MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #20

Bab 20 : Terikat Komitmen

Malam ini Rita kembali menginap di kosan Huasya dengan alasan ingin dibantu mencari referensi untuk tesisnya. Tetapi nyatanya kedatangan Rita justru merusak suasana hati Huasya. 

“Kenapa mesti begini, sih? Emangnya aku rentenir?” Huasya memanyunkan bibirnya. 

“Gini loh, Sya. Ini biar aku punya tanggung jawab untuk bayar, nyicil utang aku ke kamu. Tolong, Sya. Kamu bantu aku jaga muka aku di depan kamu,” Rita memohon. 

Setelah berpikir kembali, Huasya akhirnya menerima surat pernyataan yang ditulis tangan Rita, bahwa ia akan menyicil pinjaman dari Huasya. Namun Huasya mencoret bagian nominal tetapnya. 

“Nominalnya bebas, kalau ada sedikit juga gak apa, Ta,” putus Huasya. “Nggak ada tapi-tapi, gini aja udah.” 

Rita tersenyum simpul pada Huasya. Ia sangat bersyukur di era yang didominasi gempuran orang jahat, ternyata ada seorang Huasya yang begitu baik padanya. 

Rita pun memeluk Huasya erat yang dibalas Huasya hangat. 

“Makasih banyak, Sya!” 

“Kembali kasih, Rita sayang!” 

Usai momen haru itu, mereka kembali sibuk dengan laptop masing-masing. Tesis menjadi biangnya. 

“Ta, sebenernya aku bingung mau tanyanya gimana,” tiba-tiba Huasya bicara. 

“Soal apa dulu, nih?” Rita memandang Huasya curiga. 

“Mayor Dipta-” 

“Kenapa? Mayor Dipta confess sama kamu?” 

Huasya membelalak saat mendengar Rita bertanya seperti itu. 

“Aku gak tahu! Dia malah ngajakin aku nonton orkestra setelah dia pulang dari Singapura. Katanya sih, karena dia pernah janji sama aku,” Huasya menarik napas dalam. “Anehnya adalah dia ngajakin setelah aku tanya, eh, bercandain dia.” 

“Bercandain gimana, tuh?” 

Huasya pun menceritakan kejadian saat mereka di restoran. Anehnya, Huasya yang cerita, Rita yang bersemangat. Terlampau bersemangat sampai ia jatuh dari sofa. 

“Hahaha! Ngapain, sih, Ta? Sakit gak?” tanya Huasya. 

“Nggak-nggak. Aku aman. Intinya kamu tuh, macem mergokin Mayor Dipta cemburu?!” 

Huasya menelengkan kepalanya tak yakin. 

“Tapi kayanya kecepetan nggak, sih, Sya?” Rita berpikir keras. “Mungkin dia kaget jadinya. Harusnya kaya tarik ulur dulu mungkin maunya?” 

“Hah? Gimana?” Huasya tak paham. 

“Kan, kata orang-orang begitu. Katanya harus tarik ulur?” Rita juga tak yakin. 

Huasya tertawa terbahak-bahak. Ia seperti melihat dua orang cupu percintaan sedang mencoba memahaminya tanpa panduan ahli. 

“Tapi kalau tarik ulur aku nggak bisa, deh, Ta. Aku gak suka ambigu-ambigu gitu. Cuma ada dua bagi aku, lanjut atau berhenti di sini.” 

“Tapi sejauh ini kamu ngerasanya Mayor Dipta gimana?” 

“Aku … bingung. Dibilang gak boleh berharap tapi dianya perhatian banget sama aku. Dibilang boleh berharap, tapi Mayor Dipta nggak pernah secara gamblang ngasih kode kalau dia ada rasa atau tertarik sama aku.” 

Rita mengusap lengan Huasya. 

“Apa pun nanti hasilnya, yang penting kamu bahagia, Sya. Kira tunggu aja, lusa dia ngajak kamu nonton itu mau sambil omongin apa?”

*****

Keesokan harinya setelah Rita pulang, tiba-tiba Evan menelepon Huasya. Ia mengajak Huasya makan siang bersama. Kali ini mereka tidak berdua, katanya ada beberapa teman saat mereka dulu kuliah sarjana. Huasya yang memang sedang tidak ada jadwal bimbingan, dan baru ada jadwal wawancara narasumber minggu depan, memutuskan untuk ikut bergabung. Namun ia menolak dijemput Evan. Bisa ramai urusannya kalau ia datang berdua dengan Evan. Belum sirna gosipnya bersama Mayor Dipta, nanti jika ditambah gosip lain, Huasya tak akan sanggup. 

Huasya berangkat dengan taksi daring, bukan dengan ojek karena ia mengenakan baju terusan panjang berwarna putih tulang dengan pola bunga kecil-kecil dipadukan dengan kardigan warna senada. 

Sesampainya di kafe & restoran, Huasya disambut Evan. Ia menghampiri Huasya di gerbang masuk. 

“Nggak macet, kan, Sya?” tanya Evan semangat. 

“Nggak, kok. Udah rame di dalem?” 

“Lumayan.” 

Evan memimpin jalan mereka. Ternyata sudah disewa satu ruangan privat untuk mereka makan. Huasya disambut beberapa teman yang menyapanya dan sedikit basa-basi dengannya. Setelah duduk, Huasya kembali bertanya pada Evan. 

“Nanti kita patungannya ke siapa?” 

“Sama Alika katanya. Mau jus? Aku ambilin, ya.” 

Huasya mengangguk. Ia cukup haus. Suasana di sini agak membuatnya sesak. 

Saat semua orang sudah berkumpul, mereka langsung duduk di kursi yang melingkari meja besar ini. Sekitar 20 orang bergabung di reuni dadakan ini. Inilah yang Huasya amat hindsri dari acara reuni, ajang pamer yang tidak dapat terhindarkan. Saling menunjukkan perhiasan dan menghitung mobil untuk bersaing mencari siapa yang paling kaya, saling bertukar kartu nama untuk melihat siapa yang sudah jadi CEO, dan ada pula yang membanggakan foto-foto anaknya yang sudah bisa berhitung di usia batita. 

Huasya sesungguhnya tidak pernah melarang orang-orang untuk memamerkan apa yang mereka miliki atau yang mereka capai. Itu adalah hak mereka. Kesuksesan memang diraih untuk dipamerkan, bukan? Ini berlaku bagi setiap orang. Validasi dan apresiasi dari orang lain pasti diharapkan setiap manusia tanpa terkecuali. Hanya saja, usai ajang saling pamer, selalu diikuti dengan sesi sindir menyindir. Seperti saat ini. 

“Iya, yang S2 sekarang tuh, kebanyakan karena nggak dapet kerja, terus daripada disebut nganggur mending kuliah lagi. Ya, kan?” 

Mendengar pertanyaan menyebalkan ini membuatnya tak bisa menyembunyikan wajah masamnya. 

Namun tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Si penanya benar-benar tak berpikir jauh, di sini ada banyak yang melanjutkan S2, dan anggapannya membuat semua yang sedang dan baru selesai kuliah merasa tersinggung. 

“Eh tapi Huasya tuh, keren, ya! Kalau gak salah kamu asisten dosen, kan?” 

Huasya mengangguk sekilas. 

“Tapi aku denger-denger, profesor kamu yang kena kasus gede itu, yang diberitain di TV, bener, Sya? Tapi kamu gak apa-apa, kan? Nggak terlibat, kan?”

Huasya memaksakan senyumnya. 

“Keren banget kamu bisa tahu gosip di kampusku. Makasih banyak loh, kukira aku nggak seterkenal itu,” ucap Huasya tenang. “Van, aku transfer uang patungannya ke kamu. Aku pamit pulang duluan. Masih harus siapin draft wawancara sama ketua komisi pertahanan di DPR nanti. Bye, semua!”  

Huasya beranjak dari kursinya lalu segera keluar dari ruangan itu. Evan bahkan belum sempat menawarkan diri untuk mengantar Huasya pulang. 

Sebenarnya Huasya sangat benci berkonfrontasi dengan siapa pun, untuk alasan apa pun. Tetapi entah kenapa hari ini ia terlalu sensitif sampai tak mampu mengabaikan ucapan mereka. 

“Apa jangan-jangan udah mau dateng bulan?” Huasya berdecak sebal. 

Sepertinya ia harus mengisi energinya yang sudah terkuras ini. Huasya memutuskan untuk pulang ke Dayo. Ia sudah tidak kuat. 

*****

Semalam Huasya tidur amat nyenyak di rumahnya. Ternyata memang benar, ke mana pun seseorang pergi, sejauh apa pun jarak yang ditempuh, rumah di mana keluarganya berada adalah rumah yang sesungguhnya. 

Mona sudah membangunkan Huasya sejak subuh dan ingin diantar pergi ke pasar. Huasya pun sudah bersiap dengan celana jogger dengan atasan kaus pendek dibalut jaket crop top. Ia mengikat asal rambutnya tanpa menyisir, malas katanya. 

“Kak, dandan yang bener dong, kalau mau keluar, tuh!” tegur Mona halus. 

“Males, ah. Nggak ada yang lihatin juga, kan,” ucap Huasya tak acuh. 

“Anak gadis satu ini, ya!” Mona geregetan sendiri. 

“Di mana kunci mobilnya, Ma?” Huasya mencari-cari di laci bufet. 

“Di showroom! Ya, di situlah!” 

Mona mengambil alih posisi Huasya. Dan benar saja, kunci mobil ada di sana. Sungguh ajaib tangan mama!

Mereka pun pergi dengan mobil keluaran tahun 2000-an awal itu. Hasil kerja sama Indonesia dan Jepang yang masih beregenerasi hingga kini. Mereka belanja cukup lama padahal rencananya hanya membeli ayam potong saja tapi berakhir dengan membeli daging sapi, ikan laut, dan beragam sayuran. Namun Huasya tak heran, bukankah memang semua ibu-ibu begitu? 

Tibalah waktunya mereka mengakhiri petualangan di pasar dengan memakan bubur candil sebagai pengganjal perut pagi ini. 

Lihat selengkapnya