MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #17

Bab 17 : Terlibat dengan Hafiz

Huasya mematut dirinya di depan cermin ruang rias. Ia benar-benar pucat setelah mendengar berita tadi. Jika perkiraannya kali ini tidak meleset, Huasya pasti akan dipanggil oleh kampus untuk memberikan keterangan. Ada rasa khawatir, tapi lebih kepada keamanan dirinya yang saat ini terancam. Ia tidak khawatir soal akan terbawa oleh kasus ini atau dicurigai sebagai anak buah dari Hafiz karena ia bekerja normatif. Hanya saja, apakah ia akan aman setelah ini? Ia menjadi saksi kunci yang juga tahu data penelitian yang diinginkan UC. 

Ia meyakinkan dirinya untuk tidak panik. Ia yakin ia akan baik-baik saja. 

Bismillah.

Setelah mengafirmasi kata-kata positif, Huasya segera keluar untuk naik panggung. Ia tetap bersikap profesional. Hari ini tugasnya menjadi seorang master of ceremony maka ia harus melaksanakannya dengan sebaik mungkin. 

Pengarah produksi sudah memberikan kode kepada Huasya untuk naik panggung bersama seorang rekannya. Mereka memimpin jalannya acara pembukaan hari ini dengan sangat luwes dan profesional. Candaan yang mereka lontarkan satu sama lain di atas panggung juga ikut mengundang tawa para hadirin sehingga mencairkan suasana. Mereka sudah di-brief oleh ketua tim untuk bersikap santai untuk menenangkan para peserta yang pasti juga sudah tahu mengenai berita pagi tadi. 

Sampailah di acara puncak pembukaan, yakni pembukaan secara resmi oleh Sekjen RI, Hadi Prasetyo. Setelah mempersilakan Hadi berpidato mereka mengundurkan diri ke sisi panggung. 

Huasya menangkap sosok Dipta yang tampil gagah dan tampan mengenakan pakaian dinas upacara tentara angkatan daratnya. Berciri khas jas hijau dan celana hijau panjangnya, sempurna, pikir Huasya. Dipta menatap Huasya lalu mengatakan sesuatu tanpa bersuara. 

“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Dipta hanya dengan gerak mulutnya. 

Jarak mereka yang tidak terlalu jauh tentu membuat Huasya bisa memahami perkataan Dipta dengan jelas. Huasya mengangguk dan tersenyum simpul. 

I’m okay,” sambil mengacungkan jempolnya. 

Tibalah saat Hadi untuk memukul gong. Huasya sigap menyerahkan pemukul gong kepada Dipta yang sudah siap sedia di sisi Hadi. Namun saat Huasya melangkah, entah kenapa tiba-tiba tangannya melemah dan hampir saja membuat pemukul terjatuh ke lantai panggung. Untungnya sebelum hal itu terjadi, Dipta bergerak cepat menangkisnya. 

Setelah menyerahkannya kepada Hadi, lalu dikembalikan lagi oleh Hadi kepada Dipta, bukannya menyerahkan pemukulnya pada Huasya, Dipta justru membawanya sendiri ke bawah panggung. Saat Huasya juga turun untuk memberikan waktu pada Hadi menutup pidatonya, Dipta menghampiri Huasya. 

Tanpa pemberitahuan apa pun, Dipta menyentuh tangan kanan Huasya yang sedang dikepal-kepal untuk mengumpulkan kekuatan. Dipta menggenggam punggung tangan Huasya erat, seolah menguatkan Huasya. 

Diperlakukan istimewa oleh Dipta seperti ini membuat Huasya lebih tegar, seolah divalidasi bahwa ia akan baik-baik saja apa pun yang terjadi. 

Huasya menatap Dipta dengan mata yang berkaca-kaca lalu mengucap tanpa suara, “Terima kasih.” 

Kala itu pula Huasya menyadari, mata Dipta tidak hanya memiliki sisi yang menakutkan sebagai prajurit, tetapi juga bisa meneduhkan, yang tanpa berkata pun, Huasya tahu Dipta ada untuknya. 

*****

Huasya langsung berkemas begitu acara selesai karena baru saja ia mendapat telepon dari Profesor Nina untuk segera datang ke kampus. Kini ia benar-benar harus terlibat langsung dengan masalah ini. Di sisi lain, ia juga lega karena akhirnya bisa bebaskan beban menyimpan apa yang diketahuinya untuk diceritakan kepada orang lain. 

Ya, Huasya akan coba berpikir sisi positifnya saja. 

Sakti cemas melihat Huasya yang terburu-buru pergi dan menyerahkan pekerjaannya kepada Sakti. 

“Beneran gak perlu dianter?” tanya Sakti untuk kesekian kalinya. 

“Nggak usah. Nanti kalau nganter aku, siapa yang handle di sini?” 

Melihat Sakti yang masih dengan air muka khawatir maksimal, Huasya tersenyum yakin, untuk menenangkan Sakti. 

“Jangan gitu deh, aku jadi takut kalo kamu ngeliatinnya kaya gitu. Kan, aku cuma mau diminta cerita aja sama Dewan Kehormatan kampus.” 

Sakti mengangguk berkali-kali seperti burung kutilang. 

“Oke, aku pamit, ya! Semangat!” ucapnya pada Sakti. 

Begitu Huasya keluar dari ruang rias, ia melihat Dipta sedang bersama Hadi di koridor. Huasya melihatnya sekilas lalu segera pergi. 

Sementara Dipta yang mengetahui Huasya sudah berlalu, akhirnya menoleh untuk melihat punggung gadis itu. Ia hanya berharap Huasya bisa tegar dan berani melalui masalah ini. 

***** 

Ruang Dewan Kehormatan yang biasanya terlihat mewah dan mengesankan, kini berubah menyeramkan dan menegangkan. Ternyata benar, bukan perkara di mana kamu berada tapi tentang apa yang kamu rasakan akan membuat kamu menikmati sebuah tempat. 

Lihat selengkapnya