MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #27

Bab 27 : Terjebak Cinta Segitiga (?)

Kalender pada ponsel Huasya memberikan pemberitahuan bahwa beberapa hari lagi Dipta akan berulang tahun. Huasya sengaja memasang pengingat dari jauh hari agar bisa mempersiapkan hadiah dan kejutan untuk Dipta. Huasya membuat daftar untuk menyortir hadiah apa yang akan diberikan. Pilihan Huasya jatuh pada membuat kompilasi foto dan video Dipta. Tidak untuk diunggah peruntukkan memori dan arsip mereka berdua saja. 

Betapa sebuah kebetulan yang sangat luar biasa, Huasya hari ini sedang meliburkan diri dari mengerjakan penelitiannya. Semalam Huasya hampir memuntahkan isi perutnya yang sudah capai kerongkongan akibat terlalu stres menulis tesis. Ini adalah sinyal bagi tubuhnya untuk beristirahat dan sejenak melupakan tugasnya. Ketimbang menghabiskan waktu tak jelas, lebih baik Huasya mengumpulkan foto dan video Dipta. 

Foto dan video Dipta tentunya sangat mudah ditemukan. Ia hanya perlu membuka aplikasi media sosialnya dan mengunjungi profil akun penggemar Dipta. Muncullah ratusan unggahan yang semua isinya adalah wajah Dipta. 

Huasya hanya geleng-geleng kepala saja melihatnya. Orang-orang benar-benar tegila-gila pada kekasihnya. Senyum bangga dan penuh kemenangan menghias wajahnya. Seolah tak perlu dirias, wajah Huasya sudah berseri-seri dengan alami. 

Semua foto dan video baik yang ia unduh dari media sosial maupun yang ia ambil sendiri dengan ponselnya sudah Huasya kumpulkan dalam sebuah folder yang ia beri nama “Mas Dipta”. 

Selesai mengumpulkan bahan untuk dibuat video kompilasi, Huasya memilih untuk berselancar di dunia jingga untuk berburu kado. Huasya benar-benar bingung apa yang harus ia jadikan kado untuk Dipta. Alhasil ia malah keluar dari aplikasi belanja daringnya dan mengecek mobile banking. Meski ia hampir kehabisan uang, namun belakangan ini artikelnya pada platform digital lokal Indonesia banyak yang melanggan sehingga ia mendapat lebih banyak pemasukan selain dari uang bulanan beasiswanya. 

Setelah memastikan ia punya cukup uang untuk membeli hadiah yang layak, Huasya kembali menjelajahi e-commerce. Setelah terus menggulirkan layarnya hampir satu jam, Huasya memutuskan memilih sebuah jam tangan. Huasya memilih merek flagship jam tangan lokal yang sepertinya Huasya pernah lihat Dipta sempat memakai jam dengan merek tersebut. 

Dipta menyukai desain yang sporty dan digital. Huasya memilih yang berwarna abu dengan spesifikasi yang diklaim tahan segala cuaca. Mempertimbangkan Dipta yang tak peduli hujan, angin, atau panas menerpa tetap bertugas sebagai ajudan dengan baik, maka Huasya memilihnya dengan sangat hati-hati. 

Saat Huasya melihat terdapat desain jam tangan yang sama tapi khusus wanita, ia pun memesannya. 

Karena Mas suka barang pasangan, aku juga bakal pake yang digital.

Ya, Huasya yang lebih menyukai jam tangan analog akhirnya tergoda membeli jam tangan digital hanya agar bisa serasi saat mereka jalan berdua. 

Kegiatan berbelanja daring pun usai karena terinterupsi pesan masuk dari nomor tak dikenal. 

08271217xxxxx

Halo Huasya, ini aku Febri. Aku boleh minta tolong buat ketemu kamu? Ada yang perlu aku bicarain sama kamu.

Febri? 

Jujur saja Huasya sangat menghindari menambah aspek masalah dalam kasus Hafiz. Bertemu dengan Febri yang hanya ia kenal selama dua hari di Ndana, tentu menjadi potensi menambah aspek masalah ini. 

Me

Ada apa memangnya?

Huasya to the point. Meski tak ingin menambah masalah setidaknya ia ingin tahu apa yang akan Febri bahas jika mereka bertemu. 

08271217xxxxx

Ada yang mau aku akuin dan kasihin ke kamu

Membaca jawaban itu justru meyakinkan Huasya untuk tidak menemui Febri. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang berbahaya kalau ia pergi menemui Febri. 

LllllMe

Maaf aku gak bisa Febri

Huasya enggan berbasa-basi. Sungguh, Huasya akan menekan rasa penasarannya. Ia tak mau terlibat lagi lebih jauh dalam masalah ini. 

Kapan pula Hafiz ditangkap? Bener-bener bikin was-was!

Setelah pesan terkirim, Febri justru meneleponnya. 

“Halo, Huasya,” suara di sebrang terdengar panik. “Huasya, aku mohon kamu temuin aku, Sya. Ini berhubungan langsung sama kamu.” 

Huasya menahan napasnya sejenak sebelum mengembuskannya kasar. Bisa-bisanya hanya karena mendengar suara Febri yang kentara cemasnya menimbulkan rasa iba di hatinya. Ia tahu persis perasaan khawatir dan ketakutan yang dirasakan Febri. Mana bisa ia mengabaikannya begitu saja? 

“Oke, kita ketemu. Tapi aku yang nentuin tempatnya. Kita ketemu di kampusku, besok.” 

*****

Berulang kali Febri mengecek jam di tangannya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kedai kopi yang tak jauh dari kampus Huasya. Meski ia tahu ini masih belum sampai di waktu yang Huasya janjikan, namun ia sangat gelisah, cemas Huasya berubah pikiran dan tak jadi menemuinya. 

Hingga ia melihat seorang perempuan dengan celana scuba kulotnya dan kemeja merah jambu polos yang dimasukkan ke dalam celana, sedang melangkah menuju ke mejanya. Febri tersenyum simpul melihatnya, siapa lagi kalau bukan Huasya yang datang padanya. 

“Kamu udah nunggu lama?” Huasya terkejut melihat Febri. 

Ia kira Febri akan datang tepat waktu, namun ternyata jauh lebih awal. 

“Ini,” Febri menyorongkan sebuah kartu memori. 

Huasya merasa itu mirip dengan kartu memori miliknya yang hilang. 

“Bener, Sya. Ini kartu memori kamu.” 

Febri membenarkan seolah mendengar pertanyaan di benak Huasya. 

“Dan ini flashdisk isinya data yang aku olah selama aku ikut asistensi Profesor Hafiz. Ini data yang tadinya mau aku keep karena kukira bisa aku uangkan.” 

Huasya menautkan alisnya nanar, “Terus kenapa sekarang kamu serahin? Kenapa juga ke aku, bukan ke tim investigasi?” 

Mata Febri terus memandang ke segala penjuru dan enggan menjawab pertanyaan Huasya dengan jujur. Huasya yakin ada yang tidak beres. 

“Kenapa kartu memori kameraku ada di kamu?” selidik Huasya sambil memicingkan matanya. 

“Aku ngambil kartunya dari kamar kamu. Maaf …” 

Huasya mendengar bahwa Febri mendapatkan surel ancaman lebih cepat satu hari dibanding Huasya. Huasya berharap tebakannya salah, namun ia harus menanyakan pertanyaan yang satu ini. 

“Kamu yang ngarahin Prof. Hafiz buat cari data, foto-foto dokumentasi di Ndana dari aku? Padahal kamu yang pegang?” 

Pertanyaan Huasya diangguki pelan oleh Febri. Benar saja dugaan Huasya, tak mungkin Febri separanoid ini jika ia tidak melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan. 

“Pantes aja, aku udah laporan ke Prof. Hafiz kalau kartu memoriku hilang pas presentasi hasil penelitian. Makanya aku heran kenapa bisa dia ancam aku untuk nyerahin hasil dokumentasi foto di saat aku juga kehilangan datanya. Sekarang semua makes sense.” 

Huasya mengetukkan jemarinya di atas meja. Ia menghitung angka dari satu hingga tiga puluh sebelum kembali bertanya. 

“Kenapa kamu curi kartu memoriku? Kenapa juga kamu tuduh aku? Aku gak merasa ada masalah apa pun sama kamu.”

Huasya menatap tajam tepat di wajah Febri. Bagaimana pun ia mencoba mengingat kejadian itu, Huasya merasa ia tak menyinggung Febri sama sekali. Kenapa dia berlaku seperti itu? Atas dasar apa dia mendorong Huasya ke dalam jurang bahaya? Pun jika Huasya menyinggung, Febri tak memiliki hak untuk membuatnya ada dalam bahaya dan menyembunyikan fakta dari proses investigasi kasus ini. 

“Aku … aku …” 

Huasya mengembuskan napas kasar berulang kali. 

“Aku suka sama Prof. Hafiz. Tapi rasanya dia cuma perhatiin kamu yang begitu pintar dan cerdas. Cara dia perlakukan kamu itu beda. Tadinya aku berharap dengan aku yang punya lebih banyak data aku bisa narik perhatiannya dia dan bisa diperlakukan sama kaya dia perlakukan kamu,” aku Febri tanpa mau menatap Huasya. 

Huasya membulatkan mulutnya tak percaya dengan alasan konyol ini. Bagaimana bisa ia terjebak pada cinta segitiga yang bahkan tak pernah ia tahu eksis di dunia ini. 

Lihat selengkapnya