Resistansi Huasya terhadap segala situasi dan kondisi kembali ke setelan pabrik. Tidur ternyata cukup untuk menjernihkan kembali pikirannya. Usai mandi dan sembahyang subuh Huasya serta mengganti pakaiannya dengan pakaian baru yang dibelikan Dipta semalam, Huasya segera bersiap. Sebenarnya ia tak tahu bagaimana caranya Dipta tahu ukuran pakaiannya dengan persis seperti ini, meski penasaran, namun Huasya kesampingkan dulu hal ini. Ada hal yang jauh lebih penting untuk Huasya urus.
Pikirannya yang semalam dipenuhi rasa khawatir, kalut, takut, dan gelisah, sudah Huasya tata satu demi satu. Tuhan membiarkannya hidup sampai detik ini setelah melalui teror, diterpa puting beliung, diterjang gempa, dan bahkan diserang warganet hanya karena dicap tidak pantas dengan Dipta, semua ini berarti retensi nyawa Huasya masih panjang. Tak mungkin Tuhan akan membiarkannya mati begitu saja. Hanya saja, ia merasa tak mungkin untuk bergantung dan mengandalkan Dipta sepenuhnya di kala pria itu sudah sibuk dengan tugasnya yang lain.
Berkali-kali diselamatkan Dipta dengan sengaja maupun tanpa sengaja melantarkan Huasya pada simpulan bahwa Dipta adalah pelindungnya. Namun perasaan ketergantungan seperti ini bukanlah hal yang baik. Bagaimana jika saat Huasya menemui bahaya namun sedang tak ada seorang pun di dekatnya? Bagaimana saat Huasya kembali beraktivitas nanti, ia sedang tak bisa meminta tolong sembarang orang di jalan karena kerahasiaan kasus? Meski sedang di markas tentara di bawah perlindungan para anggota pasukan khusus, tetap saja, apakah ia akan selamanya menunggu dan berdiam diri di sini? Sementara banyak hal yang harus ia lakukan untuk menyelesaikan tesisnya. Tak ada jaminan kapan dan di mana Hafiz akan ditangkap atau bahkan skenario terburuknya bisa berulah dan melakukan teror yang lebih besar.
Mau di sini, atau di luar, fakta Hafiz mengancamku tidak terhapuskan, bukan? Huasya mencoba merasionalkan apa yang hendak dilakukannya.
Dengan modal nekad, Huasya keluar dari kamar, lalu segera menuju ke gerbang utama batalyon dengan menggendong tasnya. Beberapa prajurit menyapa Huasya yang hanya ia tanggapi dengan senyum tipis dan anggukan.
Saat sampai gerbang, Huasya menarik napas dalam lalu mulai melancarkan aksinya.
“Selamat pagi, Bu Huasya. Ada yang bisa kami bantu?”
Huasya mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, berharap menambah keberaniannya bertindak.
Ingat! Harus melindungi diri sendiri.
“Saya izin keluar batalyon dulu, Pak,” ucap Huasya tegang.
Entah tegang karena takut dengan apa yang akan ditemuinya di luar, atau takut dengan tatapan dua prajurit yang sedang piket ini, yang setelah mendengar maksud Huasya langsung terlihat siaga. Salah satu di antara mereka, terlihat berbisik, mengatakan sesuatu pada handy talkie. Setelah diberi kode, satu prajurit lainnya kembali ke Huasya sambil menyerahkan sebuah buku.
“Silakan diisi dulu, Bu. Ini prosedur keluarnya,” ujar anggota TNI itu.
Huasya lekas menulis alasannya keluar. Ia menuliskan dengan lancar bahwa ia hendak mengambil barang-barangnya dari kosan.
“Tolong tulis juga alamat kosannya, Bu.”
Huasya menambahkan apa yang diminta. Dengan cepat ia kembali menaruh pulpennya kembali di meja piket itu.
“Terima kasih,” ucap Huasya.
“Naik taksi online, Bu?”
Huasya membenarkan pertanyaan itu.
“Silakan tunggu taksinya di sini saja.”
Huasya diberikan kursi lipat tepat di depan meja piket gerbang Batalyon Infanteri 007. Tanpa berdalih, Huasya pun mendaratkan tubuhnya di kursi itu dan memesan taksi. Ia menyalin alamat yang dikirim Evan kepadanya, alamat sebuah sasana taekwondo.
*****
Dipta sedang menerima tamu kenegaraan, seperti hari-hari biasanya ia di kantor. Menjalankan aktivitas sebagai ajudan sekaligus pengawalan ring 1 Sekjen RI. Saat jamuan camilan pagi, tiba-tiba ponselnya bergetar menampilkan nama seorang sersan dari batalyonnya, yang tak lain adalah anggota timnya. Ia mengundurkan diri sejenak ke area yang agak jauh dari meja jamuan tamu yang sedang menikmati camilan sambil berbincang dengan Hadi.
“Ada apa?” tanyanya langsung.
Indra pendengarannya yang bekerja beberapa kali lipat lebih tajam dari orang biasa membuatnya langsung menyimak dengan jelas apa yang sedang dilaporkan padanya. Meski riuk wajahnya tidak berubah, namun matanya tak bisa berbohong, getaran gelisah bisa terlihat jika diperhatikan saksama.
“Ikuti terus, jangan sampai kehilangan jejaknya,” kemudian panggilan diputus.
Dipta kembali ke posisinya semula seolah tak ada yang terjadi. Radit yang sedari tadi memerhatikan Dipta tak tahan untuk tak bertanya.
“Ada apa, Bang?” bisik Radit.
“Nggak ada, nanti jam makan siang saya harus keluar sebentar.”
Radit memiringkan kepalanya, mencoba menggali dan membaca lebih jauh emosi Dipta. Sayangnya profesionalisme Dipta tidak ada duanya. Saat jam kerja, Dipta tak pernah membiarkan apa pun mengganggu kinerjanya.
Pukul 12.05 WIB
Dipta izin keluar selama jam makan siang. Ia juga sudah memastikan agenda Hadi selepas makan siang hanya meninjau berkas di kantornya sampai sekitar pukul dua siang. Jadi setidaknya ia memiliki waktu satu jam sebelum agenda selanjutnya yaitu menerima beberapa tamu kenegaraan lainnya dalam rangka penguatan koordinasi pertahanan terutama dalam kasus UC.