MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #18

Bab 18 : Tangis Huasya Pecah

Rengkuhan Dipta terasa lembut namun juga kokoh untuk menopang Huasya yang sedang sangat rapuh. Meski tak ada penolakan dari Huasya, namun tubuhnya seketika menegang kala tangan Dipta menyentuh lengannya yang berbalut kemeja katun. Ia yang biasanya antimenangis apalagi di hadapan orang yang tak begitu dekat dengannya, yang tadinya terisak kini berubah menjadi tangis nyaring bak anak kecil. Huasya menunjukkan dengan sangat terang-terangan bahwa ia sedang di titik terlemahnya. 

“Aku biasanya nggak nangis gini, apalagi di depan orang yang gak deket sama aku,” ujar Huasya di sela tangisnya. 

Dipta hampir menyemburkan tawanya mendengar Huasya bicara seperti itu. 

“Bukannya ini ketiga kalinya kamu nangis di depan saya?” tanya Dipta tanpa ragu. 

Ajaibnya pertanyaan Dipta secara spontan menghentikan tangisan Huasya. 

“Masa?” tanyanya sambil mengesak dari rengkuhan Dipta. 

“Pertama di Al-Amman pas saya jemput kamu di hotel, kedua pas di Ndana, seingat saya kamu nangis sampe melengking karena panik. Penampilan kamu lebih kacau dari ini. Dan sekarang jadi yang keti-” 

“STOP!” pekik Huasya. 

“Maaf,” ucap Dipta segera. 

“Karena Mas di sini ngehibur aku, aku maafin,” ujar Huasya dengan sisa sesenggukan. 

Dipta meraih kotak tisu dan mengambil dua lembar untuk diberikan kepada Huasya. 

“Bukan cuma untuk yang barusan,” lagi Dipta menatap Huasya dalam. 

Tatapan Dipta yang penuh perhatian menunjukkan seberapa langka pemandangan yang Huasya dapatkan kini, hingga tak rela mengedip untuk sedetik saja membasahi mata. 

Huasya sibuk mengelap air mata dan mengesang kemudian membersihkan ingusnya. Entah sejak kapan Huasya begitu leluasa di hadapan Dipta. Tak lagi memikirkan kesan dan citra dirinya di hadapan Dipta. Sungguh, ia sudah menunjukkan banyak sisi kelemahannya di hadapan Dipta. Untuk apa lagi dia menutupinya, bukan? Lebih baik apa adanya saja. Huasya menyerah bersikap anggun di hadapan Dipta.

“Maafin saya, bilang kamu sama seperti yang lain.” 

“Bisa kasih aku alasan, kenapa Mas bilang kaya gitu ke aku? Padahal harusnya Mas bisa lihat aku itu endemik, kaya sekarang ini,” Huasya mengomel. "Beda sama yang lain aku tuh, Mas."

“Iya, saya salah. Saya menilai kamu sesuka saya tanpa saya kenal kamu lebih jauh. Tapi sekarang saya tahu, kamu jelas berbeda sama orang lain. Kamu ya, kamu, Huasya Kartika, yang cerdas, yang berani,” jelas Dipta sambil menyentuh singkat ujung hidung Huasya.

Mendengar Dipta berkata begitu, entah kenapa hati Huasya begitu tersentuh, hingga seketika membuatnya kembali menangis. Sontak Huasya membuat Dipta panik dan ingin kembali menepuk bahunya, namun sebelum itu terjadi, Huasya sudah bersungut lebih dulu. 

“Aku nggak cerdas, kalau aku cerdas dari awal harusnya aku tahu Profesor Hafiz itu punya motif lain,” keluh Huasya sembari menerima tisu dari Dipta. “Aku tadinya cuma mau kuliah yang bener, lulus habis itu bisa lamar kerja jadi dosen. Tapi aku malah pengen hasilin banyak uang, aku seneng banget bisa jadi asisten Profesor Hafiz. Kalau dosen yang lain aku asistensi seringnya kasih sedikit. Tapi, Profesor Hafiz sering banget kasih bonus dengan pekerjaan yang gak jauh beda sama yang ditugasin orang lain ke aku. Apalagi dia baik banget sama aku.” 

Dipta mengulurkan tangannya kemudian mengusap pelan lengan Huasya. Namun Huasya malah menghentikannya dan justru menggenggam erat tangan Dipta. 

“Mas, aku nggak akan dihukum apa-apa, kan?” tanya Huasya dengan memelas. 

“Kamu terlalu banyak berpikir, Sya. Saya tahu dan yakin kamu nggak bersalah, jadi kamu nggak perlu khawatir, kamu bakal baik-baik aja,” ujar Dipta meyakinkan. “Dan saya ingin kamu selalu baik-baik saja,” lanjutnya. 

Huasya melepas genggamannya lalu kembali hanyut dalam pikirannya. 

“Tapi tetep aja, kan. Aku kayanya nanti harus kembaliin uangnya,” gumam Huasya panik. “Tapi, gimana caranya? Uangnya udah aku pinjemin ke Rita.” 

Huasya yang tadinya mengikat rambutnya rendah dengan sangat rapi kini malah mengacaknya hingga ikatan rambutnya melorot. Kacau adalah definisi paling tepat melihat keadaan Huasya saat ini. 

Dipta tersenyum tulus mendengar kekhawatiran Huasya. Namun saat hendak mengatakan sesuatu, bapak penjual pecel menginterupsi. 

“Ini makanannya,” ucapnya sambil menyajikan piring. “Minta Mas pacar gantiin aja, Neng,” goda si penjual. 

Huasya hendak meluruskan bahwa ia bukan kekasih Mayor Dipta. Namun tertahan saat Dipta tiba-tiba memegang erat pergelangan tangannya. 

Dipta yang seketika berekspresi datar itu segera merogoh sakunya, mengeluarkan dompet, dan tanpa ragu memberikan ke si penjual beberapa lembar uang ratusan ribu. Huasya heran melihat Dipta membayar puluhan kali lebih banyak dari yang seharusnya. 

“Tolong tidak foto atau video kami, Pak,” pinta Dipta yang lebih cocok disebut titah. 

Permintaannya begitu tak terbantahkan, jika melihat Dipta begini, rambut halus di tangan Huasya ikut meremang. 

“Siap, Mas!” jawab si penjual. 

Setelah penjual pecel setuju, Dipta kembali ke Huasya. Ia hendak melanjutkan ucapan yang tadi belum tersampaikan. 

Lihat selengkapnya