MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #24

Bab 24 : Masuk Komcad

Dipta menjemput Huasya dari sasana sekitar pukul 9 malam. Berhubung sasana taekwondo itu adalah milik Evan sehingga tidak ada batas waktu pemakaian khusus untuk Huasya dan Rita yang nebeng wifi demi keberlanjutan tesis mereka. 

Kini Huasya sudah duduk manis di mobil Dipta. Tapi tidak benar-benar manis karena kakinya terus digerakkan gelisah. Ia sempat mengeluhkan sedang mengalami writer’s block sehingga ia gundah seperti sekarang ini. Dipta yakin Huasya hanya butuh sedikit rileks dan bersantai sejenak.

“Kita belanja dulu, ya,” Dipta berujar.

“Nggak usah. Langsung ke asrama lagi aja.” 

Dipta tersenyum jahil. Saat mendekat ke sebuah pasaraya, Dipta tetap berbelok dan membuat Huasya berdecak sebal. Dipta turun sembari memakai topi bertuliskan XY khas gayanya, dan segera memutar di depan mobil menuju pintu penumpang. 

Huasya melotot pada Dipta memberikan kode agar tidak menyuruhnya turun. Sepertinya Huasya mulai berani memerintah Dipta karena terlalu dimanjakan, seperti saat ini. 

Entah dari mana Dipta mengambilnya yang jelas kini Dipta sedang memakaikan sebuah topi berwarna senada dengan yang dikenakannya. Huasya terkejut ternyata Dipta senang mengenakan barang pasangan seperti ini. Dipta juga merapikan rambut Huasya dan menyelipkan helaian yang berjatuhan ke belakang telinga Huasya. Beres dengan topi, Dipta pun mengeluarkan sebuah masker dari saku celana di sisi lututnya. 

“Kantong Doraemon banget nih, Masnya,” Huasya bergumam. 

“Mas khawatir kamu banyak difoto lagi, padahal cuma mau santai sedikit. Sebentar aja, cuma pas belanja pake masker sama topi dulu gak apa-apa, ya?” 

Huasya mengeritingkan bibirnya, “Ya, gak apa-apa lah. Udah dipakein juga.” 

Dipta tersenyum penuh kemenangan. Lalu menggandeng Huasya turun. 

Mereka memasuki area belanja dengan santai. Dipta menggandeng Huasya dengan tangan kirinya dan tangan kanannya mendorong troli belanja. Sesekali Dipta bertanya apa saja yang dibutuhkan Huasya, selebihnya ia membelikan apa yang harus ia belikan untuk Huasya. Dimulai dari camilan, makanan berat seperti roti, susu, bahkan membelikan tiga set pakaian olahraga lengkap dengan jaket, topi, dan sepatunya. 

“Mas ngapain beli baju olahraga buat aku?” 

“Lihat besok,” ucap Dipta santai. 

Untung saja selera Dipta sangat tinggi sehingga semua yang dipilihnya bermerek terpercaya dan berkualitas tinggi. Huasya enggan protes lebih lanjut. Ia sudah lelah akibat seharian berolahraga. Bahkan kini kaki dan tangannya sudah pegal bukan main. 

“Mas, ayo pulang,” rengek Huasya. 

“Setelah ambil ayam di depan, ya!” 

*****

Huasya dan Dipta selesai makan malam dengan ayam goreng serundeng yang mereka beli di depan pasaraya. Usai membereskan piring dan mencucinya segera di wastafel kamar asrama Dipta, Huasya segera menyusul Dipta kembali yang sedang duduk di bangku teras kamar dan menatap ponselnya serius.

“Ini,” Dipta menyerahkan sebuah kartu ATM. 

Huasya mengerutkan keningnya. Ia jelas tidak paham maksud Dipta. 

“Maksudnya apa?” 

“Buat kamu,” jawab Dipta enteng. 

“Aku bukan istri Mas, ngapain ngasih aku ATM?” 

“Belum, jangan bukan,” Dipta mengoreksi. “Kamu pegang dulu. Mas tahu uang kamu kemarin dipake untuk bantu Rita, kan? Uang tabungan kamu juga kepake untuk benerin mobil, kan?”

Huasya menggigit bibirnya, memang benar tabungannya hampir terkuras habis. 

“Tapi aku masih ada uang, kok. Terus nanti akhir bulan masih dapet uang beasiswa sama uang nulis. Sampai beberapa bulan ke depan aku gak akan kekurangan. Aku gak enak terima ini. Aku belum jadi istri Mas. Kalau udah jadi istri mah, aku mana mungkin nolak?” 

Dipta memaku pandangannya pada Huasya yang memandang jauh ke depan. Ia tahu Huasya pasti menolaknya. 

“Telepon dulu gih, Mama Papa,” titah Dipta. 

Huasya menahan napasnya tak percaya Dipta kembali membuatnya berdebar untuk kesekian ratus kalinya hari ini. Melihat Huasya sepertinya tak berniat menelepon dan mengabari orang tuanya, Dipta pun mengeluarkan ponselnya dan memanggil sebuah nomor yang ia beri nama “Mama Mona”. Huasya merinding tak tertolong melihat Dipta dengan sikap tak wajarnya ini. Dengan santai menunjukkan ponselnya dan menaruhnya di bangku dalam mode pengeras suara. Huasya berusaha yakin Mama Mona yang ditelepon Dipta bukanlah Mama Mona miliknya. 

“Assalamualaikum, halo nak Dipta?” 

Jelas! Dugaan Huasya salah telak! Itu adalah suara Mona, mama punyanya. Sepertinya banyak hal yang ia lewatkan saat tempo hari Dipta menyambangi rumahnya.

“Waalaikumsalam, maaf Ma, Dipta ganggu malam-malam.” 

Tentu saja Mona tidak keberatan. Calon mantu gitu, loh

Dipta menanyakan kabar Mona sebagaimana seharusnya seorang “calon menantu” bersikap. Selepas itu ia segera sebutkan maksudnya menelepon adalah untuk mengabari Mona dan Rendra bahwa Huasya saat ini sedang di asramanya sebagai saksi penting yang harus dilindungi negara. Dipta menjelaskan, bukan hanya Huasya, tapi seluruh saksi penting kasus Hafiz memang diberikan pengawalan khusus selama masa pencarian Hafiz. Ini semua demi keamanan dan perlindungan maksimal dari negara untuk para saksi. 

Mona terdengar menghela napasnya, lalu ponsel sepertinya diambil alih oleh Rendra. 

“Saya Rendra, Papanya Huasya.” 

Secara otomatis Dipta menegakkan tubuhnya. Seolah Rendra sedang ada di hadapannya. 

“Siap, Om,” sahut Dipta. “Saya Dipta Bramantya, pangkat Mayor, bertugas di Kantor Sekjen RI sekaligus Wadanyonif 007 Pakuan.” 

“Ya, saya tahu.” 

Sambutan dingin Rendra bahkan terasa jelas oleh Huasya. 

“Saya tidak tahu apakah permintaan saya berlebihan, tapi sebagai seorang ayah, saya ingin menyampaikan permintaan saya, baik kepada nak Dipta Bramantya kekasih Huasya, maupun kepada seorang Mayor Dipta Bramantya.” 

Dipta semakin menampakkan wajah seriusnya.

“Mohon izin mendapat arahan, Om,” Dipta mempersilakan. 

“Tolong jaga putri saya dengan baik, jangan pernah menyakiti Huasya sedikit pun. Saya gak peduli kamu siapa. Kalau Huasya tersakiti, meski sedikit saja, kamu akan berhadapan dengan saya.” 

Meski Rendra mengatakannya dengan sangat amat datar, tetapi Dipta bisa merasakan kesungguhan dalam setiap kata yang terucap. 

“Bisa kamu berjanji?” 

“Siap, Om. Saya berjanji akan menjaga dan melindungi Huasya.” 

Mona mengambil alih sambungan dan segera memutusnya usai berkata banyak terima kasih. Dipta yang terlalu fokus mendengarkan Rendra dan Mona hampir melupakan keberadaan Huasya di sampingnya yang kini sudah menatapnya penuh syukur. Huasya terharu oleh dua pria terpenting dalam hidupnya ini. 

Lihat selengkapnya