Waktu terus bergerak tiada henti, hingga tak terasa hampir pukul 9 malam, dan mereka baru sampai di sebuah kedai yang cukup asri dengan sebuah panggung di tengahnya. Lalu lintas yang cukup padat di hari Minggu ini membuat perjalanan dua sampai tiga kali lipat lebih lama.
Lamanya perjalanan nyatanya tak membuat Huasya berbicara sepatah kata pun. Ia bungkam seribu bahasa bahkan tak menoleh ke arah Dipta sedikit pun. Dipta tahu, kemarahan Huasya kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Dipta pun membiarkan Huasya tenang terlebih dulu selama perjalanan.
“Mau pesen apa, Sya?” tanya Dipta pelan.
“Terserah!”
Dipta memeriksa daftar menunya lagi lalu segera pergi ke counter untuk memesan dan membayar. Tak lama, Dipta sudah kembali lagi dan Huasya masih enggan menatap dirinya.
“Mas udah pesenin jus sirsak. Kamu suka, kan?”
Tahu dari mana dia aku suka jus sirsak? Oh! Baru kepoin EG-ku kayanya. Harus ya, aku marah dulu baru dia kepoin?! batin Huasa meradang.
“Kamu kapan pulang ke Pakuan lagi? Atau tesis kamu udah beres?”
Dipta terus mencoba untuk bisa mendengar suara sang kekasih. Namun Huasya tetap hening. Sampai saat Dipta sedang menundukkan kepala Huasya tiba-tiba bersuara.
“Pertanyaan Mas barusan, maksudnya mau bandingin aku sama mantan Mas yang udah spesialis- salah, bukan spesialis. Udah selesai S2 itu?”
Huasya memainkan jari jemarinya tanpa menatap Dipta.
“Sya … Mas minta maaf nggak bilang ke kamu dateng ke undangan tadi,” ucap Dipta lirih. “Mas pengen kamu senyum lagi, happy lagi. Kamu mau kan, kasih tahu Mas gimana caranya?”
“Oke! Aku kasih tahu Mas. Satu-satunya hal yang ingin aku denger sekarang adalah penjelasan yang pernah Mas janjikan ke aku, kalau Mas akan cerita soal masa lalu Mas kalau sudah siap. Dan kukira, karena Mas udah bisa ketemu mantan Mas lagi, berarti Mas udah siap jelasin semuanya ke aku tanpa terkecuali.”
Huasya tahu Dipta tak pandai menghibur, jika ia tak beri tahu Dipta apa keinginannya dan bagaimana cara menghiburnya, sampai lebaran sepuluh kali pun belum tentu Diptabisa menebaknya.
“Kalau Mas jelaskan, nanti Sya marah lagi nggak?” tanya Dipta harap-harap cemas.
“Let’s hear first.”
Melihat Huasya yang begitu kukuh ingin tahu apa yang terjadi antara Dipta dan Cantika, tak ada jalan kembali untuk Dipta. Ia sudah memutuskan dan begitu terpaut kasih dengan Huasya. Tak mungkin baginya untuk tak berterus terang. Jika disimpan pun, akan sampai kapan?
Mengalirlah sebuah cerita yang tak pernah Huasya bayangkan. Pria yang diinginkan dan didoakan oleh jutaan wanita di bumi pertiwi ini, nyatanya pernah merasakan pengalaman ditinggalkan oleh wanita yang dicintainya.
“Mas akui ini salah Mas.”
“Tapi tugas belajar ke US adalah perintah yang gak bisa Mas tolak, kan?” Huasya mengerutkan keningnya.
Dipta mengangguk, “Tapi Mas gak pulang tepat waktu, jadi rencana menikah, terus undangan sudah disebar, semua gagal karena Mas gak pulang.”
“Tapi kan, gak bisa pulang karena pandemi! Siapa Mas memangnya bisa ngontrol pandemi?!”
Dipta mendadak terkekeh dan hendak meraih tangan Huasya di atas meja, namun belum sempat ia meraihnya, pelayan datang membawakan dua gelas jus sirsak, dan satu piring roti bakar.
“Jadi kamu marah karena Mas gak jadi nikah sama Cantika?” goda Dipta tak tertahan.
Huasya mendelik tajam pada Dipta.
“Ceritain dulu semuanya! Gak mungkin Mas putus hubungan sama dia cuma karena itu, kan?”
Dipta membenarkan. Ia mengakui bahwa alasannya membatalkan pernikahan bukan hanya karena ia tak bisa pulang ke Indonesia karena pandemi Covid-19 saja. Saat masih di Indonesia pun, Dipta dan Cantika memang sudah sering berdebat karena hal yang prinsipiel. Dipta yang merupakan perwira muda tentu tak bisa selalu menceritakan sepenuhnya apa yang sedang ia lakukan, sementara Cantika ingin memastikan Dipta selalu dalam keadaan yang aman. Meski sama-sama seorang workaholic yang profesional, tapi Dipta dan Cantika tidak menemukan titik temu atas masalah mereka dan berujung pada Cantika yang memutuskan hubungan serta membatalkan rencana pernikahan mereka.
“Tapi baguslah kalau gak nemu titik temu, kan kalau gak gitu, terus kalian nikah jadi jodoh dunia akhirat, apa kabar aku?”
Huasya menyeruput jus sampai habis setengah gelasnya. Sementara Dipta masih waspada dengan reaksi Huasya selanjutnya.
“Aku punya tiga pertanyaan lagi yang harus Mas jawab,” ujar Huasya datar. “Pertama, Mas masih ada rasa sama Cantika?”
Dipta menggeleng cepat, “Nggak, Sya.”
“Seyakin itu?” Huasya sangsi. “Padahal pas Mas confess, Mas bilang ke aku masih gak yakin apakah perasaan Mas cuma sesaat atau nggak.”
“Sekarang yang penuhin pikiran saya cuma kamu, Sya. Gimana caranya bikin kamu senyum, bikin kamu merasa aman, gimana caranya bisa selalu ketemu kamu, cari tahu soal kamu. Seluruh effort saya sekarang cuma buat kamu, Sya.”
Huasya manggut-manggut dengan wajah datarnya. Biasanya Huasya bukanlah tipe yang senang membahas masa lalu seseorang sampai di titik mendesak seperti saat ini. Tapi, mengingat mereka sudah berkomitmen, Dipta juga memberikan harapan bahwa hubungan mereka bukan sekadar untuk saat ini saja, tetapi untuk masa depan, membuat Huasya mau tak mau harus membicarakan ini dengan Dipta. Ia tak mau bersanding dengan laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya. Rasanya seperti dikhianati di depan mata.
Memang awalnya Huasya menyanggupi untuk menjalani perlahan, dan menumbuhkan perasaan seiring berjalannya waktu. Namun melihat mantannya masih sangat amat menyukainya berdasarkan pertemuan tadi, tentu ini menjadi ancaman untuknya. Huasya tak mau berjalan terlalu jauh jika pada akhirnya ia akan dikalahkan oleh masa lalu Dipta. Jika Dipta ingin memberinya rasa aman, maka Huasya akan bantu. Rasa aman yang dibutuhkan Huasya juga termasuk aman dari gangguan orang ketiga.
“Oke, aku percaya,” Huasya menghela napasnya panjang. “Pertanyaan kedua, kata Mas tadi hubungan Mas sama mantan itu berakhir karena dia ingin tahu apa pun tentang Mas, kan? Sebenernya aku juga sama, Mas. Tapi iya, aku tahu Mas selalu terikat dengan etika profesi sebagai perwira. Sekarang pertanyaanku, Mas dateng ke pertunangan Lani hari ini apakah sesuatu yang termasuk dalam kode etik profesi Mas yang harus ditutup-tutupi?”
“Nggak, Sya. Tentu nggak. Kamu berhak tahu,” jawab Dipta cepat. “Maafin Mas, ya.”
“Mulai sekarang aku mau apa pun yang berhubungan sama kita, selalu Mas kasih tahu ke aku.”
“Tapi kalau soal kerjaan, Sya-”
“Aku paham!” potong Huasya. “Aku akan belajar memahami kalau Mas gak akan bisa menceritakan seluruh aspek kehidupan Mas ke aku. Dengan catatan, Mas juga harus mau belajar buat cerita sama aku, terkecuali soal kerjaan yang banyak rahasianya itu. Aku gak suka dibohongi, Mas. Kalau rahasia aku minta Mas bilang itu rahasia. Tapi kalau bisa diceritain ke aku, aku minta tolong Mas buat ceritain semua. Sebaliknya, aku juga akan begitu sama Mas.”
“Mas janji akan belajar buat cerita sama kamu,” Dipta tersenyum simpul.
Huasya juga menatap penuh kasih pria di hadapannya ini.
“Mas pernah denger drama Korea DOTS?”
Dipta menggeleng nanar.
“Aku pengen kita bikin kode kaya pasangan di drama itu.”
Huasya menyebutkan kode pertama untuk pengawalan biasa disebut dengan istilah “pergi ke kantor sipil”. Lalu kode kedua adalah “pergi ke pasar” untuk pengawalan ketat. Kode terakhir yang sangat darurat bahkan mempertaruhkan nyawa, Huasya ingin sebut “pergi ke taman safari”.
“Nanti kamu bakalan khawatir terus, dong?” Dipta mencemaskan Huasya.
“Kalau aku gak bersedia cemas, buat apa aku pilih pacaran sama kamu, Mas? Mending aku ngejomlo aja kalau gak mau cemasin cowok. Jadi, tolong biarin aku ngerasa cemas, ya?”