Huasya yang biasanya ramai dan membenci keheningan sampai bisa membuatnya mendengar aliran udara di sekitar, kini justru menikmati keheningan ini. Mereka sudah berkeliling Dayo menikmati city light yang terlihat berkali lipat lebih indah karena sedang bersama. Sesekali berpikir dari sudut pandang lebih romantis tentu tidak berlebihan bagi Huasya.
“Sya …” panggil Dipta lembut.
“Iya, Mas?” Huasya langsung menoleh.
Suara Huasya yang memang terdengar indah di telinga, mampu membuat kelu lidah Dipta.
“Mas?”
“Jangan panggil saya kaya gitu,” lirih Dipta.
“Kenapa?” Huasya tak paham. “Bukannya Mas yang selalu ingetin aku buat panggil Mas?”
“Suara kamu terlalu merdu, Sya,” Dipta berkata dengan suara rendahnya.
Huasya tertawa terbahak-bahak sampai ia menutup mulutnya karena takjub mendengar penuturan Dipta. Selama ini ia memang sering dipuji merdu saat bernyanyi, tapi tak ada satu pun yang memuji suaranya merdu saat ia memanggil seseorang. Hanya Dipta, hanya pria ini yang mampu memilih diksi merdu untuk menggambarkan suaranya.
Kini giliran Dipta yang salting brutal. Serangan jantung kombo didapat Dipta karena suara merdu dan tawa Huasya yang terlihat cantik meski dengan cahaya remang dari lampu-lampu kendaran di jalan. Namun karena Huasya sulit menghentikan tawanya, Dipta sedikit mengerucutkan bibirnya.
Huasya yang menangkap sinyal untuk segera berhenti seketika mengalihkan topik.
“Aku mau tanya deh, ini mobilnya siapa?” Huasya mencoba mencari topik.
“Mobil saya,” ujar Dipta.
“Ini mobil yang klaksonin aku pas aku depan perpus Mabes, ya?!” Huasya tertegun. “Aku hampir jatuh waktu itu, Mas!” Ia akhirnya mengingat adegan familiar itu.
Dipta tersenyum sambil menolehkan kepalanya, “Maaf, Sya …”
Ia masih tercengang dengan kelakuan Dipta yang semakin ia kenal ternyata semakin terlihat manis, dan iseng sepertinya akan menjadi nama belakang Dipta mulai saat ini.
“Sya,” panggil Dipta lagi.
“Iya, Mas?” sahut Huasya lebih manis.
Dipta berdeham, “Katanya kemarin kamu pulang itu karena ada masalah, Mas boleh tahu ada masalah apa?”
Huasya yang tadinya memiringkan tubuhnya ke arah Dipta kini beralih kembali menghadap sempurna ke depan. Seketika mood-nya berubah kelabu mengingat kejadian saat reuni dadakan.
“Mas bukannya mau ikut campur, tapi sekarang kamu punya mas untuk cerita.”
Dipta mendengar perkataan Mona bahwa akhir-akhir ini Huasya tidak banyak bercerita kepadanya, begitu pun kepada Gea. Padahal biasanya ia selalu menceritakan apa pun yang dialaminya. Namunz entah mengapa Huasya semakin tertutup setelah masalah Hafiz dipublikasikan. Apalagi Huasya mengalami beberapa kejadian yang cukup traumatis dalam waktu yang beruntun. Terjebak di lokasi teror, gempa, hingga serangan warganet soal kedekatannya dengan Dipta.
“Bukannya Tante menyalahkan Dipta soal gosip itu, tentu nggak! Cuma Tante minta tolong Dipta untuk bantu hibur Huasya,” ucap Mona tadi sore.
“Aku cuma belum terbiasa aja, Mas,” ucap Huasya getir.
Huasya yang hanya pernah berpacaran sekali, itu pun ketika baru lulus SMA dan hanya bertahan dua minggu, membuatnya bingung tak kepalang. Evan tidak terhitung karena mereka tidak pernah berpacaran, selepas pengakuan Evan, saat itu juga Evan katakan soal perjodohannya. Jahat, bukan?
Jadi Huasya tak tahu harus seperti apa memperlakukan pasangannya. Meski ribuan episode drama telah ia lahap, ratusan novel roman juga digemarinya sepanjang hayat, tetapi nyatanya tak semudah itu. Terbiasa mengatasi banyak masalah sendirian, dituntut menjadi seorang yang dewasa meski belum waktunya, sepertinya banyak sulung perempuan yang memahami posisinya ini.
“Kamu bisa biasakan untuk cerita sama Mas, kan?”
Pertanyaan Dipta coba diindahkan Huasya yang kini sepenuhnya menghadap ke arah Dipta.
“Sejujurnya gosip antara aku sama Mas cukup buat aku kesulitan.”
Huasya berkata sambil menahan napas, ia takut akan reaksi Dipta. Bagaimanapun, Huasya bukan bermaksud menyalahkan, hanya saja Huasya tetap harus mengutamakan nama baiknya. Sudah harta tak punya, setidaknya nama baik harus ia jaga.
“Mas minta maaf, nggak seharusnya mas melibatkan kamu,” sesal Dipta.
Huasya menggeleng cepat. Ia paham betul bahwa Dipta tidak ingin melibatkannya. Ia hanya tidak menyangka, di tengah fenomena dirinya viral, orang-orang terus menggali informasi tentangnya dan semua yang terkoneksi dengannya.
Huasya menjelaskan maksudnya membahas ini, dan benar memang ia kesulitan karena gosip itu. Di kampus ia jadi musuh pengagum Dipta. Pun saat reuni, ia menjadi bahan banyolan karena hal yang sama. Label Huasya sebagai penggoda dan gadis yang memanfaatkan Dipta dalam konotasi negatif kini dipercayai publik.
“Aku selalu menyayangkan, kalau ada rumor, apa pun faktanya, yang dirugikan selalu perempuan. Tapi aku nggak menyalahkan Mas. Mungkin ini emang harga yang harus kubayar buat bisa kaya sekarang,” tandas Huasya.
Dipta tak pernah menyangka, gadis yang ia temui di awal dengan sikap konyol dan cerobohnya yang selalu kentara, sekarang mampu mengejutkannya dengan sikap dan kepala dinginnya menghadapi masalah. Huasya lebih dewasa daripada gadis seusianya. Dipta tak berpikir sejauh Huasya, bahwa gosip itu “harga” atas komitmen mereka saat ini. Tetapi yang jelas, ia akan kembalikan harga yang telah Huasya korbankan untuknya.
“Kaya sekarang kaya gimana?” usil Dipta. Ia cenderung menanggapi masalah serius dengan candaan.
“Ya, kaya sekarang!” Huasya merengut.
“Kaya gini?”
Dipta tiba-tiba menggenggam tangan Huasya erat. Sempat mencoba melepaskan diri, namun apa daya, Huasya sudah lelah akibat senam jantung sejak tadi. Ia menyerah dan membiarkan Dipta menautkan jari jemari mereka.
Tak ada kata yang terucap di antara mereka, hanya kalimat penuh tekad yang diucap Dipta dalam hati, bahwa ia akan melindungi Huasya, apa pun yang terjadi. Bukan lagi sekadar janji, Dipta telah berikrar. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Huasya. Dipta akan melindungi apa yang harus ia lindungi.
*****
Istirahat telah usai. Huasya diminta kembali ke kampus untuk bertemu para anggota Dewan Kehormatan Unhantara. Namun Huasya belum kunjung berangkat karena tiba-tiba kedua orang tuanya memaksa untuk mengantarnya ke Pakuan.
Mona dan Rendra bersikukuh untuk mengantar, tak lain dan tak bukan karena Dipta kemarin sudah menceritakan garis besar masalah Huasya. Huasya memang terlibat dengan kasus yang sedang ramai diperbincangkan, namun statusnya bukan sebagai komplotan tersangka tetapi sebagai kontributor informasi investigasi. Dipta meminta mereka tidak khawatir, karena Dipta akan membantunya. Namun Mona tetap meminta kepastian, sebagai orang tua ia takut studi Huasya terganggu, namun hal lain yang membuatnya paling waswas adalah kondisi mental Huasya.
Mona pun disarankan Dipta untuk mengantar Huasya ke Pakuan. Jawaban pasti yang Mona inginkan akan terjawab saat mereka ikut Huasya, begitu kata Dipta. Itulah mengapa Mona dan Rendra bersikukuh mengantar si sulung.
Huasya akhirnya menyerah berdebat berkat waktu. Ia harus segera berangkat jika tak ingin terlambat ke pertemuannya dengan Dewan Kehormatan Unhantara.
“Oke, tapi nanti langsung ke kampus dulu. Aku gak boleh telat.”
Akhirnya mereka berangkat sekeluarga. Meski begitu, Mona sepertinya belum tenang dan terus bertanya pada Huasya di sepanjang perjalanan.
“Kak, nanti Mama mau nunggu di dalem kampus, ya!”
“Iya, Ma …” sudah berkali-kali Huasya berkata hal yang sama.
Ia sedang sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya sehingga hanya menjawab pertanyaan berulang itu dengan acuh tak acuh.
“Lagi ngabarin nak Dipta, ya?” tanya Mona lagi.
Huasya cengengesan, benar-benar tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ternyata benar kata orang, perang pun tak dapat menghalangi cinta yang bersemi.
“Mama tahu, kok. Kalian udah jadian, kan? Nggak ada niat buat cerita sama Mama, Kak?”
“Kakak mau cerita, tapi kan, semalem belum sempet. Pas kakak pulang langsung pada bobo. Pagi ini, kan riweuh mau berangkat,” jelas Huasya santai.
“Dia baik, kan, sama Kakak?” tanya Rendra cemas.
Huasya yang berada di jok belakang, langsung memajukan tubuhnya di antara jok depan.
“Dia baik, nolong kakak terus,” Huasya mengawali curahan hatinya.
Ia juga menceritakan bahwa Dipta masih mengingat kesan pertama saat melihatnya. Ini sangat menakjubkan bagi Huasya. Dipta yang bertemu banyak orang setiap harinya, masih mengingat dia. Meski Huasya tak yakin, apakah hanya dirinya saja yang diingat atau setiap orang yang ia temui diingat semua?
“Kapan?” Rendra penasaran.
“Waktu mulai ospek, Mas Dipta kenal aku sejak itu. Meskipun sempet nggak ketemu setahun lebih, dia masih inget sama kakak, Ma, Pa,” ucap Huasya lebih netral dari sebelumnya.
Tentunya yang paling bersemangat mendengar hal ini adalah Mona. Akhirnya anak gadisnya punya kisah percintaan yang patut diceritakan. Selama ini pula ia takut kepercayaan diri anaknya hilang dan rasa tidak pantas dicintainya semakin tinggi berkat para lelaki yang sebelumnya mendekat pada Huasya. Mona sungguh lega.
“Berarti bener, Dipta udah cinta sama Kakak. Kesan pertama Kakak kan, nggak terlalu baik sampe Mama omelin waktu liat live streaming.”
Mendengar ucapan Mona sontak memaku Huasya pada kata cinta. Ia kembali di pusaran hitam penuh tanya, sesungguhnya ia ragu tak yakin Dipta benar sudah jatuh cinta padanya, atau benar hanya ketertarikan sesaat.
*****
Huasya tak bisa berkata apa pun saat orang tuanya diajak Profesor Nina masuk ke dalam ruangannya untuk bicara. Ia hanya bisa menunggu di luar sambil terus harap-harap cemas dengan ucapan Profesor Nina. Berdoa agar beliau tidak akan menambah tingkat kecemasan orang tuanya.
Sementara di dalam suasana cukup canggung dan berubah dingin saat mereka mulai bicara.
“Ibu dan Bapak tenang saja, Huasya sudah dinyatakan tidak terlibat-”
“Saya tahu, anak saya nggak mungkin bergabung dengan kelompok tak jelas yang mengkhianati negara,” potong Rendra cepat.
“Iya, Prof. Nina. Saya tahu persis, anak saya cukup nasionalis. Contohnya aja meskipun dia suka budaya-budaya luar, tapi dia lebih suka menghabiskan uangnya buat nonton konser musisi dalam negeri dibanding untuk menonton konser orang luar. Bahkan pas aktor favoritnya ada fan meeting, Huasya bilang karena sudah banyak yang datang mewakili, dia nggak mau memberi lebih banyak keuntungan untuk devisa negara lain,” Mona menjelaskan panjang lebar.