Gea memindai Huasya dari atas sampai bawah, yang hari ini terlihat sangat berbeda. Sejak lima menit lalu, mereka sudah sampai di depan gedung auditorium salah satu universitas swasta bergengsi di Kota Dayo. Seharusnya mereka segera masuk untuk menonton konser orkestranya. Namun Gea malah menghabiskan waktu mereka di tempat parkir.
“Cakep, Sya! Hari-hari dandan begini terus napa!” Gea akhirnya bersuara.
“Dari tadi lihatin aku dari atas ke bawah, dari bawah ke atas cuma buat muji aku terus abis itu jatohin lagi?”
Gea mengangguk senang.
“Iya! Suka-suka, dong!” Gea melengos.
“Tapi ini udah jam berapa! Kita bisa telat! Ayo, cepet!” Huasya menarik lengan Gea.
Mereka tergesa saat memasuki aula konser. Huasya memindai barisan mana yang baru saja ditunjuk oleh panitia acara. Saat ia sudah menemukan barisannya lalu hendak menarik Gea lagi, tiba-tiba wajah tak asing membuatnya kembali menoleh lagi ke atas, posisinya yang ada di bawah dekat panggung membuat para penonton yang sudah duduk bisa dengan leluasa memperhatikan mereka. Kesempatan itu ternyata tak dilewatkan oleh seorang Dipta Bramantya yang saat ini sudah duduk manis bersama kedua bocah yang familiar bagi Huasya.
Di samping Boy, jika Huasya tak salah mengingat, ada seorang wanita cantik yang terlihat sangat mirip dengan Dipta.
Itu pasti kakaknya, tebak Huasya.
Menyadari bahwa ia sedang diperhatikan Dipta sontak menabuh genderang jantungnya. Terlalu cepat aliran darah di tubuhnya menyebabkan efek samping pipi memerah.
“Sya! You okay? Nggak demam, kan? Kok, tiba-tiba merah gitu muka kamu?” tanya Gea cemas.
“Nggak apa-apa, kok! Ayo, kursi kita di sana!”
Huasya menggandeng lagi tangan Gea untuk menuju kursi mereka. Beruntungnya Huasya adalah kursi mereka tidak berdekatan. Mereka terpisah oleh dua baris kursi. Dipta di kursi barisan ketiga, sementara Huasya di kursi barisan keenam. Jarak mereka cukup jauh dan Huasya lega, karena tak perlu menyapanya. Ini tempat ramai, bisa berabe kalau banyak yang memfoto.
Tak lama setelah duduk, alunan musik pun langsung menggema di seluruh penjuru aula. Huasya langsung hanyut dan terserap ke dalam musiknya. Kali ini karya The Scottish Symphony dibawakan dengan empat bagian, dimulai dengan Overture Egmont, Op. 34-nya Beethoven dan ditutup dengan Symphony No. 3 in A Minor Op. 56 dari Mendelssohn.
Saat konduktor melakukan bow, semua penonton memberikan tepuk tangan meriah sambil berdiri. Begitu pun Huasya yang sangat bersemangat melakukan applause hingga tangannya memerah. Suguhan musik yang indah luar biasa tak ayal membuatnya lupa siapa yang tadi dilihatnya.
Kalau saja tidak ada yang memanggilnya usai sesi apresiasi, Huasya sepertinya tidak akan ingat hal ini.
“Kakak!”
Seorang bocah berseru pada Huasya saat hendak keluar auditorium. Huasya menoleh dan melihat senyum lebar dua bocah lucu itu. Tak berdaya mengabaikan dua anak kecil yang sangat lucu, Huasya putuskan untuk menunggu kedua bocah itu menghampirinya.
“Hai, cantik dan ganteng!” seru Huasya ramah.
“Halo, Kakak! Nonton uga?”
“Iya, nonton juga, hehe.”
“Ini siapa, Sayang? Halo,” sapa ibunya.
“Halo, Kak. Saya Huasya, rekan Mayor Dipta.”
Huasya menjulurkan tangannya lalu disambut baik.
“Saya Ibunya Boy dan Bunga, panggil Mira aja.”
“Kak Mira,” Huasya menyambutnya. “Pak Mayor,” lalu Huasya beralih.
Dipta tak berniat salaman dengan Huasya, ia hanya mengangguk tipis untuk membalas sapaan Huasya. Mungkin kesal karena dipanggil "Pak".
“Ke sini bareng pacar?” tanya Mira tanpa tedeng aling-aling.
“Enggak, Kak. Saya ke sini sama temen,” Huasya berkata sambil menoleh ke Gea.
Terlihat Gea sedang berbincang dengan salah satu pemain biola dari Dayo Philharmonic. Ia pun melambaikan tangannya mengisyaratkan akan segera menghampiri Huasya.
“Jomblo berarti?” Mira kembali bertanya.
Huasya mengusap-usap punggung tangannya lalu tersenyum membenarkan dugaan Mira.
Mira kemudian beralih menatap Dipta sambil berjinjit membisikkan sesuatu, sementara Huasya fokus pada Bunga dan Boy.
“Kakak bantu kamu cari tahu soal masalah kamu yang satu ini.”
Dengan sumringah, Mira segera mengajak Huasya untuk makan malam bersamanya.
“Enggak apa, Kak. Nanti ngerepotin,” tolak Huasya.
“Ih, nggak apa-apa, Sya. Kakak mau kenal sama Huasya. Kok bisa akrab sama dua krucil ini?” bujuk Mira.
Huasya yang tadi sudah memperkenalkan Gea kepada Mira dan Dipta, kini meminta bantuan Gea dengan matanya untuk menolak dengan sopan ajakan Mira. Namun sayang, bukannya menolong, Gea justru mendorong Huasya pergi.
“Kamu sama Kak Mira aja ikut ya, Sya. Aku abis ini mau ketemu anak-anak philharmonic, ada temen kampusku dulu juga. Nanti kamu bosen kalau ikut aku.”
Huasya membelalak mendengar penuturan Gea.
“Ge …” geram Huasya.
“Kesempatan emas, Sya,” bisik Gea. “Oke, kalau begitu saya pamit ya, Kak Mira, Pak Mayor. Dadah, Huasya!”
Dengan wajah tanpa dosanya Gea pergi meninggalkan Huasya setelah mencubit pipi Bunga dan Boy dengan gemasnya.
Huasya yang ditinggal hanya bisa tersenyum simpul dengan kikuk. Kali ini, tak ada jalan keluar lagi. Satu-satunya jalan hanyalah ikut mereka makan malam. Berharap saja ini takkan berjalan lambat.
*****
“Ayo, Sya! Dimakan dong steak-nya,” desak Mira.
“Iya, Kak. Terima kasih banyak,” Huasya tersenyum tulus.
Jujur saja Huasya tak biasa makan di tempat fine dining seperti ini. Meskipun sebenarnya bisa saja ia membiasakan diri karena ia juga punya cukup uang, tapi sungguh setiap datang ke tempat seperti ini ia sudah terintimidasi duluan. Entah karena getaran dekorasi restorannya, orang yang datang, atau karena daftar harga di bon yang mencapai jutaan rupiah.
Tolong perut, bekerja samalah denganku, Huasya memelas.
“Kenapa?” tanya Dipta.
“Mas, perut saya lagi nggak kondusif. Saya udah gak bisa habisin makanannya, maaf …” bisik Huasya memilih jujur.
Tentu saja ia merasa tak enak kepada Mira. Namun, kali ini pencernaannya benar-benar tidak baik. Biasanya ia bisa menghabiskannya meski tak biasa makan di tempat mewah seperti ini. Hanya saja, kali ini karena ia makan bersama Mira yang mana adalah kakaknya Dipta, sungguh membuat jantung Huasya tak karuan sejak di tempat konser. Alhasil metabolisme tubuhnya ikut terganggu.
“It’s okay, nggak apa-apa. Sini, biar saya habiskan,” ujar Dipta santai.
Interaksi mereka berdua tak luput dari perhatian Mira. Melihat Huasya yang tak habis memakan makanannya justru membuat Mira senang. Ini berarti adiknya punya harapan besar. Begitu pun dengan Dipta yang mau menghabiskan bekas makanan Huasya, menunjukkan bahwa Dipta sebenarnya sudah meruntuhkan batas kata "rekan" sejak lama.
“Santai aja, Sya. Gak apa-apa, kok. Awal-awal juga kakak sering begitu. Nggak enak perutnya, kan?”
Meski agak ambigu dengan kata “awal” yang dimaksud Mira, tetapi Huasya tetap mengangguk.
“Maaf ya, Kak Mira …” sesal Huasya. “Nanti aku split bill-nya aja, Kak.”