Huasya memperhatikan bahu kekar itu dengan lekat. Huasya tak berani menerka seberapa banyak bahu yang kokoh itu ditempa untuk menopang tanggung jawab yang luar biasa. Terkadang ia ingin bertanya, jika boleh Dipta bercerita alasan di balik mata lelahnya, alasan di balik lecet di tangannya, alasan di balik ia yang kini masih mengenakan rompi antipeluru meski sedang tak bersama VVIP yang harus ia kawal.
Jika Huasya menambah beban itu dengan bertanya soal rumor perjodohan, bukankah Huasya terlalu tak tahu diri? Sudah ia dilindungi dan dihibur atas masalah Hafiz, dibantu menenangkan kedua orang tuanya yang cemas, hingga bersedia mengantarnya di sela kesibukan seperti saat ini, bukankah Huasya jelas menjadi beban Dipta jika bertanya?
“Sya …” Dipta menyentuh lengan Huasya.
“I- iya?”
Dipta menangkap kekosongan di mata Huasya. Ia yakin gadisnya sedang tak baik saja. Tanpa berkata, Dipta memakaikan helm untuk Huasya. Ia pastikan helm nyaman digunakan Huasya dan ia selesaikan dengan mengaitkan pengamannya. Sementara Huasya hanya diam dan tersenyum tipis menatap wajah Dipta dengan sendu.
Saat Dipta sudah duduk manis di motor, Huasya dilarang langsung naik. Ia justru memundurkan bokongnya ke bagian jok yang akan Huasya duduki.
“Panas, tunggu dulu sebentar,” ucap Dipta.
Tak lama, saat dirasa suhu jok sudah normal, Dipta beralih membuka pijakan kaki penumpang di kedua sisinya. Dengan santainya ia juga mengulurkan tangan kirinya untuk jadi pegangan Huasya untuk naik ke motornya. Sebenarnya motornya tidak terlalu tinggi seperti motor sport, hanya saja tinggi badan Huasya yang hanya mencapai rerata tinggi wanita Indonesia itu, membuatnya agak sulit untuk naik.
Dengan senang hati Huasya menggenggam tangan Dipta dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang bahu Dipta. Untung saja hari ini Huasya memakai sepatu kets sehingga tidak licin dan lebih nyaman untuk mengendarai motor.
“Pegangan, Sya,” pinta Dipta.
Namun Huasya ragu. Ini pertama kalinya ia dibonceng Dipta dan tentu saja ia merasa malu untuk memegang pinggang Dipta. Meski Dipta mengenakan jaket bomber khas miliknya yang sepertinya ia koleksi berbagai warnanya, namun tetap saja Huasya merasa canggung. Sampai akhirnya Dipta yang berinisiatif membawa kedua tangan Huasya sembari menoleh ke arah kiri. Ia menempatkan kedua tangan Huasya tepat di pinggangnya.
“Biar aman. Saya bawa motor karena jam segini biasanya macet,” jelas Dipta.
Huasya mengangguk paham, ia menatap Dipta yang menahan senyum dari kaca spion. Hingga saat Dipta melajukan motor dengan memutar gas agak kencang di awal, otomatis membuat Huasya tersentak sampai akhirnya memperkuat pegangannya. Kini Huasya tak lagi hanya memegang jaket Dipta, melainkan memeluk Dipta cukup erat. Sungguh, Dipta sudah mirip ojek-ojek di Vietnam dengan manuver yang luar biasa.
“Mas, pelan-pelan!” tegur Huasya.
Ditegur justru membuat Dipta menyeringai dan tetap melajukan motornya dengan kecepatan yang sama. Gilanya, kini ia malah mengusap punggung tangan Huasya yang memeluknya dengan tangan kirinya. Untungnya tak lama kemudian ia memelankan laju motor dan terhenti karena lampu lalu lintas sedang menampilkan warna merah.
“Mas!” pekik Huasya.
Huasya juga melerai pegangannya lalu memukul pelan punggung Dipta.
“Jangan ngebut! Aku gak suka!”
"Kalau gitu, jangan diemin mas, oke?”
Huasya mencebik kesal. Ia tak habis pikir, hanya demi berbicara dengan Huasya, Dipta malah bermain-main dengan keselamatannya.
“Kan, bisa tanya baik-baik. Nggak usah ngebut! Atau jangan-jangan sama perempuan lain juga gitu, ngebut biar dipeluk?” selidik Huasya sengit.
Dipta tertawa renyah untuk beberapa detik, kemudian kembali ke mode seriusnya.
“Mana ada? Mas cuma mau bonceng kamu,” jelas Dipta sejujur-jujurnya.
Dipta tak pernah membonceng perempuan lain selain mantannya dan Huasya.
Huasya tak percaya, ia justru mencubit pinggang Dipta yang ternyata sangat keras. Bukannya membuat Dipta kesakitan justru kini ia yang kesakitan. Huasya lupa bahwa Dipta masih mengenakan rompi antipelurunya.
“Aw!” pekik Huasya kaget.
“Sya!” Dipta terkejut. Ia juga tak menyangka Huasya akan mencubitnya.
Masih gemas, Huasya mencubit lagi. Kali ini tidak di pinggang melainkan di lengan Dipta yang tak kalah keras karena ototnya.
Dipta tergelak lagi melihat ekspresi Huasya dari kaca spion. Sungguh, kalau barusan ia sedang memegang ponsel, akan ia rekam wajah kesal Huasya yang angat amat lucu di matanya.
Lampu merah selesai, Dipta melajukan lagi motor dan berhenti di sebuah minimarket. Ia kembali memastikan Huasya turun dengan aman melalui tangannya yang siaga menjadi penopang tubuh Huasya.
Sayangnya Huasya tak mau melepas helmnya, dan membiarkan Dipta masuk sendirian. Ia menolak mentah-mentah ajakan Dipta untuk jajan sebentar. Tapi tak lama, cahaya matahari yang begitu cerah ceria hari ini langsung menyengat tubuh siapa saja yang ada di bawah naungannya, tak terkecuali Huasya.
Huasya merasa gerah bukan main.
Suhu panas akhirnya membuat Huasya menyerah dan masuk ke dalam untuk mendinginkan tubuh, hati, dan otaknya ke dalam minimarket. Dipta mengulum senyumnya saat langkahnya diekori Huasya.
Selesai Dipta mengambil belanjaannya, ia langsung menuju kasir. Ia masih senyum tipis hingga kasirnya menuduh mereka yang tidak-tidak.
“Adiknya lagi marah ya, Mas?” tanya sang kasir. “Adik saya juga sering gitu, biasanya minta transferan,” kelakarnya.
Bagai digelitik kemoceng, Huasya hampir menyemburkan tawanya saat melihat roman wajah Dipta yang kelabu. Sudah tahu Dipta sensitif soal usianya, kini malah disangka adik-kakak, sungguh kasir itu tak tahu ia sedang menempatkan dirinya dalam bahaya.
Dipta mendahului Huasya keluar tanpa memedulikan Huasya. Ia segera mengambil tempat di kursi yang disediakan di depan toko waralaba ini.
“Bisa-bisanya kamu disangka adik saya,” Dipta tak habis pikir.
Ia menyodorkan kantong plastik berisi coklat dan susu untuk Huasya.
“Kurangin minum kopi. Tadi kamu minum kopi sampai dua gelas. Jaga kesehatan, Sya!” Dipta sewot sendiri.
Huasya hanya mengangguk sambil mengulum senyum. Entah kenapa baginya marahnya Dipta justru seperti sebuah hiburan.
Dipta menarik napas dalam lalu kembali bertanya, “Kamu kenapa hari ini banyak cuekin mas? Mas ada salah?”
Huasya menggeleng cepat sambil terus menyedot susu UHT kesukaan dengan helm yang masih digunakannya.
“Emang bener ya, Mas mau dijodohin sama anak ketua parpol apa gitu, atau sama anak jendral gitu?” tanya Huasya tanpa menatap Dipta.
Dipta melongo tak percaya dengan pertanyaan Huasya yang tiba-tiba ini.
“Kata siapa?”
“Jadi bener?” Huasya menoleh sekilas. “Kalau bener, bilang sejak awal Mas, aku jadi gak terlalu berharap banyak. Aku udah biasa kok, diabaikan dan dijadikan second choice. Sama yang lalu juga gitu, dianya dijodohin. Aku kayanya emang nggak semenarik itu di mata ibu-ibu.”
Mengatakan hal menyakitkan dengan nada ceria sudah seperti keahlian Huasya. Menyembunyikan lukanya amat dalam untuk menjaga harga dirinya di hadapan seorang laki-laki sudah seperti kebiasaan baginya. Sulit bagi Huasya mengakui dirinya rapuh. Gengsinya tak mengizinkannya untuk begitu.
“Kalau Mas suka, dan Mas merasa mereka bisa bantu Mas untuk ke depannya, lebih baik dari sekarang. Aku kan, bukan siapa-siapa. Aku gak bisa bantu apa pun, aku malah jadi beban buat Mas Dipta.”
Lagi-lagi Dipta dibuat tercengang dengan ucapan Huasya di siang bolong begini.
“Pertama, gosip beliau-beliau mau mengenalkan saya ke anak-anaknya emang benar. Tapi saya sudah tolak, karena saya sudah punya kamu,” ujar Dipta santai. “Kedua, kamu adalah ‘siapa-siapa’ bagi saya, Sya. Jangan pernah remehkan diri kamu di saat saya memilih kamu. Saya gak mau kamu merendahkan diri kamu padahal saya sangat bangga bisa sama kamu. Ketiga, kamu bukan beban sama sekali. Buktinya, hari ini saya bisa ketawa karena kamu.”
Huasya yang tadinya ada pada mode merajuk lalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak langsung pada poinnya, dengan mendorong Dipta pergi. Tadinya berharap bisa dengan kerennya melepas Dipta. Apalah daya, kini justru senjata makan tuan. Sejak kapan Dipta belajar kata-kata manis seperti ini, sudah mirip pemain profesional di bidang gombal menggombali.