MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #25

Bab 25 : Manis Asam Pahit

Berjalan beriringan dengan seorang Mayor (Inf.) Dipta Bramantya, S.Tr.Han., M.Si. tak pernah terbayang dalam benak Huasya. Mungkin berfantasi, iya. Tetapi membayangkan ia akan benar-benar di sisi Dipta tak pernah sanggup ia bayangkan. Huasya tak cukup berani bahkan untuk sekadar membayangkan. Selama beberapa tahun ke belakang ia mengagumi Dipta, cukup rasanya melihat video-video pendek di dunia maya untuk memenuhi tangki kesenangan Huasya. 

Saat Huasya meragu, semesta seolah menyadarkannya dengan menyebarkan serbuk kesadaran bahwa saat ini di sampingnya, Dipta sedang berjalan bersamanya dengan baju yang serasi dengannya. Memang mereka sepakat mengenakan baju bernuansa biru langit dan sepatu kets, namun tak pernah janji untuk menggunakan bawahan berbahan jin. Dipta dengan celana jin standarnya dan Huasya dengan rok jin ¾-nya. 

Huasya tak merasa dirinya pantas beriringan seperti ini karena aura Dipta yang terasa begitu kental dan kuat. Sedangkan ia, hanya merias wajahnya sederhana dengan riasan yang biasa ia kenakan untuk acara di kampus. Disertai gaya rambut diikat setengah ke atas sisanya dibiarkan menjuntai berkelok karena rambut bergelombangnya. Ia hanya menambahkan pemanis poni terbelah di kedua sisi wajahnya. 

Sejenak Huasya mengeluarkan ponsel dan memotret sang idola yang kini menjadi kekasihnya. Niatnya ingin dilakukan secara diam-diam. Meski dalam hati Huasya tahu persis lelakinya itu mengetahui setiap gerak-geriknya. Saat Huasya baru saja memusatkan kamera ponsel pintarnya ke arah Dipta, tiba-tiba Dipta menoleh dan menatap lekat ke arah kamera. 

Kan! Pasti sadar kamera! 

Huasya terkekeh pelan aksinya tepergok oleh Dipta. Bagaimana tidak, Huasya ada tepat di sampingnya. Kamera yang jauh saja selalu terdeteksi oleh Dipta sehingga sering kali video yang tersebar di media sosial adalah video dengan Dipta yang menatap sengit ke arah kamera. 

Dipta langsung tersenyum simpul dan bergaya dengan tangan dilipat di depan dada.

“Kita belum pernah foto bareng loh, Mas.” 

Huasya berkata sembari merasa agak sesak. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Selama ini ia hanya difoto bersama Dipta oleh paparazi. Tak ada foto yang benar-benar mereka buat untuk merekam momen. Sejauh ini, kencan mereka pun tidak ada yang spesial. Kalau tidak sedang kondisi darurat, paling karena tak sengaja bertemu. Selebihnya mereka sekadar makan bersama.

“Sini,” Dipta meraih ponsel Huasya. “Mumpung lift-nya belum turun.” 

Dipta memegang ponsel Huasya lalu mengangkatnya agak tinggi. 

“Kok jauhan gitu, sih?” keluh Dipta. 

Huasya mendekat, lalu Dipta kembali tersenyum. Ia bahkan menekan tombol potret sebelum ia melihat ke arah kamera. Dipta yang juga menyadari bahwa setiap momen harus diabadikan, merasa tak ingin momen Huasya yang malu-malu mendekat padanya ini terlewatkan begitu saja. Sontak Huasya mengerutkan keningnya. 

“Akunya belum siap, Mas.” 

“Tapi kamu cantik, Sya.” 

Bak ilalang disentuh angin, dengan riang mereka beterbangan. Perut Huasya serasa penuh kupu-kupu terbang yang menggelitik hingga mampu menghangatkan wajahnya yang semakin memerah berkat pujian Dipta. 

Melihat Huasya tak bisa berkata-kata padahal Dipta hanya menyebutkan fakta, membuatnya gemas bukan main pada wanitanya. Ia sedikit merendahkan tubuhnya dan mendekatkan ujung bahunya dengan wajah Huasya. Mereka mencoba bergaya, namun tak berhasil. Huasya merasa terlalu canggung dan Dipta terlalu kaku. Alhasil, foto mereka adalah foto-foto bebas yang diambil tanpa disadari keduanya. Jempol Dipta hanya bekerja tanpa henti. Ada yang menangkap saat tatapan Dipta terkunci pada wajah Huasya, pun ada yang sebaliknya. Saat mereka tertawa dengan menutup mulut dan Huasya yang menepuk bahu Dipta pun ada yang terpotret. Begitu menggemaskan! 

“Udah, ah! Tuh, lift-nya udah nyampe dari tadi.” 

Huasya masuk ke lift terlebih dulu tanpa memedulikan Dipta yang masih tersenyum lebar karena Huasya. 

Dipta melihat hasil fotonya, ia puas dan sangat menyukai semuanya. Kebahagiaan mereka terlihat begitu alami. 

“Boleh Mas langsung kirim di chat, nggak?” 

“Yang akunya cantik aja, boleh!” Huasya mengizinkan. 

“Semuanya cantik. Semuanya Mas kirim.”

Huasya hanya bisa menahan senyumnya yang jika tak ditahan akan sangat lebar dan membuat pipinya pegal. Tanpa basa-basi lagi, Dipta secara mandiri memilih seluruh foto lalu mengirimkannya lewat aplikasi pesan instan pada nomor miliknya. Bersamaan dengan mereka keluar dari lift, Dipta tiba-tiba menghentikan langkahnya. 

Mayor Dipta, love! 

Nama kontak Dipta yang diberi label Mayor Dipta ♡, tak disangka bisa menghentikan detak jantungnya untuk sepersekian detik. Sensasi terjun bebas dari pesawat tak disangka bisa dirasakannya hanya dengan membaca nama dirinya pada kontak di ponsel seorang Huasya. 

Huasya heran Dipta tiba-tiba berhenti lalu menyadari sesuatu. 

Gawat! 

Huasya mengintip layar ponselnya. Benar saja ia langsung terbelalak dan merebut ponselnya cepat. 

“Ada love-nya,” ucap Dipta pelan. Matanya masih mencoba meraih fokus. 

“Kenapa? Emangnya nggak boleh? HP aku, suka-suka aku, dong!” sewot Huasya. 

Entah kenapa nada bicara sewot Huasya lagi-lagi terdengar begitu merdu di telinga Dipta. 

“Maaf,” sesal Dipta. 

Huasya mengerutkan keningnya nanar.

“Nama kontak kamu di HP Mas masih Huasya Kartika aja,” Dipta menambahkan. 

Huasya mengantongi ponselnya. Lalu mengangkat tangannya dan meminta sesuatu. 

“Kenapa, Sya?” Dipta tak mengerti. 

“HP Mas, mana?” 

Dipta menyerahkan ponselnya. 

“Tolong dibuka dulu,” pinta Huasya. 

Setelah itu ia menuju kontak dan mencari namanya. Huasya mengedit namanya lalu mengembalikan ponsel pada Dipta. Kembali Huasya rogoh ponselnya dari tas selempangnya lalu ia memperlihatkan sesuatu pada Dipta.

Huasya menekan tombol 0 dan layar pun menampilkan calling Mayor Dipta ♡. Dipta makin terkejut saat melihat kontaknya ada di daftar panggilan cepat Huasya. Lalu ia tambah terkejut ketika membaca nama Huasya sudah berganti. 

Huasyayang is calling

Bukan terkejut karena marah, tentu saja bukan! Dipta terkejut karena terlalu bahagia. Wajah hingga telinganya memerah. Ia tersenyum dengan aura yang berbeda dan itu jelas dirasakan oleh Huasya.

“Aku tahu, Mas pasti bingung mau namain kontak aku apa, kan? Gak apa-apa kan, aku ganti gitu? Harusnya gak apa-apa, sih. Biar kelihatan bucin gitu sama aku!” Huasya tergelak. 

“Bukan kelihatannya, Sya!” Dipta meralat. “Memang bucin beneran sama kamu.”

*****

Ruang privat restoran yang cukup mentereng di Pakuan ini sudah diisi beberapa orang. Huasya yang baru pertama kali masuk ke restoran ini hanya bisa menatapnya takjub. Interior mewah dengan dinding sepenuhnya berlapis granit sungguh memanjakan matanya. Meski Huasya tak terlalu memahami beragam mebel yang mendekorasi ruangan ini, tapi ia cukup tahu bahwa ruangan ini bernilai estetik tinggi. 

Huasya diperkenalkan kepada satu per satu temannya. Dipta bilang ini seperti acara gathering setiap tahunnya. Mereka orang-orang yang cukup dekat dengan Dipta sepanjang kariernya di militer. Namun Dipta menceritakan sekilas bahwa yang saat ini paling dekat dengannya adalah Taufan dan Yohan. 

“Mereka yang paling sering komunikasi sama saya.” 

Tak hanya temannya saja yang ada di sini, para istri teman-teman Dipta juga hadir dalam pertemuan ini. Dipta juga perkenalkan mereka satu per satu pada Huasya. Usai sesi perkenalan, Huasya diajak Dipta duduk di kursi samping Taufan dan istrinya. Begitu duduk, Dipta langsung bertanya pada Huasya ingin memesan apa. 

“Tadi aku udah sarapan, Mas. Dipaksa Serka Lukman,” bisik Huasya tepat di telinga kiri Dipta. 

“Kalau nyemil mau, kan?” Dipta menyeringai. “Bukannya makanan yang dibeli buat seminggu juga habis dalam waktu tiga hari?”

Huasya mencubit lengan Dipta. Ia terlalu kesal sampai di titik ingin sekali menggigit lengan kerasnya itu dengan seluruh kekuatan giginya. Terkadang ia penasaran, jika digigit yang akan terluka apakah lengan Dipta atau giginya? Huasya tetiba bergidik ngeri saat mengingat Dipta sempat menabrak spion keras mobil dinas Hadi sampai bengkok 90°. Segera Huasya urungkan niatnya itu. 

“Pisang bakar keju coklat sama air mineral aja,” putus Huasya.

Saat Dipta memesan, Huasya salah fokus pada piano yang ada di dekat mejanya. 

“Sya, Mas mau ngobrol dulu sama Taufan, boleh?” 

Huasya mengangguk mempersilakan. Ia juga sangat penasaran dengan baby grand piano yang ada di dekatnya itu. Sementara waktu membiarkan Dipta bicara dengan Taufan yang sepertinya sangat penting itu, Huasya memilih beranjak dari kursinya dan mendekati piano. Ia tak penasaran dan tak perlu tahu apa yang dibicarakan para ajudan Sekjen dan Wapres itu, karena sepertinya hanya akan menambah beban otaknya saja.

Huasya sesekali menoleh memperhatikan Dipta yang juga sedang memperhatikannya di tengah obrolan dengan Taufan. Mata mereka terus bertaut walau berjauhan. Dipta tersenyum pada Huasya, sementara dia hanya mengedikkan bahu sambil menunjuk piano dengan dagunya. 

Lihat selengkapnya