Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Huasya baru saja hendak naik ke tempat tidur. Hari Senin benar-benar membuat tubuhnya lelah, mentalnya lelah. Semua karena pengumpulan data tesisnya yang menguras tenaga dan mentalnya, serta teka-teki UC yang terus terngiang di benaknya. Ia butuh tidur. Namun belum sempat ia memejamkan matanya, tiba-tiba Rita meneleponnya.
“Halo, Ta. Kenapa?” tanya Huasya sambil menguap.
“Sya, Abah masuk rumah sakit,” terdengar isakan di sebrang telepon.
“Papa kamu?”
“Iya, Sya … aku minta maaf ganggu kamu malem-malem, tapi aku mau minta tolong sama kamu, biaya rumah sakit Abah kurang, kalau kamu ada-”
Huasya langsung memotong ucapan Rita, “Rumah sakit mana? Share loc, Ta! Sekarang aku ke sana.”
Huasya yang tidak pernah mendengar suara Rita yang sepanik itu, tak mungkin membiarkannya begitu saja. Rasa kantuknya tiba-tiba hilang tergantikan pikiran masalah Rita. Apa pun yang ia bisa bantu, akan ia bantu.
Setelah mendapat share loc dari Rita, Huasya segera memesan ojek online. Meski hampir tengah malam, ibu kota tetaplah ramai. Menggunakan sepeda motor pasti lebih cepat. Lagipula lokasi rumah sakitnya tak jauh dari kampus yang berarti juga tak terlalu jauh dari kosan Huasya.
Turun dari motor, Huasya berlari menuju ke koridor yang Rita informasikan. Ia sempat dihadang oleh tim keamanan di lobi, tetapi saat ia bilang akan membayar tagihan temannya sang petugas memperbolehkan Huasya masuk dengan kartu pendamping pasien.
Rita yang sedang duduk di kursi tunggu langsung berdiri dan memeluk Huasya.
“Makasih, Sya … makasih udah datang,” ucap Rita di sela tangisnya.
“Ada apa? Abah kamu sakit apa?” Huasya sangat cemas.
“Kena serangan jantung. Cuman tadi uangku dan uang Umi nggak cukup, aku bingung minta tolong ke siapa,” Rita sesenggukan.
“Ini, pakai dulu uangku. Uang hasil aku proyek penelitian kemarin, sama uang beasiswaku ada di sini. Kamu pake dulu,” Huasya menyerahkan ATM-nya.
Rita menolaknya, “Aku butuh 15 juta lagi, Sya.”
“Ada kok. Ini cukup,” Huasya tersenyum tulus.
“Nanti aku ganti-”
“Iya, gampang. Kamu boleh ganti nanti, nyicil juga gak apa-apa, santai. Sekarang pake dulu aja, tenang, ya!”
Rita menggenggam erat tangan Huasya.
“Sama kamu aja langsung, yuk!”
Huasya setuju. Mereka langsung menuju ke loket pembayaran biaya rawat inap, obat, dan penanganan Abah Rita. Usai Huasya menggesek kartu debitnya, ia pun duduk di kursi tunggu, sementara Rita menandatangani berkas-berkasnya.
Huasya mengeluarkan ponselnya lalu memfoto loket rumah sakit, tanpa Rita tentunya. Ia mengunggahnya di status EG, lalu melabeli tempat Rumah Sakit Pertahanan. Selesai mengunggah, Rita sudah selesai dengan berkasnya dan mereka berdua langsung menuju apotek.
*****
Malam ini Dipta akan mendapat jadwal off piket. Setelah mengisi berita acara hari ini ia langsung pamit pada Hadi. Saat ini Hadi sedang di ruang perawatan pascaoperasi. Hadi baru saja menjalani operasi minor di Rumah Sakit Pertahanan. Dipta memberikan arahan kepada tim keamanan, lalu setelah memastikan semua aman, waktunya ia pulang.
Saat berjalan di koridor ia iseng membuka aplikasi medsosnya kemudian melihat status paling kiri adalah milik Huasya. Saat membukanya, ia melihat lokasi yang familiar selama hampir sepekan ini ia bertugas di rumah sakit. Ia segera menuju lift dan memencet tombol lantai 3 di mana loket yang ia kenal berada.
Ia pun mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Reply :
Kamu di rumah sakit?
Tak ada jawaban untuk beberapa saat. Dipta tak bisa menunggu, ia pun menelepon Huasya lewat aplikasi ini.
Namun juga tak mendapat jawaban.
Setelah sampai di lantai 3, Dipta segera menuju loket yang ada di unggahan Huasya. Tetapi hasilnya nihil, Dipta tak jua menemukan yang dicarinya.
Sampai sebuah notifikasi muncul dan hanya mengatakan, “Iya lagi di rumah sakit,” membuat Dipta semakin memutar otaknya.
Dipta putuskan untuk bertanya pada suster di loket pembayaran.
“Permisi, Mbak. Lihat perempuan tadi tingginya segini?” Dipta mengangkat tangannya hingga setinggi dadanya.
“Tadi ada beberapa orang yang datang, Pak,” jawab suster yang kebingungan.
“Oke, makasih,” Dipta berbalik.
Kemudian ia memutuskan pergi ke lantai 2. Saat di lift perasaannya tidak karuan. Ia sempat mencuri dengar saat di Al-Amman bahwa Huasya tidak terlalu pandai bergaul, temannya sangat terbatas, ia hanya akrab dengan satu atau dua orang di angkatannya. Dipta memperkirakan, dengan sifatnya yang seperti itu, kemudian ia sakit, pasti ia tak akan meminta bantuan siapa pun untuk menemaninya. Terlebih lagi, kini Dipta takut terjadi sesuatu pada Huasya. Rasa ingin tahu Huasya yang tinggi tidak akan bisa diubah dalam waktu semalam, bukan?
Detik saat pintu kabin elevator itu terbuka, Dipta terkejut sekaligus lega. Ia melompat keluar.
“Huasya, kamu gak apa-apa?”
Huasya mengerjapkan matanya beberapa kali. Terkejut karena ia bisa mendapati Dipta di rumah sakit, malam-malam begini. Alasan utama lainnya ia kaget adalah usahanya menghindari Dipta gagal total.
“Saya baik-baik aja, Pak,” Huasya menjawab ragu.
“Sya, aku ke atas dulu, ya,” Rita menyadarkan keduanya. “Mari, Pak Mayor,” sapa Rita sambil berlalu.
Huasya mengacungkan jempolnya pada Rita lalu kembali pada Dipta yang masih menatapnya sebal.
Kenapa lagi mas-mas satu ini? PMS?
“Bukan kamu yang sakit?”
Tahu aku gak sakit kayanya kecewa banget, ya?!
“Bukan, Pak. Ayahnya temen saya yang sakit. Saya ke sini nemenin dia tadi,” jelas Huasya. “Bapak sendiri malem-malem di sini ngapain? Kayanya kelihatan sehat-sehat.”
“Baru selesai kerja,” jawab Dipta singkat, padat, dan jelas.
Mulut Huasya membentuk O sempurna. Tak tertarik dengan pekerjaan Dipta yang sudah pasti selalu rahasia itu.