?” menjadi sebuah isu yang tidak mudah diuraikan.
Satu hal yang membuat Huasya kuat sampai hari ini dengan memori kurang baiknya soal penampilan adalah fakta bahwa rasa tak aman dengan kehidupan zaman ini dirasakan setiap manusia. Tidak ada pengecualian. Jadi, perasaan bahwa ia tidak sendirian mengalami hal ini setidaknya membuatnya berpikir bahwa suatu saat pasti akan ada yang menerima dia apa adanya. Meskipun tak yakin kapan, di mana, apakah seseorang yang ia harapkan atau bukan, setidaknya ia masih memiliki harapan.
*****
Rusuh. Begitulah kira-kira keadaan ruang rapat di Kantor Sekjen RI. Mereka semua dibuat sibuk mencari tahu kebenaran berita yang sekitar setengah jam lalu mereka terima lalu karenanya semua pejabat tinggi kesekretariatan dan pertahanan negara dipanggil untuk rapat darurat.
Di ruangan telah hadir para jendral dari tiga matra, anggota dewan bidang pertahanan, dan para pejabat dari sekretariat RI.
Riuh obrolan para pejabat tinggi itu seketika terhenti saat Dipta membuka pintu dan menyilakan Sekjen RI Hadi Prasetyo untuk masuk ruang rapat. Hadirin pun berdiri menyambut kedatangannya. Beberapa langsung menyalami Hadi untuk bertanya kebenaran berita yang mereka terima.
“Silakan duduk,” ucap Dipta tegas.
Seluruh anggota rapat pun segera menduduki kursinya masing-masing yang melingkari meja rapat.
“Langsung saja,” titah Hadi.
Dipta segera menghubungkan tablet PC-nya ke proyektor ruang rapat, dan semua mata tertuju pada proyektor yang kini menampilkan informasi yang mereka tunggu.
“Berita kematian Chief of UC sudah diverifikasi oleh pihak UC. Wakil Faraha Nami, yaitu Amose membenarkan bahwa Faraha Nami telah meninggal,” Dipta menekan pointer.
Slide selanjutnya menampilkan foto Faraha Nami yang segar bugar.
“Ini foto terakhir keberadaan Faraha Nami, dia sedang menuju ke bandara setelah bertemu Bapak Hadi. Setelah dia naik pesawat kemudian sampai, jejaknya pun menghilang.”
“Lalu, kenapa Indonesia jadi terbawa-bawa dalam kasus ini? Bukannya sudah jelas mereka sudah tidak di Indonesia?” tanya salah seorang jendral.
Hadi mengangguk memberikan Dipta izin untuk menjawabnya.
“Ini karena Amose tidak menyatakan secara jelas penyebab kematian kematian Faraha Nami.”
Dipta kembali memindahkan halaman presentasinya.
“Ini dia beberapa teori konspirasi liar yang berkembang di media sosial secara real time.”
Semua hadirin langsung mengamati dan mencatat apa yang hendak dijelaskan Dipta.
“Kegagalan Faraha Nami melobi Indonesia untuk menandatangani kesepakatan investasi ekspor hasil tambang mentah dari Indonesia. Masalah ini sangat krusial bagi UC sehingga mereka sudah tidak butuh lagi ketua mereka yang tidak kompeten-”
“Maka dari itu mereka menyingkirkan Faraha Nami,” ucap Hadi mengambil alih.
Dipta segera mengambil posisi duduk di kursi belakang Hadi.
“Tetapi masalahnya saat ini adalah, bukan lagi pada penyebab kematian Faraha Nami. Namun apakah benar Indonesia terlibat? Pernyataan Amose yang ambigu soal ketuanya meninggal sepulangnya dari Indonesia, seolah Indonesia meracuni atau bahkan menembaknya.”
“Tapi untuk apa? Indonesia bahkan berhasil mempertahankan kebijakan dan prinsip kita untuk tidak setuju dengan ekspor barang mentah. Kita tidak punya motif untuk menyerangnya,” kini Silmi- anggota dewan yang bertanya.
Hadi memberikan kode lagi kepada Dipta. Gegas Dipta menggulirkan lagi halaman presentasinya.
“Spekulasi ini muncul karena gosip Indonesia diserang secara fisik dan siber oleh UC. Dan kematian Faraha Nami adalah balas dendam Indonesia terhadap mereka,” Dipta menjelaskan lagi. “Beruntungnya pihak kami tadi langsung berkoordinasi dengan Istana sehingga saat wawancara door stop Presiden, beliau sedang ada di luar kota, bisa langsung membantah tuduhan itu. Jadi sementara ini, Indonesia sudah menunjukkan dengan jelas sikap tegas terhadap tuduhan itu.”