Malam di musim kemarau memang tak pernah ramah. Angin kencang, udara kering, dan suhu turun drastis, lengkap sudah pemicu alergi Huasya. Ia berlari bersama Rita menuju kamar kosnya. Untungnya mereka sudah membeli semua makanan sebelum waktu semakin malam.
“Udah, Ta, nginep aja di sini, ya! Tanggung gak sih, sekalian ngerjain tesis di sini barengan?” bujuk Huasya.
“Oke, deh! Tapi nanti bantuin cari literatur buat bab tiga, seriusan aku masih bingung mau pake metode apa,” keluh Rita.
Setelah banyak berbincang dan kini makan malam mereka sudah tandas, Huasya dan Rita kembali larut dalam pemikirannya masing-masing di hadapan komputer jinjing mereka.
Fokus Huasya sepertinya tidak pada dokumen yang sedang terbuka jendelanya di laptop, karena pandangannya menerawang jauh.
“Woy! Jangan melamun, nanti kesambet!” Rita membawa kesadaran Huasya kembali.
“Aku cuma lagi mikir, Ta …” ujar Huasya.
“Mikirin Mayor Dipta?” todong Rita. “Enggak usah ngeles, deh! Kamu nggak tahu emangnya kemaren pas Mayor Dipta ke kampus, gosip kamu sama Mayor Dipta udah rame di forum kampus?”
Huasya membelalakan matanya. Ia tidak pernah update berita apa pun di forum kampus. Ia hanya sesekali membukanya untuk mengecek unggahan kalender akademik. Selebihnya ia tidak pernah berinteraksi dengan teman-temannya lewat forum. Sudah ada aplikasi pesan instan, kenapa harus repot pakai aplikasi yang lain? Begitu katanya.
“Jangan bilang kamu gak tahu sama sekali kamu udah jadi topik hangat?!” Rita menatap tak percaya.
Huasya mengangguk lemah. Wajahnya seketika memucat.
“Jujur aja, semenjak beberapa kali kamu terlibat sama masalah KTT itu, kamu jadi sering interaksi juga sama Mayor Dipta, kan? Kamu kan, yang sekarang ramai di-post di EG juga? Bukan awal pas makan itu, itu aku tahu, tapi pas lari bareng?”
“Kamu tahu, Ta?” cicit Huasya.
“Tahu, lah! Kamu kira aku nggak bisa ngenalin kamu meskipun pake kacamata?”
Huasya menunjukkan senyum lebar tanpa dosanya.
“Terus, tanggapan orang-orang gimana? Bagus atau jelek kaya di EG? Kaya bilang aku nggak pantes lah, atau aku jelek lah, jauh banget dibanding mantannya lah?”
“Mereka lebih ke iri aja sih, Sya. Secara kamu top tier kampus, terus Mayor Dipta juga kan tentara berprestasi. Kaya, ‘ya, pantes aja lah, orang-orang begitu se-circle’, kaya gitu,” Rita menjelaskan.
Huasya menghela napas kasar.
“Kamu tahu, Mayor Dipta tuh, kemaren bilang ke aku kalau aku tuh, sama aja kaya yang lain. Ini maksudnya apa, sih? Kaya, aku gak tahu apa-apa, tiba-tiba dia bilang gitu?”
“Kok bisa dia bilang gitu, emang sebelumnya ada apa antara kamu sama dia?” Rita mencoba mengidentifikasi masalah Huasya.
“Emang sih, sebelumnya dia sempe chat gitu, reply status aku. Dia ngucapin selamat, padahal yang tunangan kakak sepupuku. Kamu lihat kan, statusnya?” Huasya mendekat pada Rita.
Rita menjentikkan jarinya.
“Aku paham,” Rita menjentikkan jarinya. “Dia pasti ngira kamu udah tunangan,” imbuh Rita.
“Tapi kenapa dia ngatain aku sama kaya yang lain? Terus kenapa pula dia tersinggung?” Huasya semakin nanar.
“Kayanya sih, kayanya ya, Sya! Dia cemburu, tuh!” goda Rita. “Tapi disclaimer dulu kalau dia bilang kamu sama kaya yang lain tuh, mungkin karena ada trauma masa lalu atau apa gitu. Kaya di film-film, Sya.”
Huasya termenung. Ia tak berharap lebih awalnya. Namun jika Huasya tarik semua kejadian yang pernah ada di antara mereka, rasanya tidak berlebihan mengatakan sang mayor ada rasa tertarik dengannya.
Rita kemudian berselancar di aplikasi jelajah informasi terbesar di dunia. Ia mengetikkan berbagai kata kunci yang akhirnya membawanya pada sebuah artikel gosip.
Artikel gosip yang Rita tunjukkan tak lain mengenai Dipta Bramantya dan tunangannya, atau lebih tepatnya mantan tunangannya. Ternyata Dipta pernah bertunangan dengan seorang gadis cantik yang kini telah menjadi dokter bernama Cantika. Mereka membatalkan pernikahan dengan alasan perbedaan kesibukan yang sangat besar. Itu klaim dari beberapa akun di media sosial yang dirangkum di artikel gosip ini.
Rita pun mengganti jendela komputernya ke aplikasi EG desktop. Ia pun mengetikkan nama lengkap Cantika hingga muncul akun yang terkait. Ketika dilihat memang tidak ada yang aneh, hanya akun Extragram seperti biasanya. Foto bersama teman, bersama keluarga, dan seputar aktivitas pekerjaannya sebagai seorang dokter. Sampai pada swafoto Cantika bersama gadis cantik sebaya Huasya dan Rita.
“Tunggu!” Huasya meminta Rita stop menggulirkan layar. “Ini temen SMA-ku. Nggak sekelas, tapi aku satu angkatan sama dia. Pernah karantina lomba bareng sama aku, ini Lani.”
Bola mata Rita membulat sempurna.
“Ternyata bener, ya! Kalau kita kenal A, si A pasti kenal si B, terus si B kenal si C terus si C kenal kita. Dan kali ini, C, for temen SMA kamu, Lani?” ucap Rita fasih. “Dia sepupunya kayanya, Sya.”
Huasya melihat unggahan mereka dengan seksama. Ia tahu Lani adalah salah satu most wanted girl yang ada di SMA-nya. 4B jika anak-anak sekarang bilang, Brain, Beauty, Behaviour, dan Brave ada dalam diri Lani. Pantas saja jika sepupunya juga tak jauh berbeda dengannya. Tak heran pula jika Mayor Dipta standar mantan calon istrinya seperti itu.
“Kalau standarnya dia kaya gitu, mana boleh aku GR?” Huasya melemas.