“Iya, Ma … maaf, besok aku nggak pulang dulu,” ujar Huasya pelan.
“Perasaan .ama nggak enak, Kak. Yakin Kakak gak apa-apa? Perlu mama sama Papa jemput?”
Orang tuanya selalu tahu dengan siapa ia berhubungan. Huasya juga pernah menceritakan Hafiz sebagai dosen yang sangat baik padanya dan menjadikannya asisten untuk beragam penelitian. Huasya tahu mamanya sedang berbicara soal kasus Hafiz.
“Kakak emang lagi ada masalah, tapi Mama tenang aja sama Papa. Nanti kalau udah beres, Kakak pasti cerita,” Huasya berusaha meyakinkan.
Namun dengan berita yang banyak tersebar di media, dan kedua orang tuanya yang selalu update terhadap berita, serta cukup peka dengan yang sedang terjadi kepada anaknya. Maka sudah dapat dipastikan mereka bisa menebak, bahwa Huasya ada sangkut pautnya dengan berita hilangnya dosen tersangka pembunuhan Chief of UC di berita-berita yang tersebar.
“Kalau Kakak udah gak sanggup, bilang! Mama jemput kapan pun Kakak mau pulang.”
Meski khawatir, namun Mona tetap memilih percaya kepada anak sulungnya. Huasya memang selalu menceritakan kisah-kisahnya, tapi ia tak pernah membuat repot orang tuanya. Mona selalu tahu Huasya sedang apa, berteman dengan siapa, atau sedang mengalami masalah apa, tetapi ia tidak pernah membebankan kedua orang tuanya. Apa pun yang dihadapi dan tantangan yang menghampiri, Huasya selalu menyelesaikannya sendiri.
Huasya yakin, terbuka kepada orang tuanya dengan membebankan masalah kepada orang tuanya adalah dua hal yang berbeda.
Usai bertelepon, Huasya kembali mematut dirinya di hadapan cermin. Hari ini ia harus ikut Profesor Nina menghadap ke Istana. Meski belum pasti akan bertemu Sekjen atau Presiden, tetapi ia diminta ikut, untuk berjaga saat ia harus memberikan keterangan secara langsung.
Atau karena mereka curiga aku bakal kabur? Huasya meralat prakiraannya.
Kali ini ia menggunakan jas longgar berwarna biru dongker yang ia padukan dengan kaus lengan pendek berkerah tinggi dan celana krem kulot. Ia juga memilih stiletto berwarna senada dengan jasnya. Ia gelung rambutnya rendah sementara beberapa helai anak rambut di dekat telinga ia biarkan begitu saja.
Aku bisa! Semangat! serunya dalam hati.
*****
Huasya baru saja sampai di kampus dan langsung disambut tatapan-tatapan tajam dari berbagai penjuru. Entah apa salahnya hingga ia harus menerima aura tak ramah seperti ini dari orang-orang yang tidak mengenalnya. Hanya sehari ia tak ke kampus dan kini sudah menjadi pusat perhatian banyak manusia kampus.
Ada apa lagi, Gusti?
Saat menyusuri koridor untuk mencapai lift karena ia akan ke kantor Profesor Nina, tiba-tiba dua manusia yang sangat dikenalnya menghampirinya dengan berlari.
“HUASYA!” panggil Rita nyaring.
“Sssttt! Gak usah teriak, Ta!” Huasya berdesis tajam. “Kamu juga Sakti, ngapain lari-lari?”
Sakti juga masih mengondisikan napasnya yang terengah.
“Sya, kamu nggak buka Y?” tanya Rita dengan napas tersengal.
“Nggak punya akunnya. Ada apaan, sih? Bikin deg-degan aja kalian, tuh!” Huasya keki melihat dua temannya.
“Oke, jadi gini,” Rita menjelaskannya.
Sejak kemarin akun-akun gosip forum mahasiswa kampus mereka di Y tiba-tiba ramai memberitakan bahwa Huasya adalah kekasih Mayor Dipta. Huasya juga dikabarkan memanfaatkan hubungannya dengan Mayor Dipta untuk membantunya keluar dari masalahnya yang saat ini berstatus saksi dalam investigasi kasus Profesor Hafiz.
Malam ketika Huasya pulang dari makan malam di pinggir jalan dekat kampus ternyata menyisakan banyak saksi. Para anggota Dewan Kehormatan dan beberapa mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang baru pulang rapat badan eksekutif mahasiswa, melihat Huasya dan Dipta sedang jalan berdua. Foto dan videonya pun sudah tersebar. Kini Huasya sudah menjadi topik hangat seluruh kampus.
Mendengar penuturan Rita membuat Huasya tak lagi heran dengan tatapan banyak manusia di kampus. Ternyata dia sudah jadi topik panas seluruh kampus, dan jadi musuh para penggemar fanatik Mayor Dipta. Siapa pula yang tak suka gosip, bukan? Benar atau salah yang penting adalah seberapa sensasionalnya gosip itu. Selama banyak yang meyakini maka gosip akan menjadi sebuah kebenaran bagi kelompok mayoritas.
“Sementara ini biarin mereka ngomong semau mereka. Pada kenyataannya gak ada yang bener, kan, dari gosip itu. Asal kalian tahu itu salah, udah cukup buat aku,” Huasya berpura-pura tenang.
Namun dalam hati sebenarnya ia sudah menjerit tak terima.
Apa pun masalahnya, pasti yang disalahkan adalah perempuan. Dunia ini emang gak pernah berubah. Buktinya kita selalu sebut orang jahat nenek lampir, bukan kakek lampir!
“Lebih baik kamu buat semacam klarifikasi, Sya. Ini menyangkut nama baik kamu,” Sakti menyarankan.
Huasya menepuk bahu Rita dan menatap kedua temannya itu secara bergantian.
“Pasti, aku udah ada ide untuk atasin ini. Makasih kalian udah ngasih tahu. Aku pergi duluan,” Huasya pun bergegas menuju lift.
Sesampainya di lantai yang dituju, Huasya mematut dirinya di kamera depan ponselnya yang tidak terlalu jernih itu.
Lalu ia merapalkan sesuatu, “Aku bisa, pasti lancar, pasti lancar, gak boleh nangis!”
Ia kemudian melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Saat menemukan pintu ruang Profesor Nina, Huasya kembali meyakinkan dirinya.
Bismillah.
Perlahan ia mengetuk pintu. Hingga suara Nina terdengar menyilakannya masuk, Huasya kemudian membuka kenop pintu dan masuk secara perlahan. Meski dalam hati ia ragu, tetapi wajah dan posturnya menunjukkan betapa percaya dirinya dia.
“Duduk, Sya. Tunggu sebentar lagi, kita berangkat,” ujar Prof. Nina.
“Prof,” panggil Huasya pelan. “Boleh saya minta tolong?”
Profesor Nina tersenyum mendengar perkataan Huasya, dilihat dari ekspresinya ia sudah menebak apa yang akan Huasya katakan.
“Pasti kamu mau minta tolong untuk publikasikan hasil investigasi kasus Hafiz, kan?”
Huasya mengangguk cepat. Ia langsung tersenyum saat mendengarnya.
“Saya tahu, hasil investigasi ini gak mungkin dibagikan seluruhnya, tapi saya minta tolong, Prof, setidaknya publik tahu sebenarnya saya tidak bersalah,” ujar Huasya dengan tenang.
“Kemari,” Prof. Nina meminta Huasya mendekat.
Ia kemudian menunjuk layar komputernya. Huasya membacanya dengan seksama. Ternyata itu adalah surat pengumuman yang akan disiarkan media kampus.
“Saya sendiri yang mengetiknya,” Prof. Nina tersenyum tulus.
Huasya hampir meneteskan air matanya. Prof. Nina menuliskan bahwa Huasya tidak bersalah dan justru memberikan kontribusi besar sehingga ditemui titik terang kasus ini. Data dan informasi yang dimiliki Huasya juga sudah sepenuhnya diserahkan kepada tim investigasi.
“Cuma ini yang bisa saya bantu. Saya nggak bisa tolong kamu untuk klarifikasi hubungan kamu dengan Mayor Dipta,” Prof. Nina menegaskan.
Ucapan Prof. Nina seketika membuat Huasya tersipu malu. Ia tahu persis masalah itu harus ia atasi sendiri.
“Ini sudah sangat membantu saya, Prof. Terima kasih banyak, setidaknya publik tidak akan menghardik saya karena mengkhianati institusi.”
Profesor Nina mengangguk paham.
Hal yang Huasya syukuri adalah masih ada orang yang berpihak padanya di kampus ini. Rita, Sakti, dan kini Profesor Nina adalah penguatnya. Ini Huasya lihat dari redaksi yang dipilih Prof. Nina, bahwa seluruh data dan informasi telah diserahkan, yang berarti Huasya tak lagi memegang data apa pun. Ini sangat menunjukkan Prof. Nina ingin Huasya aman.
Huasya terdiam sejenak untuk memikirkan apa ia harus bertanya soal kemajuan pencarian Hafiz. Namun pertanyaan itu ia urungkan karena jika ia banyak bertanya pasti akhirnya ia yang akan ditanyai banyak hal. Semakin ia ingin tahu, tim investigasi akan semakin curiga terhadapnya. Meski ia sudah dinyatakan Dewan Kehormatan tidak bersalah, tetapi tak dapat dipungkiri, Huasya masih ada dalam pengawasan mereka. Tapi Huasya tidak cemas, karena ia tahu persis ia tidak bersalah.
Satu jam kemudian
Istana Negara
Huasya sudah berada di ruang tunggu tamu Istana Negara. Ia tidak ikut masuk ke dalam tetapi diminta menunggu di sini, sementara para profesornya dari Dewan Kehormatan Unhantara masuk untuk laporan langsung kepada Presiden.
Bosan menunggu, Huasya putuskan untuk membuka laptopnya dan kembali menelusuri informasi yang dua hari ini menyita perhatiannya. Kemarin saat ia tak ke kampus karena tak ada jadwal bimbingan, seharian Huasya habiskan untuk mencari tahu soal Bulwark yang Dipta sebut. Ia sama sekali tidak bisa melupakannya.
Sayangnya meski sudah sehari penuh ia mencari tahu, dalam big data internet ternyata datanya tidak dapat ditemukan. Huasya membaca banyak jurnal hasil penelitian terkait artificial earthquake hingga matanya mengabur. Tapi hasilnya sangatlah sedikit. Tidak ada data pasti mengenai Bulwark. Namun lagi-lagi, Huasya memberanikan diri menebak itu semua.
Apa Bulwark ini sebenernya adalah metamaterial? Penangkal gempa? batinnya ragu.
Namun kembali ke peraturan pertama, hipotesisnya tidak bisa dinilai benar atau salah seutuhnya karena banyak variabel yang terlibat di dalamnya.
Seperti biasa Huasya akan membuat mind maps untuk memetakan temuannya dari hasil riset literatur dan beberapa data lapangan yang dia masih ingat. Kali ini ia tak ada niat untuk membagikan pemikirannya ini kepada siapa pun. Ia tak ingin lagi menambah masalah hanya karena apa yang diketahuinya. Tetapi semesta sering kali bertentangan dengan kehendak manusia. Buktinya saat ini, Huasya merasakan seseorang sedang menatapnya intens di belakangnya hingga mengakibatkan rambut halus di lengan dan tengkuknya berdiri.
Lambat Huasya memutarkan badannya untuk tahu siapa yang mengintip di belakangnya. Huasya terlonjak kaget bukan main saat melihat Dipta sudah memicingkan mata di belakang kursinya. Dengan kasar Huasya tutup laptopnya kemudian berdiri dengan kikuk.
“Ma- Mayor Dipta, hai,” sapanya.
“Saya udah bilang kamu nggak boleh ceroboh,” peringat Dipta.
Huasya menunduk menyesal. Tak dapat memungkiri apa yang diucapkan Dipta. Ia memang ceroboh, seharusnya apa yang ia tulis dan cari di layar laptopnya tidak boleh terlihat siapa pun, termasuk Dipta.
Dia lihat semuanya, nggak, ya?
Dipta masih menatap lekat Huasya dengan tangan terlipat di depan dada. Hari ini Dipta mengenakan PDH-nya dengan baret merah khas Kopassus yang ia selipkan di bahunya. Tampilannya yang sebenarnya tidak baru ini nyatanya tetap mampu menghipnotis Huasya. Apalagi seragam itu memberikan eksposur lebih besar lagi bagi otot di lengan dan bahu Dipta.
“Bapak ngapain keluar? Bukannya harusnya masih di dalam?” Huasya terkesan sedang protes.
“Kamu lagi omelin saya?” Dipta memandangnya tak percaya.
“Bukan! Maksud saya, kok udah keluar?” ralat Huasya lebih kalem.
“Sebentar lagi semua akan keluar. Saya izin keluar sebentar untuk ngecek saksi kunci kasus ini, kabur atau nggak,” canda Dipta santai. Wajahnya yang datar lagi-lagi membuat Huasya tercengang.